Lalu, lalu, lalu . . .
Waktu berlalu begitu saja.
Terasa begitu cepat bagi mereka yang takut...tapi,
Kadang terasa lambat bagi mereka yang menunggu.
Kita yang menunggu. . .menunggu waktu.
bukankah begitu?
Rabu, 31 Oktober 2012
Novel Dedee
PART #1 : S I L E N C E
“Tiara !!!! Bangun ! Sudah pagi
sayang”.
“Iya Ma… Hoaaahmm “.jawab ku.
Cuaca pagi ini agak dingin. Membuat ku sedikit bermalasan untuk
bangun. Meringkuk didalam selimut yang tebal ini membuat perasaan hangat dan menggoda
mataku untuk menutup lagi. Sinar pagi sengaja aku tutup dengan selimut agar
tidak mengganggu lelapnya mataku. Aku tertidur sejenak .
“TIARAA !!!! Aduh .. Cepat bangun ! wedo’ kok bangunnya siang.
Pamalii ! bangun – bangun !”, Mama menyingkap selimut kuning ku yang tebal itu
sehingga udara dingin masuk menusuk kulit ku. Aku menggigil.
“Aaahhh Mama… dingin ! balikin selimutnya .” aku pun menarik
kembali selimutnya. Terasa hangat lagi. Aku tersenyum menang.
“TIDAKK boleh ! Bangun ! Kita harus beres-beres . Nanti jam 10 mobil Cargo bakalan datang. Mereka gak
suka nunggu. Cepat .. Anak gadis kok kerjanya molor teruss “. Mama mengomel-ngomel lagi. Ahhhh… Panas telingaku.
Akhirnya dengan wajah malas dan lesu aku bangun dan bersandar di kasurku.
“ Aduh Ma .. memangnya kita mau kemana sih ?”. Tanyaku dengan
mata yang masih tertutup.
“Tiara kamu lupa ya. Hari ini kita bakalan pindah rumah .Kan
kemarin sudah Mama ingatkkan. Bangun paginya jangan telat “.
Aku pun masih bingung saat melihat wajah Mama yang serius dan
sudah berdandan rapi.
“ Apa ?? Hari ini Ma ? . Cepat amat ! Tiara gak mau pindah Ma .
Tiara udah nyaman dengan suasana Kota ini “. Dengan wajah yang cemberut dan
menoleh lesu.
“ Ia Mama ngerti, tapi kerjaan Papa yang menuntut kita harus segera
pindah dari kota ini. Papa kan sudah naik pangkat . jadi, dia memang sudah
dipromosikan di perusahaan lain dengan jabatan yang lebih tinggi yaitu di kota
lain ”.Penjelasan Mama mulai sedikit lembut.
“ Papa lagi Papa lagi. Kenapa sih kita gak pernah bertahan di
satu kota. Tiara capek Ma harus memulai lagi dari awal untuk menyesuaikan diri.
Belum lagi, Tiara bukan anak yang mudah bergaul dengan teman sebaya Tiara. Papa
egois ! “. Nada ku sedikit meninggi.
Aku merasa aku adalah korban dari keegoisan Papa yang selalu
dituntut oleh pekerjaannya yang membuatnya terobsesi untuk terus menaikkan
jabatannya. Padahal kami sudah cukup dilimpahi dengan uang dan sudah
berpenghasilan tetap. Bukan semua itu yang aku inginkan. Tapi kebahagiaan dari
keharmonisan Rumah tangga yang selama ini aku rindukan. Selama bertahun-tahun
semenjak Papa bekerja diperusahaan , dia jarang sekali menghabiskan waktu
dirumah. Aku heran, apa yang sebenarnya ia kerjakan dari siang sampai malam.
Setahuku dia hanya bekerja untuk menandatangani file-file perusahaan. Itu bukan
hal yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
“Tiara, Mama ngerti benar perasaan kamu nak, Mama juga sebenarnya
tidak ingin ini terjadi dan lebih memfokuskan terhadap kebahagiaanmu saja.
Tapi, Mama tidak berdaya didepan Papa mu sayang . Mama mohon, kali ini turuti
saja kemauannya ya Tiara. Mama mohon.”
Wajah Mama terlihat sangat memelas. Membuat hatiku terhenyuk dan
terharu sedih . Selama ini hanya Mama teman terdekat aku yang selalu mengerti
dan memahami perasaaan dan kondisi aku. Ya, aku
tahu tentang kondisiku. Meskipun Mama selalu menyembunyikannya dari ku. Aku
mengidap sakit Kanker paru-paru Kronis dari kecil yang mungkin suatu saat akan
merenggut nyawaku. Aku melihat sekali bagaimana pengorbanan Mama untuk tetap
mempertahankanku. Tapi bagaimana dengan Papa ?. dia acuh ! dan hanya
memberikanku materi. Aku tidak butuh semua itu. Itu yang membuat aku Benci
dengan Papa. Aku benci !.
“ Ya udah deh Ma, Tiara ngikut aja. Tiara mau mandi dulu.” Ujarku
dengan wajah meredam emosi. Tapi, aku tidak mau memperlihatkannya ke Mama.
“Terima kasih ya Tiara udah mau ngerti Mama. Kamu memang anak
Mama satu-satunya yang Mama sayangi.” Ujar Mama dengan mata yang
berbinar-binar. Kami pun berpelukan.
Suasana haru menyelimuti Kamar mungilku yang penuh dengan hiasan
boneka-boneka. Boneka yang berdebu.
Aku pun bergegas kekamar mandi. Ku lewati dapur dan segera ku
sambar Roti panggang yang tergeletak sendirian di piring hidang dan segera
memasukkannya ke mulutku. Ku lihat juga Papa yang sibuk mengatur berkas-berkas
entah apalah. Tak sedikitpun terbersit dibenakku buat menyapanya seperti yang
dilakukan oleh anak-anak pada umumnya. Dia pun tidak mengheraniku. Jadi, bukan
sepenuhnya salahku. Setelah selesai melahap roti panggang dan sedikit minum
susu, aku pun langsung kekamar mandi. Ku buka perlahan seluruh pakaian ku
didepan cermin. Ku lihat tubuhku yang penuh dengan luka jahitan di bagian
dadaku. Entah sudah operasi yang keberapa yang sudah diabadikan dalam
goresan-goresan jarum yang tajam di dada tengahku yang sudah terlihat lusuh dan
tak ingin dijahit lagi. aku hanya bisa menghela nafas karena Aku sudah
terbiasa. Ku putar keran air dan membiarkan air jatuh menghujani tubuhku. Dingin
menggelitik sekujur tubuhku. Tak lupa juga dengan nyanyian-nyanyian kecil yang
selalu menemani setiap ritual mandiku. Selesainya, aku langsung berpakaian dan
menuju kamar. Papa masih sibuk dengan kegiatannya. Kali ini dia sedang menelpon
dan sepertinya memperbincangkan tentang kepindahan rumah ini dengan nada yang
angkuh. Aku pun mencibir dibelakangnya. Itu membuat ku geli dan tersenyum
bangga disepanjang jalan menuju kamarku.
Ku buka pintu kamar dan Mama masih ada disitu. Kelihatannya semua
barang-barangku sudah dipacking sama
Mama.
“ Aduh Ma, gak perlu repot-repot segala lah. Tiara bisa kok
merapikannya sendiri. Itu kan barang-barang Tiara”. Dengan Nada sedikit manja
dan memuji.
“ Gak apa-apa kok sayang. Mama Cuma mau bantuin kok. Tapi, ini
udah selesai semua. Kamu siapin barang-barang yang bisa kamu masukin ke ransel
kamu aja yah . Mama mau kedapur dulu.”
Mama langsung bergegas keluar kamar dan sudah tidak terdengar
lagi hentakan kakinya. Aku hanya tersenyum geli melihatnya.
“Mama memang yang terbaik.” Bisikku.
Hampir setengah jam aku beres-beres kamar dengan segala
keperluanku dengan sedikit berdandan. Aku menghela nafas.
“Yap, semua sudah selesai”. Kataku dengan sedikit malas. Tanganku
berpangku dipinggang.
“Tiara, Kamu sudah selesai beres-beresinnya ?” teriak mama dari
luar.
“ Udah Maa .” aku menyibak sweter kuning ku yang sedikit berdebu
terkena kardus yang aku angkat, aku pun keluar sambil membawa semua
barang-barang ku. Barang-barangku memang tidak sedikit. Maklum, anak cewek.
Kemudian barang-barangku dibawa oleh Mang Ujang, satpam dirumah ini.
“ Makasih Mang. “ dengan nada dan senyuman manja.
“ Ia Non, sama-sama “jawab Mang Ujang kemudian dia bergegas
memasukkan barang-barangku ke bagasi Mobil.
“ Gimana Tiara ? Sudah siap ? “ Tanya Mama.
Aku hanya mengangguk kecil dan langsung masuk kedalam mobil.
Kulihat Papa masih saja ngobrol dengan seseorang melalui handphone-nya itu.
“ Ya sudah, langsung jalan saja “ kata Papaku kepada Supir cargo.
Mobil cargo pun langsung berangkat dan segera menyelesaikan
tugasnya untuk mengantar barang-barang kerumah pindahan yang baru. Sedangkan
mobil yang aku naiki dikendarai oleh Papa. Mobil seketika langsung digas untuk mengejar
mobil cargo yang lebih dulu memulai perjalanan.
Sepanjang jalan, aku hanya terdiam. Mengingat semua hal-hal
dikota ku sebelum aku pindah. Mengenang semua memori selama menginjakkan kaki
di kota ini. Aku belum sempat mengucapkan salam perpisahan kepada
teman-temanku. Mungkin mereka akan bingung mencariku nanti. Pandanganku kosong
menembus kaca jendela mobil ke pepohonan yang lebat disepanjang jalan.
Kelihatannya jarak antar kotaku dengan kota yang akan aku tuju ini akan lebih jauh
dari yang kupikirkan setelah memperkirakan kecepatan mobil yang sedikit
kencang. Pandangan ku masih terbias kemana saja diluar jendela.
Di tengah lamunanku. tiba-tiba pandanganku terfokus kepada sebuah
gubuk ditengah hutan. Mataku berakomodasi maksimum melihat sesuatu yang janggal
, sesuatu yang tergeletak didalam gubuk itu. Sebuah boneka usang yang terbaring
dilantai gubuk di tengah hutan. Tapi, aku tidak bisa melihatnya terlalu lama
karena mobil ini terus melaju. Akupun tidak terlalu memikirkannya. Aku kembali
terdiam dan terus melihat pemandangan luar. Kepala ku sedikit bersandar di kaca
mobil. Mataku terpejam.
Aku lelah.
PART #2 : S A W
Selang dua setengah jam,
akhirnya kecepatan mobil berkurang dan stabil. Kelihatannya mobil sudah memasuki kawasan perumahan
disebuah kota. Sepertinya kota yang cukup besar. Dijalanan sudah tidak bisa
dihitung lagi jumlah mobil-mobil mewah yang berlalu hilir mudik. Bangunan-bangunan tinggi dan megah menjulang
keatas mencakar langit. Orang-orang yang serba rapi dengan pakaian kemeja
berdasi dan sebagian berjas serta wanita-wanita yang juga menggunakan pakaian
formal rok pendek dan baju elegan. Menggunakan wajah businessman. Sepertinya
kawasan ini yang selalu diidam-idamkan Papa agar merasa hidupnya sedikit
berlevel. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Dasar pikiran dangkal” gerutuku.
Tidak lama kemudian mobil
pun melewati dan memasuki gerbang perumahan yang cukup besar dan terukir nama “CITRA
SEBAKTI”. Di sepanjang jalan yang ada hanya rumah-rumah beton yang besar dan
mewah yang menancap kokoh sejauh mata memandang.
Juga tidak terlihat adanya orang yang lalu lalang berjalan kaki.
Tidak ada anak-anak yang sedang main dihalaman pada sore hari. Tidak ada
ibu-ibu yang bergosip dengan tetangga lain atau menyiram taman. Sepi dan
kerontang. Aku berpikir, kawasan ini adalah kawasan para orang-orang penting
dan pejabat-pejabat yang sangat sibuk dan menghabiskan waktunya dengan
pekerjaannya seperti Papa.
“ Huuuhh.. sepertinya bakalan membosankan !” bisikku kecil .
“ Apa sayang ?” Tanya Mama.
Sepertinya dia mendengar bisik nakalku tadi.
“ Ahh gak ada apa-apa kok Ma, rumahnya Bagus-bagus yak .” aku
mengelak. Mama hanya terdiam dan memandangku dengan tatapan yang sedikit dingin.
Sepertinya dia tahu, aku hanya mengalihkan pembicaraan. Aku hanya diam dan
kembali menebarkan pandanganku keluar jendela mobil seperti semula.
Diam.
Tak lama memasuki kawasan ini, akhirnya mobil pun terparkir di
sebuah rumah yang lebih megah dari rumah sebelumnya di kawasan yang baru saja
kulalui. Dua tiang utama yang besar menjulang tinggi hingga bagian rumah
tingkat atas dengan ukiran yang besar. Taman yang sudah ditumbuhi bunga-bunga
dan rerumputan yang terlihat rapi dengan pangkasan yang teratur . Serta kolam
kecil yang berisi ikan-ikan kecil yang sdang berenang dengan lincah. Sepertinya
rumah ini sudah terbangun sekian lama.
“ Ma, rumah ini dibeli ya bukan dibuat ?” Tanya ku untuk menghilangkan
rasa penasaran.
