“Tidaklah
kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan
(butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti)
gunung-gunung,maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan
kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (Al Qur’an, 24:43)
Hari ini, hujan turun
begitu derasnya. Kubiarkan hawa dingin memelukku begitu erat dan biarkan setiap
tetesnya basahi tubuhku. Aku tak peduli. Yang ku ingin, hanya resapi setiap
bulirnya, dan lupakan semua permasalahan hari ini yang tidak ada habisnya..karena
yang ku tau, hujan adalah senyum yang menghidupkan kehidupan.
Ku tatap jalan dengan
hati-hati. Menanti.
Kurasakan jiwaku
menari.
Hujan. Rangkul aku,
basah.
……
“Diwa! Kaukah
itu.. !” sebuah suara keras mengagetkanku yang tengah berjalan pelan menyusuri
jalan pulang. Hani berlari menghampiri
dengan sebuah payung tergenggam erat ditangannya. Dan memayungiku yang mulai
menggigil kedinginan.
“Berpayung dalam hujan,
berlindung dari rindu yang menderas”
“Harus kubilang berapa kali kau itu sudah
dewasa, masih juga suka mandi hujan. Nanti kau sakit. Kau kan tau, orang dengan
golongan darah B sepertimu ini sangat rentan terhadap penyakit. Dan, hujan ini
salah satu musuh bebuyutan tubuhmu, bukan..!” serunya keras ditelingaku.
Hani, temanku
yang satu ini sudah biasa bersikap over-perhatian seperti itu. Jadi aku tidak
heran dan terharu dengan gaya heronya menyelamatkanku dari hujan yang
sesungguhnya tak jadi masalah bagiku. Hanya jarak sekitar 200 M dari kampus dan
rumahku.
“Hey, aku bukan
mandi hujan. Aku hanya bosan menunggumu.Katanya kau akan menjemputku 5 menit
lagi. Tapi kutunggu-tunggu lebih dari 6 menit, kau belum datang juga. Hujan,
dan..Aku lapar. .”
“Hanya telat 1
menit. Dasar kau ini. Hmm..jangan bilang makan es krim lagi, bukankah itu salah
satu pantangan makan orang dengan golongan darah B?”
“…berhentilah
mengoceh tentang golongan darah B-ku. Pengecualian untuk yang satu ini ya. Lagian…aku
dibelikan Orien saat sedang menunggumu diparkiran kampus, Tiramisu. Mana mungkin
ku tolak, Hani…”
“kau terima dan
makan begitu saja es krim dari Orien? Kau yakin es krim itu tidak ada
apa-apanya? Aku curiga, dia memantrai es krimmu..setauku, dia suka kau, Diwa. Ah..sungguh,
kenapa Orien mesti suka cewek aneh sepertimu” hani melirikku dengan tatapan
yang sama anehnya dengan kata-kata yang diucapkannya.
“dengan bismillah..aku
yakin mantra-mantra itu akan lenyap, Han. Hehe…”
Taraa…kita sudah
sampai. Kau masih mau memayungiku? Terimakasih ya. Aku menyayangimu, teman
baikku..^_^
“eh, tidak. Dasar
Diwa Panduga! Aku langsung pulang ya. Ada sesuatu yang harus ku kerjakan. Da..daah….
“hati-hati,
Hani..!”
Ah..Hani. Jaga
dia baik-baik, ya Tuhan……
………………………..
Hani,
Kau tidak tau..
betapa aku menyukai hujan. Seperti aku menyukai……………hmm.
Karena, setiap
kali melihat hujan, selalu saja ingatanku tentangnya banjir seketika. Begitu derasnya
rindu ini membasahiku.
Hani, kau juga
tak pernah mau tau kenapa aku suka hujan.. Karena hanya dalam hujan, ku temukan tawa dan tangis menjadi satu. Hani….
Ku pikir, kau
yang terlalu benci hujan. Dan tak pernah mau menceritakan alasannya. Aku penasaran
sekian lama.
………………..
Disudut sana. Dalam
perjalanan pulang kerumahnya. Hani berlari. Membuang payungnya begitu saja. Dan…
menangis. Kali ini membiarkan tangisnya menyatu bersama sisa-sisa hujan. Gerimis.
Ingatannya kembali
pada satu masa. Saat dimana Faraz memintanya menunggu kesiapannya membingkai
hati untuk kesekian kalinya setelah hadir dan menghilang untuk kesekian kalinya
juga.
Hani sepi dan
menunggu dengan kesetiaannya. Tapi ia
lelah, dan berkata.
“Aku ingin kamu
menghilang dari kehidupanku..boleh ya?
Atau, kamu harus benar-benar ada untukku, bukan cuma bayang
semu...”
"Sekarang aku nyata dan ada dihadapanmu, bukan..?Aku
milikmu seutuhnya. Hujan ini jadi saksinya…
Jika aku pergi lagi, karena suatu sebab..apakah kau
akan berhenti menyukaiku?”
“Berhenti memikirkanmu saja aku tidak bisa..
Apalagi harus berhenti menyukaimu....”
“owh…benarlah. Kau wanita yang tepat untuk hidupku,
Hani..”
Sungguh alay. Memang.
Mereka berlari, menebus dan menari dalam hujan.
Dari waktu kewaktu…mereka jalani bersama dalam cinta
kasih. Sampai pada suatu ketika, Faraz menghilang dalam kesibukan ini-itunya. Tau-tau
kabar beredar. Faraz telah menikah.
Betapa hancur hati Hani. Gadis malang.
Dan aku tak akan pernah tau semua ini, jika tak
kutemukan diary-nya dibawah bantal saat aku mengobrak-abrik kamarnya mencari
rubik-ku yang ketinggalan kemarin sore. Dan saat dia tak ada dikamarnya.
Aku sedih saat membaca semuanya, aku baru tau..
Tapi kenapa harus hujan. Kenapa hujan harus ikut
mentragiskan kisah Hani… uggh…
Teruntuk…Faraz!
“Dulu,
kusebut kau cinta..
karena
aku sejalan dengan hatimu yang mendamaikan jiwaku.
Kini, kusebut engkau luka,
disaat
kau tak pedulikan lagi rasa ini..
mengabaikan
setiap rasa yang tak henti kuberi…
Jika
itu yang kau mau, baiklah..
Esok tak ada lagi rindu yang akan memujamu,.
Sampai kapanpun, engkau kusebut luka....”
* I wrote
this for you dear..
i need you to understand something..