“ Iya Tiara, Papa mu membelinya dari pemiliknya yang lama. Nanti
juga kamu lihat siapa pemilik sebelumnya. Dia ada didalam. Ayo, segera bawa
barangnya masuk kerumah. Mama sudah gak tahan mau lihat-lihat dapurnya.” Ujar
Mama yang terlihat senang dan penasaran dengan keadaan didalam rumah. Aku hanya
mengangguk dan mengiringi Mama menuju Rumah besar itu. Kepala ku sampai
tengadah tegak lurus keatas melihat kebesaran dan kemegahan rumah ini. Tapi, sepertinya ada yang lain
yang aku rasakan. Gelap dan dingin. Aneh .
Untuk menghilangkan
kejenuhan, aku pun berkeliling seputar rumah itu. Sangat luas dan indah. Aku
pun bermain-main dengan ikan-ikan dikolam kecil yang bersih dan airnya terlihat
bening. Aku pun terhanyut dalam lamunan bersama ikan-ikan yang selalu
mengepakkan ekornya itu.
“ Tiara ! ngapain disitu ? ayo masuk .”. teriak Mama dari
kejauhan.
Aku pun tersentak kaget
dan terbangun dalam lamunanku bersama ikan-ikan kecil itu dan berlari kecil
mengejar Mama yang sudah berada didepan pintu utama yang besar di rumah itu.
Krettt…
Pintu besar itu terbuka dan menimbulkan bunyi gesekan yang asing.
Leherku mulai awas melihat-lihat rumah yang ternyata didalamnya jauh lebih
mewah dan terlihat sangat luas dan besar. Kulihat papa dan mama sedang
berbincang dengan sepasang suami istri yang sepertinya pemilik lama rumah ini.
“Tiara, ini Pak Santoso dan Bu Santoso. Mereka pemilik lama rumah
ini. “ ujar Mama yang memperkenalkan mereka didepan ku.
“ Aku Tiara” jawabku singkat.
Mereka hanya tersenyum. Kulihat ada yang lain dengan senyuman Pak
Santoso saat melihatku. Senyumnya sedikit tertahan disela kumisnya yang tebal .
Bu santoso juga hanya tersenyum sebentar dan langsung merapikan sanggul
rambutnya yang sudah memutih. Aku mulai merasakan kebosanan mendengar
perbincangan orang-orang tua itu. Diam –diam Aku pun melanjutkan penelusuranku
terhadap rumah yang super megah ini. Aku hanya bisa berdecak kagum melihat
keindahan arsitektur ruangannya. Deknya
yang berwarna cerah dengan sebuah lampu hias yang sangat besar menggantung
dilangit-langit ruangan. Sofa yang terlihat berkelas dengan warna hitam yang
pekat. Meja tamu dengan kaca yang besar dan dipadu dengan sebuah vas bunga
Kristal yang berisikan beberapa bunga Kristal yang berwarna-warni. Sebuah
lemari pajangan yang dipenuhi pajangan kaca dan keramik antik serta sebuah jam
dentang yang besar dengan warna kayu yang khas. Tak sadar sudah sejauh mana
langkahan kakiku. tiba-tiba pandanganku tertuju ke sebuah pintu yang sedikit
terbuka. Didalamnya kelihatannya gelap sehingga membuat pandanganku semakin
terfokus dan semakin terfokus kedalamnya. Lalu, tiba-tiba aku tersentak melihat
ada kelebatan bayangan yang melintas didalam pintu itu.
Brakkk !!.
Tiba-tiba pintu itu tertutup dengan keras. Aku kaget setengah
mati. Namun aku memberanikan diri mendekati pintu itu untuk sekedar memastikan
apa yang ada dibalik pintu itu. Langkahku semakin gentar menuju pintu itu.
Jantung ku semakin berdegup kencang dan keringat dingin mulai mengalir.
Kudengar ada bunyi-bunyi aneh didalamnya. Seperti suara garukan di pintu yang
tajam sehingga membuat gigiku ngilu. Aku semakin mendekat bahkan langkah kakiku
hanya berjarak setengah meter saja darinya. Ku beranikan diri untuk memegang
ganggang pintu dengan tangan yang gemetar. Suara itu semakin terdengar jelas
dibalik pintu itu bahkan menggetarkan ganggang pintu yang terbuat dari besi.
Sebentar lagi tanganku akan menyentuh ganggang pintu itu. Aku menelan ludah.
”WAAA !!! “.
Aku kaget dan berteriak seperti orang jantungan mendengar
teriakan Mama yang tiba- tiba memanggilku.
“ Tiara ! Kamu ngapain disitu . Kemari ! Bapak dan Ibu Santoso
mau pamit pulang “
Aku hanya terdiam dan suara yang mengilukan gigi itu sudah
berhenti. Aku pun mengurungkan niat ku untuk membuka pintu itu dan berlari
menuju Mama dan Papa.
“ Kamu gag apa-apa sayang ? Kenapa kamu kelihatan tegang ? Ada
apa ? “ Tanya Mama yang terkejut melihat ekspresi wajahku yang sedang
ketakutan.
Aku masih terengah-engah.” Gak ada apa-apa kok Ma. tadi Cuma
lari-lari aja”.
Aku berbohong. Aku tidak ingin Mama tahu kalau sebenarnya aku
melihat ‘sesuatu’ yang aneh di balik pintu tadi. Bapak dan Ibu Santoso pamit
pulang dan kami kembali kerumah. Aku kembali tegang Saat melewati pintu yang
aneh tadi.
“ Ma, buruan.. kamar Tiara mana ?”.tanyaku sedikit tergesa-gesa.
Aku sudah tidak tahan merasakan kengerian yang terjadi barusan.
“Iya iya , sabar sayang.. Tuhh kamar kamu, yang pintunya berwarna
pink. Cantikkan ? “Tanya mama sambil menggodaku.
Aku menoleh sebentar. Aku tidak terlalu menanggapinya dan
langsung berlari menuju kamar baruku dan masuk kedalamnya.
Aku menutup pintu.
PART #3 : B A R S T
Sudah tiga hari aku menempati
rumah baru ku ini. Rumah yang belum ku rasakan layaknya tempat ku berteduh dan ku
tinggali. Aku merasakan adanya hawa dingin yang kaku yang terus berada
dibelakangku. Mengikuti setiap langkahku. Entah apa itu.
Suasana kekeluargaanku pun tidak ada perubahan. Bahkan, semakin
kacau dan retak. Setiap malam selalu terjadi keributan antara Papa dan Mama.
Belakangan ini, Papa selalu pulang malam dalam keadaan mabuk. Tidak jarang dia
berlaku kasar kepada Mama. Mama pun kali ini tidak tinggal diam seperti biasa.
Dia sudah berani melawan Papa. Mama juga manusia, yang punya batas kesabaran.
Aku juga sepertinya sudah terbiasa menghadapi pertengkaran suami istri itu.
Namun, aku tidak heran. karena Aku sudah terbiasa.
“Pagi Ma ?”tanyaku yang sudah bangun pagi dan bersiap-siap buat
sarapan. Kali ini Mama tidak menjawab salam ku. Dia terus mengoleskan selai ke
roti tawar yang ada ditangannya. Tatapannya kosong. Wajahnya kelihatan sedih
dan murung. Seperti memendam suatu hasrat yang sudah lama menjamur didasar
hatinya.
“ Papa lagi ya ?” aku menebak dengan sedikit tajam. Mama hanya
mengangguk pelan lalu beranjak menuju dapur.
“ Jangan lupa minum Obat ya “. Nada Mama sedikit dingin. Kudengar
suara siraman air dan dentingan piring. Sepertinya dia sedang mencuci. Gigitan
roti panggang terakhir sudah masuk kedalam perutku. Aku membereskan sedikit
serpihan-serpihan roti panggang yang masih menempel dibibirku dengan serbet
dimeja makan.
“Apa yang harus aku lakukan ya ?” aku bertanya kepada diriku.
Hari-hariku selalu seperti ini. Membosankan dalam hari yang
dingin saat liburan. Tiba-tiba pandanganku tercuri oleh sebuah pintu yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari ruang makan.
“ Ya, Pintu yang kemaren”.
Terbersit di pikiran ku untuk menelusuri apa yang sebenarnya
terdapat dibalik pintu yang sempat membuatku ketakutan itu. Aku beranjak dari
kursi makan dan mulai melangkahkan kaki ku menuju pintu itu. Ganggang pintunya
sudah ku pegang. Dan ku putar.
Kreeett !!!.
Bunyi keretan pintu yang sudah tua dan berkarat sangat mendengung
disekitar ruangan rumah. Sepertinya sudah sekian lama tidak pernah dibuka.
Jantungku kembali berdegup kencang. Kembali kuingat kelabatan bayangan yang
berada dibalik pintu beserta suara-suara aneh dibalik pintu kemarin. Tapi, rasa
penasaranku mampu mengalahkan rasa takutku. Keadaan menjadi tegang saat pintu
mulai kubuka. Keringat dingin mulai bermunculan sehingga membasahi sedikit
kulitku. Pintunya sedikit kesat sehingga dengan kuat ku dorong pintu itu.
BRAAAKKK !!!
Pintunya terbuka lebar dan mataku dengan cepat mengawasi apa yang
sebenarnya ada dibalik pintu itu. Hatiku sedikit tenang. Karena yang kulihat
hanya tangga yang juram dan gelap menuju gudang bawah tanah. Pandanganku tidak
mampu menembus kebawah lantai. Sepertinya tidak ada penerangan disana. Aku pun
bertekad untuk kebawah sekedar melihat-lihat keadaan gudang tersebut. Aku berlari
menuju bagasi. Seingatku, aku pernah melihat senter dikotak peralatan. Dan
akhirnya aku menemukan senter itu dikardus usang yang berdebu serta
tumpukan-tumpukan Koran lama yang tergeletak diatasnya. Aku kembali keruangan
belakang untuk melanjutkan penelusuranku menuju gudang bawah tanah. Setibanya
disana, aku terkejut melihat pintunya tertutup kembali.
“Siapa yang menutupnya sih ?. Orang susah payah ngebukanya juga?”
aku menggerutu kecil. Tapi, tidak mengurungkan niatku untuk kembali
memfokuskanku terhadap gudang yang gelap dibawah sana. Kali ini perasaan ku
sudah tidak tegang lagi saat membuka pintu itu untuk yang kedua kalinya. Dengan
cepat ku dorong pintu itu.
“WAAA !!!!”
Aku berteriak kaget. Saat kulihat tikus-tikus berlarian dari
dalam pintu menuju keluar dan menggeliat-geliat dikaki ku.
“Iiih … Buat kaget ajja !”,aku menggerutu lagi.
Aku melanjutkan usahaku
yang dari tadi belum selesai-selesai juga. Kuhidupkan senter itu untuk sekedar
menerangi jejak langkahku di anak-anak tangga. Langkah pertama ku di anak
tangga berdecit kecil di ruangan itu. Anak tangga yang sudah kelihatan rapuh
dan usang. Kulanjutkan langkah kaki ku kesetiap anak tangga dan akhirnya sampai
juga di lantai. Lantai yang terbuat dari tanah kering yang sangat dingin.
Kembali kurasakan hawa dingin disekitar leherku. Membuat bulu halusku berdiri
dan memberikan sensasi getaran berfrekwensi sangat cepat. Tapi, tetap tidak menghalangi
keinginanku untuk melihat-lihat sekitar gudang. Ku arahkan senter ke setiap
sudut ruangan yang berdebu itu. Aku mulai berjalan-jalan melihat-lihat isi
gudang. Banyak barang-barang bekas yang ditutupi dengan kain putih. Memberi
kesan seram seperti film thriller “
Before X-mas “ yang pernah kutonton yang menampilkan pembunuhan oleh kaum
kegelapan yang berjubah putih.
Aku merasa ada yang
mengawasi setiap gerakku. Aku mendengar bunyi langkah kaki yang kecil dan
cepat. Bunyi gesekan kaki di tanah kering yang terdengar jelas. Segera saja ku
sorot dengan senterku. Tapi, tidak ada apa-apa. Kembali hanya barang-barang
bekas yang kudapati. Suara itu seperti
mempermainkanku. Dia selalu terdengar dibelakang. Tapi, saat ku sorot dengar senter,
lagi-lagi yang kulihat hanya barang-barang bekas yang tidak mungkin bergerak.
Suaranya semakin cepat dan mendekat. Aku semakin tegang. Dan kali ini aku
yakin, dia tepat dibelakangku. Menunggu waktu yang tepat. Lalu, dengan sigap
kuputar tubuhku dan ku sorot dengan senterku.
“ WAAA !!! “, lagi-lagi aku berteriak kaget.
Ternyata yang kusorot adalah sebuah boneka kecil yang tergeletak lemah
didinding. Pandangan matanya yang bulat hitam dan kosong membuat ku penasaran. Ku
sorot dengan seksama setiap bentuk boneka itu. Sebuah boneka anak perempuan kecil
dengan rambut lurus dan panjang. Berpakaian
gaun berenda berwarna putih yang sangat elegan dan sedikit berdebu. Rambutnya
kasar dan bersarang laba-laba. Kepalanya tetunduk lesu tak berdaya menatap
kedua kakinya yang bersimpul sebelah kiri. Boneka yang sangat unik seperti
gadis kecil yang tembem. Sepatu hitam mungil terpasang dikakinya dengan tali
perekat sebagai ikatnya. Sudah berdebu dan terlihat usang. Segera kuhampiri
boneka itu dan kulihat dengan tajam. Rautan bibir yang sedang tersenyum merekat
melihatku. Aku pun tersenyum.
“ Kamu manis sekali, bakalan aku rawat nih. Kamu pasti kelihatan
lebih cantik.”, aku berbicara sendiri dengan boneka itu. Boneka itu masih diam
dengan senyumannya yang membeku. Tentu saja dia tidak bisa berbicara. Dia
adalah boneka. Segera ku peluk boneka itu dan ku bawa keruangan atas.
Penelusuran ku akhirnya kusudahi dengan membawa sebuah boneka usang yang
kutemukan digudang barusan. Pintunya kembali kututup.
Gelap.
PART #4 : W H I S P E R
Boneka itu segera kubawa
kekamar mandi untuk kubersihkan. Ku siram dan ku gosok dengan lembut setiap
lekuk kenyal tubuhnya. Akhirnya sudah bersih dan kering dengan hairdryer-ku. Kubaringkan boneka itu
dikasurku. Kulihat dengan seksama seluruh lekuk-lekuk boneka itu.
“ Nah, sekarang kita akan berteman. Kamu kuberi nama Dolly okey .”,
aku tersenyum-senyum kecil karena merasa aneh berbicara dengan sebuah boneka
yang diam. Sebuah boneka yang hanya bisa tersenyum dan menatapku. Namun, dia
adalah teman pertamaku ditempat ini.
Malam pun tiba. Aku hampir menghabiskan seharian waktuku dengan
Dolly, boneka baruku itu. Sehabis makan malam, aku langsung menuju kamar dan
bermain lagi dengan Dolly.
Aku menceritakan semua curahan hatiku kepadanya. Tapi, tetap saja
dia hanya bisa tersenyum. Namun, itu lah yang aku sukai. Senyuman Dolly seperti
menghangatkanku. Senyuman yang belum pernah ku lihat.
“Tidur lah Tiara. Aku akan
selalu disampingmu”.
Aku mengangguk kecil. Aku mendengar suara itu di pikiranku. Suara
yang hangat dan halus yang membuatku seakan terhipnotis kaku. Kutarik selimut
dan bersiap-siap untuk tidur dengan Dolly disampingku.
“Mimpi indah Tiara…”.
Esok paginya aku bangun dengan wajah yang ceria. Aku merasa
hari-hariku sangat berbeda semenjak kutemukan Dolly. Hari ini sudah berakhir
liburan sekolah. Itu artinya aku harus kembali kesekolah. Sekolahku yang baru.
Mama sudah mendaftarku disalah satu sekolah menengah atas swasta yang cukup
dikenal di kota ini. Pagi ini aku diantar oleh Mama dihari pertamaku disekolah
baruku. Tak lupa aku selalu membawa Dolly didalam tasku. Entah mengapa, aku
tidak bisa jauh-jauh darinya. Senyuman dan tatapannya seakan sudah terlukis
dijiwaku. Dolly, boneka baruku.
Tidak lama diperjalanan akhirnya aku tiba disekolah tempat ku
akan menjadi siswi baru. Mobil memasuki gerbang sekolah. Kulihat banyak
orang-orang sebayaku sedang berjalan memasuki area sekolah. Aku langsung menuju
ruangan Kepala Sekolah sebagai salam pertamaku. Di sepanjang lorong sekolah
semua mata seakan tertuju padaku. Sepertinya warga disekolah ini mengenaliku
sebagai siswi baru. Aku hanya tertunduk malu dan tidak berani memandang mata
mereka. Entah apa yang akan dibicarakan mereka tentangku. Aku terus
memikirkannya.
“Tenang saja Tiara, aku
adalah temanmu…”.
Bisikan itu kembali hadir dipikiranku. Namun, aku tersenyum.
Seperti timbul dorongan baru dibenakku. Aku pun menjadi bersemangat. Setibanya
di ruangan Kepala Sekolah, aku disambut baik disana. Bu kepala Sekolah yang
ramah dengan pakaian formal berwarna hitam berbincang-bincang dengan Mamaku.
Aku hanya bermain-main dengan Dolly
sehingga membuatku melamun dan tidak menyadari sekitarku.
“ Tiara ?.” Mama membuyarkan lamunanku.
“ Ayo cepat kekelasmu, ibu Kepala Sekolah akan mengantarmu
kesana. Mama pulang duluan. Baik-baik ya sayang”, Mama mencium keningku dan
pergi menuju mobil.
“ Ayo nak Tiara.”, ajakan Bu kepala Sekolah. Sepanjang jalan Bu
Kepala Sekolah menjelaskan tata tertib disekolah ini dan memperkenalkanku semua
ruangan disekolah ini. Namun, aku tidak mendengarkan nya. Suara yang berada
dipikiranku seakan selalu mengajakku berbicara. Seperti ada kontak yang menghubungkan
pembicaraan kami di pikiran ku. Yang tidak pernah aku sadari darimana asalnya.
Akhirnya langkahku terhenti didepan sebuah kelas. Bu Kepala
Sekolah masuk dan berbicara sebentar dengan guru yang sedang mengajar dikelas
itu. pelajaran terhenti sejenak. Lalu dia menyuruhku masuk.
“ Silahkan nak Tiara, perkenalkan dirimu”, ujar Bu Kepala
Sekolah.
Aku hanya terdiam melihat semua murid kelas yang menatapku heran.
Semua perhatian langsung terarah kepadaku. Aku menjadi grogi dan gugup. Aku
bukanlah perempuan yang pandai berbicara.
“Na..na..ma.kuu Tiara. Salam kenal semua”, perkataan ku sedikit
bergetar dan terputus-putus karena gugup. Bu Guru mempersilahkan kan ku duduk
di kursi yang memang sudah kosong. Pelajaran dilanjutkan. Aku hanya diam.
Ting Tong !!.
Bel sekolah berbunyi. Menandakan waktu istirahat pertama dan membuat
suasana kelas yang hening menjadi gaduh oleh murid yang ingin beristirahat
keluar kelas. Aku masih terduduk di bangku belajarku. Aku tidak tahu mau kemana
jika keluar kelas. Kelas sudah sepi. Kesunyian kembali mencengkram tubuhku.
Sendiri bersama Dolly.
“ Oh iya, aku kan ada Dolly !”. sadarku.
Aku buka tas dan mengambil Dolly yang tergeletak diantara
buku-buku pelajaran. Senyumannya yang khas kembali meneyejukkan hatiku.
“ Benarkan Tiara. Hanya
akulah temanmu”,
Bisikan yang selalu berdendang dikepalaku. Membuatku lupa dengan
keadaan sekitar.
“Iya, kamu memang satu-satunya temanku”, aku bergumam sendirian.
“Kamu tidak membutuhkan orang
lain. Karena, aku yang akan selalu menjagamu Tiara…”.
Aku tersenyum.
“ Eh, kamu Tiara kan ?”,
Suara itu membangunkanku dari lamunanku bersama Dolly. Segera
kutolehkan wajahku untuk melihat siapa yang memanggilku.
“ Aku Dinda. Salam kenal ya”. Tangan gadis itu menjabat tanganku.
Aku sedikit kaku karena terkejut melihatnya.
“ Kamu sendirian aja ? kenapa gak keluar ?”, Tanya Dinda yang
sudah duduk disampingku.
Aku masih saja kaku. Tanganku masih menggenggam Dolly yang
kusembunyikan didalam laci meja.
“ Aku tidak ada teman”, Aku menjawab dengan nada sedih.
Kulihat Dinda hanya tersenyum mungil. Wajahnya yang cantik
kelihatan bersahabat.
“ Kalau begitu, ayo kita kekantin bareng “, ajakan Dinda yang
menyejukkan.aku mengangguk. Kuletakkan
Dolly di laci meja. Aku berdiri dan berjalan mengikuti langkah Dinda keluar
kelas.
Di kantin aku duduk menunggu Dinda yang sedang memesan bakso. Disekitarku
banyak cowok-cowok yang memandangku dengan tatapan yang nakal. Aku tidak ingin
menghiraukannya.
“ Tiara, aku sendirian
disini…”
“ Dingin…”,
Bisikan itu seakan memanggilku dan menggetarkan jiwaku. Aku
menoleh kesana kemari mencari sumber bunyi itu. kali ini aku mendengarkannya
seperti memang ada wujud nyata yang menyebut namaku. Namun, aku tidak menemukan
apapun. Aku mulai gelisah. Suara itu terus memanggil namaku berulang-ulang
kali. Aku langsung panik dan mau beranjak dari kantin. Lalu, sebuah tangan
menukas pergelanganku.
“ Tiara, kamu mau kemana ? “.
Kulihat Dinda yang sedang membawa dua mangkok bakso menatapku
heran.
“ Aku mau kekelas dulu
sebentar. Ada yang ingin aku ambil “, wajahku terlihat tergesa-gesa dan bernada
cepat.
“ Aduh Tiara, Bel bentar lagi mau bunyi nih. Aku uda mesanin kamu
bakso . Makan dulu. Entar baru kita kekelas “, ajakan Dinda.
Aku merasa segan untuk menolaknya. Dengan sedikit redam, Aku
kembali duduk dan mulai menyantap bakso tadi dengan cepat. Pikiranku masih mengambang
kepada Dolly. Bisikan itu terus terngiang-ngiang di otakku dan menyebut-nyebut
namaku. Membuatku gelisah dan tidak tenang. Dinda mulai menyadari sikapku yang
aneh ini. Dia mengeryitkan keningnya saat melihatku melahap bola bakso yang
besar dengan satu kunyahan.
“ Tiara ? Kamu gak apa-apa ?”, Dinda membuyarkan pikiranku. Aku
tidak bisa menjawab pertanyaannya dengan mulut dipenuhi daging-daging bakso
ini. Aku mengambil minumanku dan akhirnya semuanya sudah tertelan.
“ Umm… gak apa-apa kok. Aku sudah selesai nih. Aku kekelas
duluan” jawabku dengan nada acuh.
Tak kupedulikan suara Dinda yang terus memanggilku. Aku berlari
dilorong kelas dan langsung mengarah kekelasku dan masuk kedalamnya. Aku mengambil
Dolly.
“ Maaf ya Dolly. Aku
meninggalkanmu sendirian disini. Aku gak bakalan ngulangin lagi “, kata-kata
sesal begitu saja terucap dari mulutku untuk sebuah Boneka.
“ Aku tahu Tiara…”
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu…”.
Kali ini
bisikan itu membuatku tenang. Tenang dalam kesunyian kelas.
“ Kamu adalah milikku
Tiara…”.
“ Hanya milikku…”
Tdak terasa akhirnya jam pelajaran disekolah akhirnya selesai.
Bel pulang sudah berbunyi. Aku merapikan buku-bukuku dan kumasukkan ke tas. Aku
segera beranjak keluar dari kelas. Dilorong-lorong kelas masih banyak orang
yang berbincang-bincang sambil berjalan. Aku pun menggunakan wajah dingin
karena tidak satupun dari mereka yang aku kenali. Langkah kakiku sudah hampir
menjejaki ujung lorong.
“AAWW !!”, aku kaget karena ada seseorang yang mendorongku dari
belakang. Tubuhku yang ringan pun melayang jatuh. Lalu, tiba-tiba ada sepasang
tangan yang menangkapku. Aku berada dalam dekapan seseorang. Mataku masih
tertutup karena ketakutan. Saat kubuka perlahan, mataku menangkap sosok pria
yang sedang mengayun ku di lengannya. Cowok yang tampan dengan rambut hitam lurus. Dia
tersenyum melihatku.
“ Kamu gak apa-apa ?”, dia bertanya padaku. Aku yang terkesima
melihatnya seakan tak berdaya. Dia membantuku berdiri tegap.
“Uhmm.. gak apa-apa. Makasih ya .”, aku menjawabnya malu-malu
menyembunyikan pipiku yang sedang merona merah.
“ Oh sukurlah. Aku Radit. Kamu anak baru disekolah ini ya ?”.
Dia memperkenalkan namanya padaku dengan senyuman yang manis.
Membuatku meleleh. Aku tidak sanggup menatap matanya. Tatapannya seakan
menghanyutkan hatiku.
“ Aku Tiara. Aku anak baru disekolah ini”, aku menjawabnya dengan
grogi. Dia masih tersenyum.
“ Aku balik duluan ya. Sekali lagi makasih atas pertolongannya.”
Kataku sambil menunduk. Aku masih tidak
sanggup melihat bola matanya. Aku langsung beralih dan pergi menuju mobil Mama
yang baru datang untuk menjemputku. Aku bergumam kecil.
“ namanya Radit.“
PART #5 : F L O A T E D
Sesampainya dirumah aku
langsung berlari kekamar. Keletakkan tas sandang ku di meja belajarku. Ku
baringkan tubuhku ke tempat tidur. Membuka khayalan atas apa yang terjadi
barusan.
“ Namanya Radit “, aku bergumam sambil tertawa kecil.
Aku merasa ada yang lain yang kurasakan kepadanya. Radit, cowok
yang tiba-tiba menolongku yang hampir terjatuh. Dia bagaikan pangeran berkuda
putih yang datang menyelamatkanku yang selama ini aku belum pernah merasakan
perasaan ini. Aku membalik-balik tubuhku diatas ranjang yang empuk. Tidak
kurasakan lelahnya selama disekolah disekolah tadi. Semuanya terasa
menyenangkan. Pertemuan yang tidak terduga dan mengejutkan. Apakah ini yang
namanya takdir ?. pikiranku mulai nakal. Menerawang jauh kebawah akal.
“ Tiara…kamu melupakanku ?”,
Tiba-tiba bisikan itu kembali hadir dipikiranku. Membuyarkan
imajinasi ku tentang Radit. Bisikan ini jauh lebih kuat daripada bayangan Radit
yang melayang-layang dikepalaku. Aku pun tersadar. Segera ku bangun dan menuju
meja belajarku. Kubuka tas dan masih kulihat Bonekaku, Dolly.
“ Maafkan aku ya… “
“ Oh iya, tadi aku ketemu ma cowok ganteng. Aku rasa aku suka ma
dia “, aku berbicara sambil memandang mata bulat Dolly yang hitam.
“ Kamu harus melupakannya
Tiara…”
“ Hanya aku lah Temanmu…”,
Bisikan itu seakan menguasai alam sehatku. Tiba-tiba semua
tentang Radit dengan cepat hilang begitu saja dari benakku. Seperti pasir-pasir
pantai yang disapu ombak.
“ Hanya kamu lah temanku… Dolly “, pandanganku kosong.
“ Ya… “
“Benar…”
“Hanya aku lah temanmu…”
“ Kamu tidak membutuhkan
orang lain Tiara…”
“Kamu membutuhkan ku…”.
Aku mengangguk tanpa sadar.
“Benar begitu Tiara…Kamu
membutuhkanku”.
Boneka itu semakin tersenyum. Senyuman yang semakin tajam.
Hari berikutnya aku kembali kesekolah. Hari-hariku mulai ceria.
Aku sudah sangat akrab dengan sahabat baruku, Dinda. Kami sering melakukan hal
bersama. Namun, aku tidak pernah membahas tentang Dolly didepannya. Ya, hanya
Dinda satu-satunya temanku didunia nyata. Hari demi hari di sekolahku kulewati
bersamanya. Bahkan, terkadang dia mengunjungi rumahku. Aku sudah tidak
memikirkan Radit lagi. Karena, aku tidak pernah menemuinya lagi.
“ Pagi Nona Cantik “, Dinda menyapaku dengan gurauan kecil.
“ Kamu ngangetin aja. Kayak hantu tahu gak “, aku pun membalas
gurauannya.
“ Hahaha ! memang aku hantu. Hantu imut kan. Hihihi “, Dinda semakin menggodaku. Aku hanya
tertawa kecil melihat guyonan Dinda.
“ Dinda !! “,Tiba-tiba, ada suara yang memanggil Dinda dari pintu
kelas.
Aku menoleh ingin melihat siapa yang memanggil nama Dinda. Aku
terkejut dan terpana melihat sosok cowok yang pernah kulihat,
Radit.
Aku membeku, tidak bisa melakukan apa-apa. Dia menghampiri aku
dan Dinda. Dia tersenyum melihatku.
“ PR B. Inggris aku udah
kelar belum ?” dia bertanya kepada Dinda.
“ Udah-udah. Ambil aja di tas aku. Udah siap semuanya. Happy ?”,
Dinda menjawabnya dengan nada canda.
“ Haha.! Makasih-makasih”, jawab Radit dengan senyumannya yang
melelehkan ku. Aku masih tertegun melihatnya. Radit membongkar-bongkar isi tas
Dinda dan mengambil satu buku catatan yang lebar. Radit pun menoleh dan pergi
melangkah keluar.
“ RADIT ! kemari bentar “, panggil Dinda.
“ Apa lagi sih bawel ? Kamu mau minta bayaran ?”, jawab Radit
sambil melangkah mundur.
“ Haahh ! emangnya aku matre’. Nih kenalin teman aku. Tiara “,
Dinda memandang manis kehadapanku. Radit mengulurkan tangannya.
“ Radit ! “, kata Radit dengan tersenyum.
Darahku seakan membeku melihatnya begitu dekat denganku. Aku jadi
gugup dan kaku.
“ Tiara “. Balasku sambil menerima jabatan tangan darinya. Aku
tersenyum simpul.
“ Udah kan ? aku mau rapat OSIS nih !”, ujar Radit dengan berat.
“ Iya-iya… pergi sono “, tukas Dinda. Radit pun melangkah keluar
kelas. Aku masih terpana membayangkan wajahnya. Ku cengkeram tangan Dinda.
“ Itu Dia…Itu Diaa… ! “, kataku dengan geram.
Aku mencengkeram keras tangan Dinda untuk menahan rasa bahagiaku.
“ Aduuhh.. lepasin, tangan aku sakit.. itu Dia apa ? “, jawab
Dinda sambil melepaskan tangannya dari cengkeramanku.
“ Itu Cowok yang pernah aku ceritain yang jadi pahlawan aku
kemaren. Kamu ingatkan “, kata ku dengan sambil tersenyum senang.
“ Hah ? Radit ? dia yang kemaren nolongin kamu pas kamu mau jatuh
saat didorong orang ?”, Tanya Dinda dengan wajah heran.
“ Iya-iya… Kamu udah kenal sama dia ? “, tanyaku.
“ Udah lama sihh…”, jawab Dinda dengan nada sedikit
bermalas-malasan.
“ Uhmmm…. Aku mau kekantin dulu yah “, kata Dinda.sambil beranjak
dari bangku belajar.
Aku tidak terlalu mengheraninya karena pikiranku mulai melayang lagi
bersama Radit, Radit dan Radit. Dinda sudah keluar dari kelas meninggalkan ku
sendiri lagi dikelas. Bel masuk pun belum berbunyi.
“ Tiaraa…”
“Kenapa kamu masih
memikirkannya ?”,
Bisikan misterius itu mulai datang kedalam lamunanku.
“Aku suka sama dia “, jawabku sambil melamun. Pandanganku masih
terbang kealam fantasi bersama Radit.
“ Bukankah sudah kukatakan
untuk melupakannya…”,.
“ Iya… tapi, aku tidak
bisa. Aku mohon kali ini biarin aku memikirkannya ya”. Jawabku sambil
tersenyum.
“ Tidak Tiara…”
“ Hanya aku lah yang boleh
berada dipikiranmu…
“ Buang semua tentang Dia…”,
Bisikkan itu memaksa.
” Tapi, aku suka sama dia “, jawabku dengan sedikit murung.
“ Tidakkk !!! “
“Keluarkan dia dari pikiran
mu !”,
Bisikkan itu semakin memaksa dan mendesakku.
” Tapii….”,
Ting Tong !!!
Belum selelsai ku bicara bel masuk sudah berbunyi. Membuatku
terbangun dari kontak pembicaraan alam bawah sadarku dengan Bisikan itu . Kelas
mulai gaduh dan dipenuhi siswa-siswi. Pelajaran dilanjutkan.
Hari pun berlalu.
Keesokan harinya, Aku seperti biasa bersekolah. Sesampainya
digerbang sekolah, Aku turun dari mobil dan berjalan kaki menuju sekolah. Pagi
itu cuaca sengat cerah. Burung –burung liar bertengger dipepohonan taman
sekolah. Angin pagi juga terasa hangat. Aku tersenyum menikmati indahnya pagi
ini.
“ Pagi Tiara…”, Suara yang muncul dari belakangku.
“ Pagi…”, aku menoleh. Lalu, tiba-tiba aku terperanjat karena
yang memanggilku ternyata…
“ Radit ?” tanyaku heran.
“ Iya, yang tempo hari dikenalin sama Dinda.”
Dia tersenyum lagi. Senyuman yang mampu mengalihkan duniaku. Aku
masih terpana dan seperti terbawa kesurga. Melihat betapa indahnya sosok Adam
didepanku.
“ Iii..ya… aku inget kok “. Jawabku dengan riang.
“ Kita masuk bareng yuk”, ajak Radit.
Aku mengangguk sambil tersenyum senang. Benar-benar senang.
Tidak lama kemudian tanpa sadar jejak kakiku sudah menapak pada
lorong kelas. Berarti jarak kelas sudah semakin dekat. Tidak terasa berbincang
dengan Radit membuat aku seperti lupa dengan segalanya. Apa aku benar-benar
suka sama dia ? apa aku ‘jatuh cinta’?. Kata-kata itu terus menempel didinding
dunia khayalku. Aku sungguh terpesona olehnya. Tatapannya yang sangat
menyejukkan, senyuman yang lebar dan menawan, gerak-geriknya yang mengagumkan. Aku
benar-benar merasakan hidup jika bersama dengannya. Radit yang pernah kuanggap
sebagai pangeran berkuda putih, kini benar-benar sudah berada dihadapanku.
“ Hai guys !!! ciieeh… makin lama makin akrab nih ! ehemb-ehemmmb
“, suara Dinda mengejutkanku. Dengan guyonan-guyonan yang mampu membuat ku
tersipu malu sehingga membuatku salah tingkah.
“ Enggak kok … kita Cuma kekelas bareng aja. Tadi kebetulan
ketemu digerbang sekolah “ jawabku merendah. Namun, tidak dapat kusembunyikan
pipiku yang kemerahan karena malu.
“ Iya kok Din, kita Cuma kebetulan ketemu aja. Jadi, apa salahnya
kita kekelas bareng.”, jawab Radit dengan tenang.
“ Kebetulan apa kebetulan nihh ? cieehh… ayo ngaku “, balas Dinda
sambil mencuil pinggulku.
“ Ahh.. apa-apa’an sih Dinda. Norak tahu gak .” jawabku sambil
tersenyum simpul.
“ Ya sudah, aku mau kekelas dulu ya. See you …” jawab Radit
sambil melangkah kebelakang dan melanjut ke kelasnya. Tidak lupa dia memberikan
senyuman hangatnya kepadaku sebelum menoleh kebelakang dan beranjak pergi.
Aku masih tersenyum bahagia. Meskipun dia sudah melangkah jauh.
Aku seperti terhipnotis dengan senyumannya yang sangat memikat.
“ Hei-hei… masih pagi sudah melamun.. ayo masukk !” Suara Dinda
membangunkanku sambil menarik lenganku menuju kelas.
Aku benar-benar bahagia.
“ Tiara…”
“ Aku sudah mengingatkanmu
untuk tidak memikirkannya bukan ?”
Bisikan itu membuyarkan konsentrasi belajarku. Pikiranku sudah
diambil alih lagi olehnya. Aku sudah tidak dapat mendengarkan penjelasan dari
Guru yang sedang mengajar. Aku sudah masuk kedalam alam bawah sadarku.
Pandanganku kosong,
“ Tapi, aku tidak bisa… Dia adalah orang yang memberiku
kebahagiaan”, jawabku lemah.
“ Tidak !”
“ Lupakan dia…”
“ Tidak ada satupun didunia
ini yang memberikanmu kebahagiaan…”
“ Hanya aku…”
“ Hanya aku…”
“ Hanya aku yang mampu
memberikanmu kebahagiaan…”
Bisikan itu semakin menguasai pikiranku. Aku tidak berdaya.
“ Aku tidak bisa…” jawabku. Dengan Suara yang semakin memelas
semakin rendah.
“ LUPAKAN DIAAAA !!!!! “
Bisikan itu tidak lagi menjadi hangat dan lembut tetapi berubah
menjadi teriakan yang menyeramkan dan memekakkan telingaku. Otakku seakan mau
pecah. Aku tidak sanggup menahannya. Aku menutup telinga ku dengan kedua
tanganku..
” HENTIKAAANNN !!!!”
Aku berteriak keras diruangan kelas sambil masih menutup telingaku
dengan tangan. Aku meronta-ronta. Menumbangkan meja belajarku. Buku-buku
berserakan dilantai beserta alat-alat tulis. Semua penghuni kelas terkejut.
Semuanya terpana melihatku. Memandangku dengan aneh. Pelajaran terhenti.
Aku membuka mataku setelah tidak lagi mendengarkan teriakan yang
menakutkan yang memecahkan gendang telingaku. Kulihat semua orang menatapku
heran. Aku pun menjadi linglung. Aku berlari menuju Guru yang mengajar
dikelasku. Aku minta izin pulang dengan alasan sedang tidak enak badan. Dia
mengizinkanku dengan menatap aneh kepadaku. Aku tidak memperdulikannya. Aku
berlari keluar dan meninggalkan kelas. Kudengar juga Dinda mengejarku.
Meneriakkan namaku.
“ Tiara ! Tunggu ! “ teriak Dinda dari arah belakangku.
Aku sedang tidak ingin diganggu. Aku berlari semakin kencang
menuju keluar sekolah. Memberhentikan Taksi dan masuk kedalamnya. Taksi melaju
kencang. Meninggalkan Dinda yang sudah berhenti mengejarku dan sedang
terengah-engah di gerbang sekolah. Aku berpaling untuk tidak melihatnya. Aku fokuskan
kepada suara aneh yang memecah dipikiranku barusan yang membuat hari ini kacau.
Aku bingung. Suara siapa itu ?
Sesampainya dirumah, aku langsung berlari menuju kamar .Kedengar
Mama menggedor-gedor pintu menanyakan keadaanku. Suaranya kelihatan cemas.
“ Aku gak apa-apa Ma… aku hanya gak enak badan dikit “ teriakku
dari dalam kamar.
Suara gedoran pintu dari Mama sudah berhenti. Sepertinya Mama
mengerti kalau aku sedang tidak ingin diganggu. Tiba-tiba pandanganku gelap dan
berputar-putar diatasku. Mataku tertutup. Gelap.
Mataku terbuka perlahan. Kukernyitkan mataku untuk dapat melihat
dengan jelas. Ku lihat jam di meja menunjukkan jam 16.00. Ku dengar suara Dinda
dan Radit di luar ruangan yang sepertinya sedang berbincang-bincang dengan
Mama.
Tok Tok Tok ! “ suara ketukan pintu kamar.
“ Tiara… nih ada Dinda dan Radit, sayang… Mereka ingin
menjengukmu…” kata Mama dibalik pintu.
“ Aku lagi pengen sendirian…” jawabku pelan.
Mama sepertinya mendengarnya. Ku dengar derap langkah mereka
menjauhi kamarku. Sepi dan hening.
“ Tiaraa… Kamu tidak
apa-apakan ?”
Bisikan itu terdengar lembut kembali. Menyejukkan dan
menenangkan. Seketika semua pikiran ku tentang teriakan aneh kemarin sirna
begitu saja. Aku tersenyum.
“ Gak apa-apa kok… Terima kasih ya udah perhatian sama aku “,
jawabku lembut. Pandanganku kosong dengan senyuman tanpa arti.
“ bukannya aku temanmu Tiara…”
“ Hanya aku Temanmu bukan …?”
Ku buka tas sekolahku. Kulihat Dolly tergeletak lemah. Ku ambil
dan kuangkat didepan wajahku. Aku tersenyum melihat senyuman Dolly yang lembut.
Ku peluk Dolly dengan Erat. Ku tutup mataku.
Damai.
Keesokan harinya, aku kembali bersekolah seperti biasa. Namun,
suasana mungkin tidak seperti biasa. Kulihat teman-teman dikelasku menatapku
aneh. Kudengar mereka seperti sedang menggosipkan ku. Namun, aku tidak peduli.
Aku duduk dengan memasang wajah girang. Bersiap-siap menantikan sahabatku,
Dinda.
Tak lama kemudian, muncullah Dinda dari pintu kelas dan langsung
berlari kearahku. Wajahnya terlihat cemas dan khawatir memandangku. Dengan
cepat dia duduk dihadapanku. Aku masih tersenyum.
“ Tiara ! kamu gak apa-apakan ? kamu baik-baik aja kan ? “ kata
Dinda dengan cepat. Suaranya yang getir jelas sekali sangat mengkhawatirkanku.
Aku hanya tersenyum.
“ Aku gak apa-apa kok Din. Nih lihat, aku baik-baik aja kan ? “
jawabku bangga dengan menunjukkan keadaan tubuh ku yang tidak ada
kekurangannya.
“ Aku serius Tiara… Kamu kenapa kemaren ?”, balas Dinda dengan
wajah yang serius.
“ Aku gak kenapa-napa kok.. udah lah jangan dibahas. Yang jelas
aku kan gak apa-apa “ jawabku dengan tenang.
Lalu, dari kejauhan kulihat Radit menghampiriku. Tas ransel masih melekat dipundaknya. Wajahnya
juga kelihatan cemas.
“ Tiara ? kamu gak apa-apa kan ?” kata Radit memulai pembicaraan.
Senyumnya yang manis kini tidak lagi dipakainya. Melainkan wajah yang serius
dan cemas.
Aku tersenyum geli melihat wajah mereka berdua.
“ Aduhh.. kalian ini kenapa sih. Aku kan udah bilang, aku gak
apa-apa. Nih, periksa aja ? gak ada sesuatu yang kurang dari aku kan ? “ jawabku
dengan ekspresi canda.
“ Ya udah deh Tiara, yang penting kamu gag kenapa-napa “ jawab
Dinda dengan lemas.
Radit tersenyum melihatku.
“ Ya sudah, aku balik kekelasku yak . Tiara, jangan becanda lagi
ya” kata Radit dengan lembut.
Aku mengangguk pasti. Dia tersenyum melihatku. Dan berpaling
melangkah keluar kelas. Aku masih tersenyum.
“ Dasar ya, Kalau udah Radit aja, langsung senyam-senyum kayak
orang gila” kata Dinda dengan nada canda.
“ Hehe ! Din… kayaknya aku jatuh cinta deh sama Radit. “ jawabku
menggebu-gebu.
“ Hah ? Beneran ? “ balas Dinda sambil mengernyitkan keningnya.
Aku mengangguk yakin. Dan sepertinya Dinda mengerti kalau aku
benar-benar jatuh cinta sama Radit. Dia menoleh dan terdiam. Aku hanya
tersenyum melihatnya. Dan kembali mengkhayal tentang Radit. Aku bahagia.
Hari terus berganti.
Pagi ini aku merasa ada yang berbeda. Sinar pagi yang menembus
jendela ku membangunkanku dari lelapnya tidurku. Aku tersenyum.
Dengan sigap aku melakukan rutinitasku setiap pagi. Hari ini
sedikit lebih banyak senyuman. Aku berangkat sekolah dengan wajah yang ceria.
Sesampainya didepan gerbang sekolah. Aku melihat Dinda dan Radit sedang
tersenyum menyambutku.
“ Happy Birthday ya Tiara “
Dinda memelukku dan mengucapkan ucapan selamat ulang tahun.
Aku tersenyum riang. Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke
17. Genap sudah masa remajaku. Aku sangat senang sahabat terbaikku ingat dengan
ulang tahunku.
“ HBD ya Tiara …”
Radit pun tidak lupa untuk memberi ucapan selamt buatku. Itu yang
aku tunggu dan aku harapkan. Senyumannya sangat tulus. Bahagiaku menjadi
bertambah berkali-kali lipat.
“ Malam ini jangan lupa datang kerumah aku ya. Ada pesta
kecil-kecilan. Okeh !”
Aku mengundang mereka. Dan hanya mereka yang ku undang.
Dimalam harinya aku sangat bingung harus mengenakan pakaian gaun
mana yang pantas untukku. Rata-rata gaun selalu menampakkan tulang rusuk dada
dan sedikit payudara. Aku malu harus memakainya karena disekitar dadaku banyak
terdapat bekas-bekas luka jahitan operasi penyakitku. Akhirnya, aku menemukan
gaun yang cocok yang sudah lama tersimpan ditumpukan paling bawah
pakaian-pakaianku. Sedikit menutup bagian dadaku. Warnanya juga menarik. Pink
lembut dipadu dengan putih transparan. Betapa cantiknya aku malam ini. Aku
tersenyum didepan cermin. Melihat parasku yang sudah berubah dari sejak aku
masih dirumahku yang lama. Sejak aku masih sendirian. Namun, sekarang aku sudah
memiliki sahabat yang selalu membuat hari-hariku ceria.
“ Kenapa kamu harus bahagia
disaat ulang tahunmu…”
Bisikkan itu tiba-tiba datang mengusik lamunanku.
“ Kenapa ? Apa itu tidak boleh ?
Jawabku ketus.
“ Apa kamu tidak pernah
berpikir ?”
“ Berpikir apa ?
“ Kamu tidak seharusnya
bahagia disaat hari ulang tahunmu.”
“ karena semakin lama nyawamu
semakin terkikis dan semakin habis dimakan waktu.”
“Kamu tidak punya banyak
waktu lagi untuk bernafas lega seperti saat ini.”
“ Ingat ! kamu punya
penyakit.”
“ Bahkan, hidupmu memiliki
durasi”
“. Dan semakin lama semakin
mendekati angka nol “.
Tiba-tiba wajahku menjadi murung. Aku teringat kembali
kehidupanku yang nyata. Kehidupan ku yang sudah dipastikan tidak akan lama
lagi. Kehidupan yang singkat. Wajahku menjadi layu. Aku tidak bersemangat lagi.
Bisikan itu benar-benar menguasaiku. Aku membaringkan tubuhku di ranjang. Aku
lelah. Aku menutup mataku. Dan segera tertidur. Tidak adalagi aku memikirkan
untuk merayakan pesta ulang tahunku. Aku sudah tidak percaya diri lagi. Aku
sudah terbiasa. Tak lama, aku mendengar Mama mebuka pintu kamarku. Lalu,
bergegas keluar lagi. Kemudian masuk kembali dan meletakkan sesuatu di meja
disamping ranjangku. Mataku masih tertutup. Pesta sudah usai tanpa ada
perayaan. Aku sengaja menutup mata agar Mama mengira aku sudah tertidur lelap.
Ku buka mataku setelah keadaan menjadi sunyi. Kulihat disampingku tergeletak sebuah
kado yang tidak terlalu besar namun memiliki warna menarik. Di samping kado itu
tertulis “ Kami Sayang Tiara “. Hadiah
ulang tahun dari Radit dan Dinda. Aku memandangnya tanpa ekspresi. Aku
menjatuhkan kepalaku tepat diatas bantal. Aku kembali membaringkan tubuhku yang
masih mengenakan gaun ulang tahunku. Ulang tahunku yang dingin. Bahkan tidak
ada api yang dapat menghangatkan malam itu.
Aku tertidur.
PART #6 : OTHER STRENGTH
Hari berikutnya . aku kembali
bersekolah seperti biasa. Tidak ada perasaan janggal saat aku menyapa Dinda dan
Radit. Aku benar- benar melupakan kejadian malam itu. malam ulang tahunku yang
suram. Aku masih tersenyum melihat
mereka. Mereka menatap aneh padaku. Menatap miris seperti penuh curiga dan kebimbangan.
Aku tertawa melihat ekspresi mereka. Mata mereka masih penuh dengan tanda
Tanya.
“ Kamu gak apa-apa Tiara ? “
Tanya Dinda setelah aku berada dihadapan mereka.
“Eitss … Kamu lupa kasih salam pagi ma Dolly aku nih ! “jawabku
dengan riang. Ku angkat Dolly yang kujinjing kewajah Dinda. Dinda menepis Dolly
dan menatapku serius.
“ Aku serius Tiara. Kamu sakit ? “ Tanya Dinda kembali. Radit pun
meyakinkan dengan menatapku tajam.
“ Aku gak kenapa-napa kali Din . udah deh , jangan dibahas !
bentar lagi knih.nih. PR b.inggris aku
belum selesai. Nyontek donk ! “ aku menjawab dengan cengengesan diwajahku.
Dinda mengernyitkan keningnya.
“ Ya udah. Tuh ambil di tas aku “ jawab Dinda malas.
“ SIiip !! makasih cantik “ aku mencuil dagunya dan tertawa kecil
menggodanya dan masuk kekelas untuk melanjutkan PR ku. Dinda masih berbicara
berdua Radit dimuka pintu. Aku menolehnya sesekali.
Seusai sekolah aku bergegas pulang. Aku diantar DInda dan Radit
karena Mama sedang ada arisan keluarga. Aku menumpang di mobil Corolla Radit
yang antic. Kami tertawa bersama sambil mendengarkan Radio. Sesekali kami
mengejek suara parau penyiar radio dan siaran music dangdut.
Radit mengarahkan mobil keparkiran sebuah restoran di tepi jalan.
Hari yang panas dan pelajaran disekolah yang melelahkan menggoda selera kuliner
kami untuk segera memnuhi hasrat perut.
Kami mengarah masuk dan duduk dimeja kosong 4 kusri di dekat
jendela besar yang menghadapkan sebuah kolam ikan. Pelayan datang dan meminta
pesanan kami. Setelah memesan pelayan yang lain datang menyuguhkan hidangn
pembuka berupa ice cream.
Setelah lama menunggu, tanpa sengaja aku menoleh kemeja nomor 24
di ruangan VIP restoran ini. Aku mengenali jas dan wajah itu.
“ Papa ? “ bisikku dalam hati.
Aku melihat Papa sedang bercengkrama dengan seorang wanita
separuh baya dengan pakaian casual kantor yang sexy.
Aku memperhatikan mereka. Sesekali Papa menyibak rambut wanita
itu dan wanita itu mencubitnya nakal. Aku tertegun melihat tragedy mesra yang
terlarang itu. sesekali wanita itu menyuapkan Papa dan menyapu bibir papa
dengan tissue. Hatiku sakit melihatnya. Amarah ku memuncak melihat Papa
berselingkuh dengan wanita lain.
“ Kita pulang sekarang ! “ bentakku spontan dan berdiiri
mengambil tas sandangku dan berjalan cepat kearah pintu keluar.
Dinda dan Radit keheranan dan mengejarku yang sudah didalam
mobil.
Mereka merasakan amarahku yang meluap-luap. Mereka tidak
bertanya. Kami semua diam dan membiarkan ku dengan pikiranku yang kacau.
Didalam hatiku berkecamuk emosi kepada Papa dan iba kepada Mama. Airmataku menetes dipipiku. Dinda menyapunya
dengan tisu dan mengelus pundakku. Aku menumpahkan tangisku di dadanya . Radit
juga merasakan kepedihanku. Aku berteriak-teriak didalam mobil yang terus
melaju untuk melampiaskan kekesalanku.
Aku pulang
“Tiara! hari ini waktunya buat cek kedokter sayang. Cepat
siap-siap.” Teriakan Mama dari balik pintu kamarku.
Hari ini memang sudah jadwalku buat cek kondisi penyakitku
dirumah sakit. Padahal, aku sudah tahu semuanya. Aku tahu kalau penyakitku
memang tidak akan bisa disembuhkan lagi. Sebenarnya aku iba melihat Mama yang
selalu mempertahankanku. Aku sangat merasakan kasih sayang Mama yang begitu
penuh pengorbanan demi aku. Itulah yang terus membuatku bertahan hingga detik
ini. Tak terasa air mataku sudah berada diujung pelipis mataku. Segera ku sapu
dengan tissue di meja belajar. Akupun keluar kamar dan melihat Mama sudah siap
dengan dandanannya dan menungguku disofa ruang tamu.Tidak lupa aku membawa
Dolly di tas sandang ku.
“ Ayo sayang…”, Mama mengajakku dengan lembut. Dia memegang
tanganku dengan hangat.
Aku hanya mengangguk pelan. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Sesampainya dirumah sakit, Mama langsung menuju keruangan dokter
pribadiku. Dia mengetuk pintu dan terdengar suara yang mempersilahkan kami
masuk. Pintu dibuka oleh Mama. Ruangan serba putih yang elegan. Serta pakaian
dokter dengan jas putih beserta dua orang perawat yang keluar saat kami masuk.
Dokter itu bernama Dr. Ricky. Dia masih kelihatan muda meskipun sudah Dua tahun
menikah. Kacamata bulat yang khas membuat wajahnya yang bersih dan tampan itu
semakin mencolok dengan pesona seorang Dokter. Dia mempersilahkan kami duduk.
“ Selamat siang Bu Widyo dan selamat siang Tiara.” Salam Dr.
Ricky yang lembut dan akrab.
“ Selamat siang dok. Saya ingin ngecek keadaan putri saya seperti
biasanya. Hari ini merupakan jadwalnya kan ?” jawab Mama dengan lembut pula.
“ Iya benar. Silahkan Bu Widyo tunggu di lobby ya. Saya ingin
memeriksa keadaan Tiara.” Ujar Dr. Ricky.
Mama melaksanakan instruksi dari Dr. Ricky dan keluar ruangan
membiarkan aku berdua bersama Dr. Ricky yang mengantar Mama keluar ruangan.
Setelah Mama keluar Dia mengunci pintunya.
“ Dek Tiara silahkan tiduran dulu disitu ya. Jangan lupa pakaian
atasnya dibuka.” Dr.Ricky menginstruksikan ku untuk tiduran di ranjang
pemeriksaan. Ada hal yang aneh saat aku melihat tatapan Dr.Ricky tadi. Tapi,
aku tetap harus melakukan instruksi darinya. Setelah kubuka pakaianku, ku
baringkan tubuhku diranjang pemeriksaan. Lalu, tirai ranjang pun terbuka.
Kulihat Dr. Ricky sedang mempersiapkan suntikan buat ku dengan Stethoscope, alat pendeteksi detak
jantung di lehernya. Dia tersenyum melihatku. Lalu, dia menyuntikan suntikan
itu di tangan kanan ku. Kemudian, dia menggunakan Sthetoscope untuk memeriksa
detak jantungku. Dia mulai meletakkan benda yang dingin itu di dadaku. Lalu,
tiba-tiba dia meletakkan jemarinya di sekitar payudara ku. Aku merasa sedikit
aneh. Dr.Ricky hanya tersenyum. Dia mulai memain-mainkan jemarinya disekitar puting
payudaraku menuju daerah sensitifku.
“ Uhmmm… Dok, apa ini termasuk bagian pemeriksaan ?” tanyaku
dengan sedikit tidak nyaman.
“ Oh tentu.. ini dinamakan terapi fisiologi.” Jawabnya dengan
nada sedikit aneh dan senyumannya yang berbeda dengan senyumannya saat bertemu
dengan Mama. Dia menyuruh ku untuk menutup mataku dengan mengisyaratkannya. Aku
menutup mataku meskipun aku merasa ada yang aneh. Lalu, kurasakan kedua
tangannya meremas kedua payudaraku. Aku hanya diam sambil sedikit meredam
emosi. Kugigit bibir bawahku menahan rangsangan dari sentuhan- sentuhan Dr.
Ricky yang sebenarnya membuatku gelisah dan tidak nyaman. Remasannya semakin
halus dan saat ku buka mataku perlahan, kulihat bibirnya sudah hampir menyentuh
bibirku.
PLAAKKK !!!!.
Aku pun teriak dengan lantang dan menampar Dr. Ricky. Dia
terlihat berang dengan tamparanku yang cukup keras. Rambutnya yang semula rapi
menjadi simpang siur didepan kacamatanya. Dia malah semakin menguatkan
pegangannya dengan tanganku bahkan sampai membuat tanganku menjadi sakit. Aku
tidak berdaya. Aku berteriak minta tolong namun sepertinya ruangan ini kedap
suara. Sehingga suaraku tidak bisa didengar oleh orang luar. Dr. Ricky hanya
tertawa dan langsung mencium dan melumat bibirku dengan cepat. Mulutku
terbungkam oleh bibirnya, sedangkan tangan ku masih dikunci kuat dan kasar
olehnya. Dr. Ricky semakin membabibuta terhadapku. Aku yang tidak bisa berbuat
apa-apa hanya dapat merasakan sakit dari perlakuan Dr.Ricky. lalu, dengan
refleks ku ayunkan kakiku ke tubuh Dr. Ricky dengan kuat sehingga membuatnya
terpental mundur dan menabrak meja yang terdapat banyak pajangan di atasnya.
Semuanya berhamburan kebawah. Ada sebagian pajangan yang pecah karena terbuat
dari bahan kaca. Dengan cepat aku merapikan pakaianku dan berteriak minta tolong.
Tapi, Dr. Ricky sama sekali tidak memperdulikan teriakan ku. Dia malah tertawa
lebih keras.
“ Dasar perempuan sok jual mahal ! sudah mau mati, masih saja
merepotkan. Eh ! aku hanya ingin memberikan kamu kenikmatan sebelum kamu mati.
Kamu gak akan pernah merasakannya. Jadi, aku mau kamu mati dengan tenang !
tapi, malah sok jual mahal !! “ Dr. Ricky menghardikku dengan keras. Kewibawaan
seorang dokter sudah tidak terlihat lagi di raut wajahnya yang beringas. Aku
hanya menangis.
“ Aku akan aduin ke Mama tentang perlakuan Dokter !! “ jawabku
dengan lantang sambil meringis kesakitan.
“ HAHA ! kamu mau aduin aku ? gimana caranya ! Aku sudah
menyuntikan kamu dengan cairan Amnesia. Kamu akan melupakannya sebentar lagi “
kata Dr. Ricky dengan senyuman kemenangan.
Aku hanya menangis dan berlari menuju pintu dan membukanya dengan cepat. Setelah pintu
terbuka, aku langsung berlari keluar sambil memanggil Mama. Lalu, hanya
beberapa langkah kakiku, tiba-tiba mataku berkunang-kunang, dan semuanya
menjadi gelap.
BRUUUKKK !!!
Tubuhku ambruk tidak sadarkan diri.
Mataku merasakan ada cahaya yang terang menyilaukan. Ku buka
mataku dan melihat sekitar. Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar
sehingga membangunkanku. Aku masih merasakan pusing dikepalaku. Lalu, pintu
kamarku terbuka. Kulihat Mama membawakanku sarapan dan segelas susu.
“ Ma… apa yang terjadi sama aku ? kenapa aku gak ingat apa-apa
?”, ujarku dengan masih memijat-mijat kepalaku yang berdenyut-denyut.
“ Kamu pingsan Tiara. Kemarin, saat ingin diperiksa oleh Dr.
Ricky kamu lari keluar dan terpeleset. Kata DR. Ricky, kamu ketakutan melihat
jarum suntik. Tapi, ya sudah lah. Kamu istirahat aja ya “ Mama mengecup kening
ku dan keluar kamar.
Aku yang sudah tidak megingat apa-apa lagi, hanya merasa heran dan
bingung. Aku pun membaringkan tubuhku di ranjang. Menutup kembali mataku.
Gelap.
“Tiara…”
“ Bangun…”
“Aku kesepian disini…”,
tiba-tiba aku mendengar bisikan itu lagi. Yang membangunkanku
dari tidurku. Kubuka mataku dan kulihat Dolly tergeletak di meja belajarku. Ku
raih tangannya dengan susah payah. Lalu kudekap dia didadaku.
“ Maaf ya Dolly… aku tidur terlalu lama ya ?” aku berbicara
sendiri.
Namun, selalu ada balasan dari setiap kata yang ku ucapkan. Tidak
kudengarkan dari telingaku. Tapi, kudengarkan dipikiranku. Dolly seakan
berbicara dipikiranku.
“ Apa kamu benar-benar lupa
kejadian kemarin kenapa sampai kamu pingsan Tiara ?”,
Bisikkan dalam pikiranku.
“ Iya.. aku benar-benar lupa. Kata Mama, aku terpeleset saat akan
diperiksa”, jawabku dengan wajah luguku.
“ Tiara…Tiara… “
“Kamu sudah dibohongi sama
Dr. Ricky.”
“ Kamu tidak pingsan karena
terpeleset. “
“Melainkan Karena cairan dari
suntikan Dokter cabul itu “,
Bisikkan itu kudengar jelas dipikiranku. Tiba-tiba aku teringat
kejadian saat Dr. Ricky ingin memperkosa ku. Ingatan ku sudah kembali. Wajah ku
berubah ekspresi. Ekspresi kesal dan amarah yang lansung menguasaiku.
“ Siaalll !!!! Dokter biadabbb !!!! “, aku menangis.
“ Kamu tidak perlu menangis
Tiara. Kan ada aku”
“. Kita akan membalasnya”,
Bisikan itu membuat airmataku berhenti
mengalir. Hawa panas memuncak di tubuhku. Kurasakan amarah yang luar biasa
menjalar di setiap tubuhku.
“ YA ! kita akan membalasnya ! “, jawabku dengan lantang.
“ Yaa… kita akan
membalasnya”.
Aku tersenyum. Tersenyum yang bukan senyumanku. Senyuman yang
menyeringai lebar.
PART #7 : R E V E N G E
Keesokan harinya, aku
bersekolah seperti biasa. Aku tidak membicarakan tentang kejadian yang
memuakkan kemarin. aku juga tidak melupakannya. Tidak akan pernah bisa
kulupakan. Gerbang sekolah sudah ku lewati. Aku melihat sekitar, tidak kutemui
Radit yang biasanya selalu menemani pagiku. Tapi, aku tetap tersenyum. Dengan
langkah pasti aku menuju kelasku. Lalu, aku mendengar suara orang yang sedang
berbicara. Suara yang aku kenali. Suara Dinda. Aku menoleh mencari dari mana
asal suara iu. Kudengar disamping dinding lorong kelas adalah sumber suara itu.
Ku melangkah kesana menyimpang dari rute arah menuju kelasku. Aku mendekati dan
sedikit bersembunyi-sembunyi. Suara itu semakin jelas kudengar.
“ Ya, ini pasti Dinda..”
Aku bergumam kecil dengan yakin. Langkahku semakin dekat dengan
sumber suara itu. Kudengar suara itu menyebut namaku. Ku intip dengan sebelah
mata. Kulihat lorong tanah itu dan kudapatkan dua orang sosok yang ku kenal.
Dinda dan Radit.
“ Apa yang mereka bicarakan ? Kenapa mesti sembunyi disini sih ?”
aku menggerutu didalam hati. Kudengarkan dengan seksama apa yang sebenarnya
mereka bicarakan sampai-sampai menyebut namaku.
“ Aku tidak sanggup gini terus Din… aku tidak sanggup terus
berbohong” kata Radit dengan suara sedikit meninggi.
“ Aduhh Radit. Sudah berapa kali aku harus menjelaskannya
kepadamu. Aku mohon. Lakukanlah demi aku “ jawab Dinda dengan suara memelas.
“ Aku tidak bisa Dinda. Aku tidak bisa berpura-pura harus suka
dengan Tiara. Yang aku suka itu kamu ! “ balas Radit semakin mendesak DInda.
“ Radit, aku mohon… Tiara itu cinta sama kamu. Aku tidak ingin
meyakiti hatinya. Waktunya Cuma sebentar. Beri dia kebahagiaan dalam detik-detik
terakhir dihidupnya” Dinda terlihat menangis. Suaranya bergetar dan berat.
Radit terlihat lemas. Hatinya renyuh melihat Dinda menangis
sedih. Lalu, dia memeluknya.
“ Aku Cuma sayang sama kamu Dinda, aku lakuin ini karena aku
sayang sama kamu.” Jawab Radit dengan suaranya yang sedih.
Tangisan Dinda semakin tumpah didada Radit. Mereka saling
berpelukan. Sangat mengharukan. Suasana yang sangat menyedihkan. Namun,
bagaimana dengan ku ?
Air mataku tetumpah, seperti melelehkan bola mataku. Hatiku retak
dan hancur berkeping-keping melihat kenyataan ini. Hati ku sakit. Aku tidak
sanggup melihatnya. Aku benar-benar sakit hati. Aku tidak percaya kedua sahabat
yang selama ini ku sayangi. Berteman denganku karena hanya iba dengan ku yang
sebentar lagi mau mati. Aku benci mereka !
Aku berlari kencang keluar gerbang. Kutinggalkan mereka disana.
Aku tidak ingin melihat mereka lagi. Aku mengurungkan niatku untuk bersekolah.
Aku langsung memberhentikan taksi dan berlalu pulang. Air mataku tidak
henti-hentinya keluar sepanjang jalan. Hatiku seperti ditusuk oleh ribuan
belati yang tajam dan beracun. Aku menangis terisak-isak bahkan membuat nafas
ku sesak. Aku terbatuk – batuk . dan saat kulihat telapak tangan ku berdarah.
Bibir dan hidungku berdarah. Penyakitku mulai kambuh. Sesak nafas ku semakin
menjadi-jadi. aku menyuruh supir taksi untuk melaju lebih cepat. Supir taksi
juga terlihat panik.
Sesampainya dirumah, aku sudah menyapu bersih darahku dengan
tissue. Aku masuk kerumah dengan lemas. Aku menuju kamar dan mengunci.
Kurasakan hari-hariku yang rapuh. Seakan sudah tidak berguna lagi. Aku masih
menangis dibalik bantal guling yang sudah basah karena air mataku yang masih
mengalir tanpa henti.
“ Benarkan Tiara…”
“ Mereka semua jahat !.”
“ Tidak ada yang berarti
buatmu…”
“ Hanya aku, Hanya aku yang
kamu butuhkan…”
“ Kamu membutuhkanku…”
Bisikan itu datang ditengah-tengah kejiwaanku yang sedang labil.
Sehingga aku masuk dalam setiap kata-kata yang kudengar dalam bisikan di
pikiranku ini.
“ Kamu benar ! Aku tidak akan mempercayai siapapun lagi. Hanya
kamu yang ngerti aku. Aku tidak membutuhkan orang lain. Hanya kamu yang aku
butuhkan”
Aku berkata tegas. Kulihat Dolly tergeletak disampingku. Mata dan
senyumannya menyejukkanku. Membuat ku berhenti menangis. Tapi, membuatku memulai
untuk memikirkan apa yang harus aku
lakukan untuk memenuhi hasratku karena jiwaku yang sudah sobek dan berdarah ini.
“ Yaa…”
“ Kamu bisa membalaskan
dendam mu kepada semua orang yang sudah menyakiti mu.”
“ Aku akan membantumu.”
“ Aku akan selalu ada
disampingmu…”
Bisikan itu terdengar menjanjikan dengan kata-kata manisnya. Aku
mempercayai kata-kata itu. Aku akan memulainya. Aku tersenyum kembali.
Tidak lama kemudian, aku mendengar ada suara keributan diluar
kamarku. Suara Mama dan Papa. Kelihatannya mereka sedang bertengkar hebat. Aku
merasa kesal dan muak dengan semuanya. Aku keluar kamar dengan tegap dan
berani. Ku hampiri sepasang suami istri yang selalu bertengkar ini dengan wajah
yang menyeramkan.
“ PAPA JAHAT ! Papa sudah tidak seperti dulu lagi. ! “ kata Mama
dengan lantang dengan suara terisak-isak.
“ ALAAHH ! Kamu istri tidak tahu diuntung. Sudah aku nafkahi
dengan suah payah. Ini cara kamu berterima kasih ha ? ! “ jawab Papa dengan
suara yang kasar.
Aku sudah cukup mendengar semuanya. Akhirnya aku memberanikan
diri untuk tidak membungkam mulutku lagi. Aku keluar kamar dan membuka pintu
dengan kasar sehingga menarik perhatian mereka. Mereka sontak terdiam dan
memandangiku yang berjalan cepat ke arah mereka.
“ Sudah ! Hentikan ! kalian selalu seperti ini ! aku sakit
mendengarnya. Kenapa kalian tidak bisa akur sebentar saja. ! “ kataku lantang.
Suaraku membuat hening suasana.
“ Kamu lagi, ikut-ikutan bicara ! kamu itu sama saja dengan
Mamamu ini. Selalu merepotkan. Apa lagi ditambah dengan penyakitmu yang tidak
akan bisa sembuh ini ! hidup kamu itu Cuma menyusahkan saja ! “ kata Papa
dengan tajam dan menusuk.
Hatiku hancur dua kali. Setelah dengan susah payah ku kumpulkan
serpihan hati yang telah terpecah belah barusan. Sekarang sudah pecah lagi dan tidak
mungkin bisa disatukan kembali. Air mataku keluar lagi. Kali ini lebih deras.
“ PAPA ! HENTIKAN ! “ balas Mama yang semakin kalut melihatku
menangis tak berdaya.
“ DASAR KALIAN ORANG-ORANG YANG MENYUSAHKAN ! aku menyesal telah berhubungan dengan
orang-orang seperti kalian. ! “ tambah Papa dengan wajah tanpa rasa sesal.
Tangisanku semakin menjadi-jadi. kali ini sesak nafasku juga
kambuh. Aku terbatuk dengan keras sehingga memuncratkan darah kelantai. Hidung
dan telingaku mengalirkan darah merah yang segar. Kepalaku pusing. Dadaku sesak
sampai membuat Nafas ku terseok-seok sehingga mengeluarkan suara yan
memedihkan. Pandanganku kabur . aku tidak bisa bernafas.
BRUUUKKK !!! tubuhku
terjatuh kelantai. Aku tidak sadarkan diri.
Masih terdengar suara Mama yang meneriakkan namaku dengan lengkingan
tangisan yang menggetarkan. Dan semakin lama, suaranya semakin jauh dan semakin
jauh. Hingga aku tidak mendengarkan apa-apa lagi. Gelap.
“ DOKTER ! Tolong anak saya dok. Tolong !! “
Mama berlari sambil mengendong tubuhku yang tidak sadarkan diri.
Suster-suster dari meja resepsionis sebuah Rumah Sakit berhamburan kearah Mama
yang susah payah mengangkat tubuhku yang berat. Mama yang sudah tidak berdaya
tetap saja memaksakan tangannya untuk tetap membopongku. Tubuhku langsung
diletakkan diatas ranjang rawat yang beroda. Ranjang itu didorong dengan
tergesa-gesa oleh suster dan Mama. Sebuah alat pernafasan dilekatkan dihidung
dan dimulutku. Aliran infuse mulai menetes. Suasana lorong rumah sakit yang
semula tenang berubah gaduh karena suara memelas Mama yang terus memanggil
namaku. Namun tetap saja, mataku masih tertutup.
Ranjang beroda itu akhirnya terhenti didepan sebuah ruang rawat
bertulisan ‘ EMERGENCY’. Suster menginstruksikan Mama buat tenang dan menunggu
diluar ruangan. Mama kelihatan tidak puas dan terus menangis. Dia menyalahkan
dirinya yang beranggapan semua ini adalah kesalahannya. Dia terduduk gelisah
dikursi tunggu sambil terus berkomat-kamit berdoa kepada Tuhan demi
kesembuhanku. Matanya yang penuh harap masih saja tidak kering. Dia menangis
sejadi-jadinya.
Tiga orang suster dan satu orang dokter terlihat sangat sibuk
mempersiapkan alat-alat untuk menyelamatkanku. Tubuhku mulai kejang-kejang dan
bergetar. Salah seorang suster mengecek keadaanku.
“ Dia tidak bernafas ! “ ujar salah seorang suster yang
meletakkan salah satu jarinya dilubang hidungku dan tidak merasakan adanya
hembusan nafas yang menandakan kehidupan.
Seorang dokter meletakkan kedua tangannya diatas dadaku dan
menghentakkan sekuat tenaganya. Namun, tidak terlihat adanya tanda-tanda
perubahan kondisi pada tubuhku yang tidak juga terbangun. Akhirnya dia
menyalakan sebuah alat berkapasitas listrik tinggi dan menyentuhkannya ke
dadaku. Tubuhku seketika terlonjak dengan keras. Namun, masih saja tanda-tanda
kehidupan tidak berpihak padaku. Dokter itu tidak menyerah. Dia menarik tuas
bertulisan ‘VOLT’ keatas yang berarti menambahkan kapasitas tenaga listrik yang
sangat besar. Keringatnya bercucuran dengan deras. Membuat suasana ruangan itu
menjadi tegang. Dia kembali meletakkan alat yang bergetar itu ke dadaku dengan
berhati-hati. Saat alat itu menyentuh tubuhku, seketika tubuhku terangkat
keatas lebih tinggi dari lonjakan sebelumnya sehingga membuat kaget
suster-suster yang berada disamping tubuhku yang lemah. Akhirnya, detak
jantungku berfungsi kembali. Terlihat dari monitor yang memberikan skala-skala
getaran detak jantung yang dihubungkan ketubuhku. Namun, detak jantung itu
sangat lemah. Aku masih hidup.
Sejak saat itu, aku dinyatakan koma dan tidak terbangun selama
tiga hari. Peralatan-peralatan medis yang besar berada disekelilingku. Dan
mengkoneksikannya dengan puluhan kabel yang ditempelkan pada kulit tubuhku.
Mataku masih tertutup rapat. Tubuhku memang sedang tidak sadarkan diri. Namun, dipikiranku
aku telah terjaga. Aku sedang berjalan kaki disebuah tempat yang sangat gelap
bahkan, aku tidak bisa melihat tanganku sendiri. Kakiku masih kulangkahkan
maju. Entah sampai kapan aku harus berjalan tanpa tujuan karena didepanku
memang tidak terlihat sebuah tujuan.
“ Dimana Aku ? “
Aku bertanya pada kehampaan. Suaraku bergema keras bahkan sampai
tercipta dengungan yang bergerak menjauh. Aku tidak mendengar adanya jawaban
dari pertanyaanku tadi. Aku masih menunggu dengan wajah heran.
“ Kamu sedang berada dalam
pikiranmu sendiri Tiara…”
Kudengar suara bisikan itu
yang kali ini juga berdengung di sekitarku.
“ Apa maksudmu ? “ tanyaku.
“ Coba kamu lihat
sekelilingmu…
Aku menoleh kesana kemari. Mendelikan mataku yang nanar. Gelap.
“ Kamu tidak bisa melihat
apapun bukan ?...
“ ini adalah piikiranmu. “
“Pikiranmu adalah kekosongan
dan kesunyian.”
“ Hidupmu sudah tidak berarti
apa-apa lagi.”
“ Kamu itu sudah mati”
Bisikan itu terdengar jelas ditelingaku. Ini bukan mimpi.
“ Aku berada dalam pikiranku ? . pikiranku adalah kosong. Dan aku
sudah mati ? “
“ Benar…”
“Dan kamu tahu. “
“Apa yang harus kamu lakukan
agar kekosongan ini akan menjadi berarti ? “
“ Apa ? “ jawabku.
“ Kamu tidak boleh membiarkan
dirimu tertindas lagi…”
“Kamu harus bangkit dari
keterpurukanmu yang sudah kamu rasakan selama hidupmu…”
Bisikan itu semakin menguatkan hatiku. Kini, aku semakin tertarik
kedalam hasutan bisikan itu.
“ Bagaimana caranya ? “ jawabku dengan nada yakin.
“ Kamu harus tetap hidup. “
“ Aku akan memberikan mu
kehidupan lagi dan demi semua itu, kamu harus mengorbankan nyawa orang lain “
Aku mendengarkan.
“ Kamu harus membunuh…”
Aku terperanjat. Seluruh tubuhku merasa dingin.
“ Aku adalah temanmu … Aku
akan selalu ada disampingmu Tiara… Kamu tenang saja”
Aku merasa ada suatu kekuatan yang masuk kedalam ku. Sesuatu yang
tidak pernah aku rasakan. Tapi, aku meyakininya.
Aku tersenyum.
Mataku terbuka dengan cepat. Pandanganku sinis dan kosong. Aku
berdiri dari ranjang. Dengan kasar kucabut semua selang-selang medis yang menusuk
kulitku. Bahkan sebagian alat berat itu menjadi error akibat tarikan dari
tangan kasarku. Wajahku berubah menjadi garang. Rambutku yang berantakan
membuat perawakanku semakin menyeramkan. Ku ambil sebuah pisau bedah yang
berada dihadapanku. Kupegang dengan erat sampai membuat tanganku bergetar. Pantulan
cahaya lampu diujung pisau menandakan betapa tajamnya pisau itu. Aku keluar
dari ruangan itu. Membuka dengan pelan pintu yang tidak terkuci. Dan berjalan lambat dilorong Rumah Sakit.
“ Aku akan mencabut nyawamu…”
Suara serak dan berat keluar dari mulutku. Aku tersenyum
menyeringai.
Di sebuah ruangan masih terdengar suara ketikan keypad computer
yang berbunyi khas yang menandakan Seseorang masih terjaga didalamnya. Ruangan
itu terletak diujung sebuah lorong Rumah Sakit, Rumah Sakit yang sama tempat
dirawatnya Tiara. Ruangan itu memiliki warna pintu yang berbeda dengan pintu
lain. Pintu lain berwarna putih lusuh dan terdapat kaca persegi panjang
dibagian atas yang menandakan sebuah ruang rawat buat pasien. Sedangkan pada
pintu ruangan ini berwarna pernis kayu yang mencolok. Di pintu itu tertempel
sebuah nama. “ Dr. Ricky Alveines “.
Berkali – kali Dr. Ricky menguap dalam satu menit. Dia terlihat
sangat lelah dan menebarkan ekspresi kantuk yang amat kuat. Lenturan matanya
sudah berkerut hingga 7 lipatan yang berwarna agak gelap. Ganggang kacamatanya yang
bulat sudah turun hingga setengah batang hidungnya. Matanya terlihat layu dan
hanya bertenaga 5 Watt saja. Tapi jari-jari tangannya yang telaten masih saja
menekan-nekan keyboard komputer dengan cepat. Jam sudah menunjukkan jam 02.05
Dini hari. Dia hampir menyelesaikan data-data pasien bulanan yang akan
diserahkan kepada kepala Rumah Sakit besok pagi. Dia sedang mengejar waktu yang
selama ini dia sia-siakan. Hawa malam di rumah sakit semakin dingin seiring
berjalannya waktu. Seketika bulu kuduknya berdiri. Dia menggeliat dengan cepat.
Dia menatap ke arah AC. Diambilnya sebuah remote kecil di rak samping meja
kerjanya. Dia arahkan ke mesin AC itu dan menekan tombol untuk menurunkan suhu
yang akan di Conditioning oleh AC.
Dia sedikit tenang. Dia kembali memfokuskan perhatiannya pada monitor kumputer
yang memberikan pantulan cahaya ke wajahnya yang lusuh. Jari tangannya kembali
bekerja.
Silang 15 menit mengerjakan tugas itu. Perhatiannya terusik oleh
suara yang aneh. Sebuah suara gesekan antara besi dan dinding yang terdengar
amat memilukan. Suara itu semakin mendekat dengan gema yang melayang-layang di
sepanjang lorong Rumah Sakit itu. Dr. Ricky menyadari bahwa ada orang lain yang
sedang terjaga di Rumah Sakit itu selain dia. Merasa penasaran, akhirnya dia
mencoba keluar ruangan dan menunda pekerjaannya itu. Dia berderap kearah pintu
dan menyentuh ganggang pintu kemudian memutarnya. Pintu terbuka menimbulkan bunyi
kerekan dilantai. Dia mulain mengedarkan pandangannya keluar ruangan. Dia
melihat langang sepanjang lantai. Suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Seketika suasana menjadi hening. Dr. Ricky mengernyitkan keningnya dan
menaikkan kembali kacamatanya ke posisi normal. Dia berpikir untuk menemukan
sumber bunyi yang telah mengusik perhatiannya. Dia mulai melangkah maju dengan
langkah bimbang. Dia tetap mengawasi setiap gerakan di sepanjang lorong itu.
Tetap saja tidak terlihat sebuah tanda-tanda kehidupan. Dia terus melangkah
untuk memuaskan rasa penasarannya itu. Tinggal beberapa langkah lagi maka
lorong itu sudah habis dia telusuri. Dihadapannya terdapat tiga jalan yang
menghubungkan ke tiga lorong lain. Dia bergerak ke jalan kiri dan mulai
menelusuri lorong berikutnya. Dia berjalan agak cepat menuju meja resepsionis.
Biasanya selalu ada seorang perawat yang tengah berjaga dan bekerja pada sif
malam. Dia sudah melihat meja resepsionis didepannya. Nyala lampu yang terang
sangat menjelikan pandangan. Meja yang cukup besar dan setinggi dada dengan
warna pernis kayu yang khas sudah berada di depannya. Meja itu terletak
dipersimpangan antara lorong satu dan yang lainnya. Dia tidak melihat ada
perawat yang seharusnya selalu berada di meja itu untuk selalu siap saat dibutuhkan. Dia mulai menanarkan pandangannya kelorong
lain. Focus matanya sudah mencapai maksimum dengan menyipitkan matanya yang
hitam itu karena lorong lain terlihat sangat gelap dengan penerangan seadanya.
Dia menekan sebuah bel pemanggil kecil yang berada diatas meja resepsionis
dengan bunyi lonceng yang lengking. Tetap saja tidak terdengar adanya jawaban
dari bunyi bel itu. Dia menjingkitkan sepatunya untuk mendapat penglihatan
lebih tinggi untuk melihat kedalam ruangan resepsionis. Sebuah ganggang telepon
yang menyala tergantung-gantung di meja bawah serta kertas-kertas yang
berserakan tidak beraturan. Dia mulai menangkap suatu yang tidak beres telah
terjadi. Dia memberanikan diri untuk masuk kedalam ruangan resepsionis itu. Dia
mendekati sebuah pintu kecil yang menghubungkan meja besar itu ke tempat kerja
para perawat yang terbuat dari kaca. Langkah pertamanya dengan sepatu hitam
sedikit membuatnya gentar. Lalu tiba-tiba dia menjadi shock setengah mati
melihat cairan merah merembes kesepatunya. Didepannya terlihat dua orang
perawat yang sudah terbujur kaku dengan mata yang masih berdelik kosong. Baju
putih mereka sebagian terkena darahnya sendiri yang masih mengucur. Keadaan
mereka sangat menggenaskan. Satu dalam keadaan terlentang diatas meja dengan perut
yang sobek dan berdarah kental kehitaman. Sedangkan yang lainnya tergeletak di
lantai dengan luka gorokan besar di lehernya yang hampir putus yang
menggumpal-gumpalkan daging berwarna kehitaman dengan Rambut terurai dan
dibasahi oleh darah yang menggenang dilantai. Dr. Ricky menjadi panik dan bergerak keluar dengan
cepat. Kakinya tersangkut di meja dan dia pun tersungkur ke lantai. Dia bangun
dan berlari liar ke lorong dengan sepatunya yang masih berlumuran darah
sehingga menyisakan warna darah di setiap langkahnya. Dia merogoh saku jas
putihnya dengan panic. Berharap menemukan kunci mobilnya. Namun, sepertinya dia
meninggalkannya di ruangan kerjanya. Dr. Ricky berlari kencang sepanjang lorong
menuju ruangannya. Kali ini dia tidak perlu berpikir lagi buat menentukan
lorong mana yang mengarahkan ke ruangannya. Sesampainya di lorong tempat
ruangannya itu. Dia menambah kecepatannya. Lalu, dengan cepat dia menarik kasar
pintu ruangannya itu. Namun, pintunya terkunci. Dia terus berusaha membuka
pintu itu. Dia tarik, dorong bahkan ditendang dengan keras. Namun, pintu itu
masih terkunci. Dia putus harapan. Keringat dingin mengucur deras di wajahnya
hingga tubuhnya. Keringat itu menembus baju bahkan jas putihnya. Lalu,
tiba-tiba dia terdiam. Dia memusatkan perhatiannya pada pendengarannya. Dia
mendengar bunyi yang pernah dia dengar sebelumnya. Bunyi gesekan antara besi
dan dinding yang bunyinya masih saja memilukan bahkan sangat mengiris. Dia
tajamkan penglihatannya diujung lorong yang sedikit gelap. Dia melihat sebuah
pisau yang di iriskan pada dinding tembok sehingga menimbulkan bekas goiresan
yang mengerikan. Pisau yang masih berlumuran darah disekitar nya. Pisau itu dipegang oleh seorang perempuan.
Seorang perempuan yang mengenakan pakaian pasien tanpa beralaskan kaki apapun.
Dr. Ricky terkejut dan mulai panik lagi. Dia mendobrak-dobrak pintu dengan
gerakan ketakutan. Dia mencoba melarikan diri. Namun, dia sedang berada di
depan ruangannya sendiri yang terletak diujung lorong. Sebuah jalan buntu dan
berujungkan ruangannya sendiri. Keringatnya semakin mengucur deras dan bernafas
tersengal-sengal tak beraturan saat melihat perempuan itu mendekat. Perempuan
itu menengadahkan wajahnya dengan lambat. Lalu, Dr. Ricky semakin menjadi-jadi
saat melihat wajah perempuan itu. Wajah
yang dia kenal. Dia melihat wajahku.
Aku melangkah gontai mendekati lelaki yang sedang ketakutan
didepan mataku. Lelaki yang kubenci. Lelaki yang pernah melukai jiwaku hingga
sedalam yang bisa digali. Tangan kiri ku tergantung-gantung di sendi ku.
Seperti zombie yang tidak bernyawa.
Tangan kananku masih menggenggam erat pisau bedah yang cukup besar dan tajam.
Pisau yang berlumuran darah dua orang perawat di meja resepsionis yang berusaha
mencegah ku kabur. Aku muak melihat mereka dan segera saja aku layangkan pisau
ini ke leher dan perut dua orang perawat yang menjengkelkan itu. Aku sempat
tertawa puas. Pisau ini masih ku goreskan ke dinding tembok sebelah kananku.
Menyisakan bekas goresan yang kecil dan dalam. Aku tersenyum menyeringai melihat
lelaki di depan ku. Dr. Ricky yang dulu aku kenal sebagai dokter yang baik hati
dan ramah. Namun, semua itu sudah sirna saat tragedy yang dilakukannya saat
berusaha memperkosaku dan memanipulasi kejadian yang sebenarnya dengan
memberikan ku bius amnesia. Sungguh bejat. Keji !
Dr. Ricky melihatku gentar. Giginya bergemeletuk satu sama lain
diiringi keringat dinginnya yang mengucur deras. Dia takut melihatku. Dia takut
melihat pisauku.
“ Tiara… apa yang kamu lakukan disini ?. Mau apa kamu ?”
Dr. Ricky sangat gelisah saat langkahku mulai dekat dengannya.
Aku masih diam sambil tersenyum. Senyuman yang bukan dari
bibirku. Senyuman dari rasa marahku.
Dr. Ricky semakin tak karuan. Rasa takutnya sudah mencapai
ubun-ubun kepalanya. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh ku.
“TIARA ! kamu jangan main-main dengan saya ya! . buang pisau itu
! jangan berpikiran bodoh ! “
Dr. Ricky berteriak mengancam dengan lantang sehingga membuat
bayangan suaranya yang terus memantul di dinding hingga ujung lorrong. Namun,
aku masih bisa mendengar rasa takutnya dibalik suaranya yang menantang.
Aku masih tersenyum. Goresan didinding semakin ku pertajam.
Menciptakan suara lengking miris yang memekakkan telinga. Kulihat Dr. Ricky
menutup telinganya dengan keras menggunakan kedua tangannya.
“ Dok.. aku sedang horny nih … mau gak temenin aku bercinta ? “
Suaraku yang menggoda keluar begitu saja dari bibirku.. ku julur
kan lidahku ke setiap bagian bibirku yang kemerahan sehingga terlihat binal.
“ ayo dok.. aku sudah gak tahan lagi nih ! “
Suaraku mengeras dan tertekan mengancam.
Dr. Ricky semakin cemas. Dia terdiam dan tidak tahu harus berbuat
apa-apa lagi.
“ TIARA ! kamu sudah GILA ! pergi kamu !!! “
Dr. Ricky berteriak keras. Mengancamku dengan kata-kata yang
kasar. Namun, tidak menggoyahkan ku. Malah, aku semakin bernafsu untuk
MEMBUNUHNYA. Ku bayangkan pisau itu akan menancap di antara matanya dan
menembus otaknya. Sungguh manis.
Langkahku semakin dekat dengan posisi Dr. Ricky yang terlihat
membeku oleh keringat dinginnya. Dia sangat ketakutan. Aku menikmati setiap
detik aku melihat wajah yang ketakutan itu. Wajah yang memuakkan. Namun, wajah
itu sebentar lagi akan tergores oleh pisau dan tanganku. Aku sudah tidak sabar
lagi.
Satu langkah lagi aku menyentuh tubuhnya. Ku dekatkan wajah ku ke
wajahnya. Dr. Ricky terlihat pasrah. Tubuhnya yang kelihatan kuat itu sudah
kulunakkan. Lembek !.
“ INGATKAH KAMU SAAT KAMU INGIN MELUKAIKU HA !!!. INIKAH WAJAH
YANG PERNAH KAMU PERLIHATKAN SAAT KAMU BERUSAHA MENODAIKU !!
Aku berteriak keras tepat didepan matanya. Dia menutup mata
sambil bergeletak ketakutan. Aku sudutkan pisau itu didepan matanya. Dia
semakin ketakutan.
“ Tiara… aku minta maaf … aku mohon… jangan lukai aku…”
Suaranya bergetar ketakutan yang amat sangat bergejolak didadanya.
“ LELAKI BANGSAT ! “
Aku layangkan pisau itu kemata kirinya dengan keras hingga
menembus kacamatanya dan berserakan di lantai. Darah segar mengucur deras dari
lubang matanya yang ditutup oleh tangannya. Sebagian darah juga muncrat ke
wajahku. Dia merasa kesakitan yang maha dahsyat. Dia meringkuk kelantai sambil
terus berteriak kesakitan. Darah tidak berhenti keluar sehingga membuat jas
dokter yang putih itu berwarna merah kelam. Merah darah.
Dia menggeliat-geliat di lantai sambil terus menahan sakit karena
bola mata kirinya sudah ku tusuk dan pecah. Dia tergeletak tak berdaya. Mata
kirinya sudah tidak terlihat lagi. Hanya pelipis mata yang membengkak serta
darah yang merembes melalui wajahnya. Aku tertawa senang. Aku tertawa bahagia.
Aku tertawa puas.
“ RASAKAN ITU BRENGSEK !!! BAGAIMANA SAKITNYA HA ! MAMPUS ! “
Aku mencerca menghina tubuh yang tidak berdaya itu. Aku sangat
senang . aku merasa ada kekuatan yang besar didalam tubuhku. Dan aku menyukainya. Selanjutnya, aku duduki
dadanya. Dia masih mengerang kesakitan. Dia sudah tidak bertenaga.
Aku masih ingin bermain-main dengannya. Aku masih muak melihat
wajahnya. Meskipun nyawa nya sudah ada di tangan kananku. Di ujung pisau ku.
“ PERGILAH KENERAKAA !!!”
Aku menggoreskan pisau itu dengan cepat ke wajahnya. Bertubi tubi
hingga hidungnya yang mancung terbelah dua. Pipinya penuh dengan goresan pisau
yang dalam hingga ketulang tengkoraknya. Darah semakin banyak mengucur. Darah
yang cantik. Darah yang aku rindu. Dia sudah tak bergerak. Dia seperti
merenggang nyawa. Dia sudah tidak sanggup merasakan kepedihan dari setiap
siksaan yang ku berikan.
“ Sampai jumpa “ aku tersenyum.
Dengan kuat aku tusuk pisau itu tepat diantara kedua matanya.
Seketika matanya berdelik lebar. Pisau itu menembus tulang tengkorak hingga
otaknya. Darah meleleh berwarna kehitaman dan menggenangi sekitar tubuhnya.
Pisau tertajak kuat di kepalanya. Dia sudah mati.
Aku tersenyum lebar sekali. Aku berdiri sambil tertawa puas. Baju
pasien yang kukenakan sudah penuh dengan darah. Aku berjalan gontai sambil
terus tertawa. Aku terus tertawa tanpa berhenti.
“ Bagaimana Tiara…
“Sangat menyenangkan bukan… “
PART #8 : RUSH KILLING
Matahari sudah timbul di ufuk
barat. Sinarnya menembus kabut tebal di jalan yang dipagari pepohonan. Nuansa
dingin seketika menggigit kulit. Sebuah mobil berwarna hitam melaju kencang di
jalanan lengang yang sepi. Jam menunjukkan pukul 05.45 pagi hari. Sangat
sedikit orang yang memulai harinya di jalanan. Hanya beberapa petugas
kebersihan yang tampak sedang menyapu sampah dengan semangat.
Suasana didalam mobil itu sangat hening. Pengemudi dan penumpang
menjahit mulutnya sendiri. Mengunci kata-kata. Tatapan kosong kedepan jalan.
Sedangkan pikirannya melanglang buana terasa begitu membebani. Pengemudi mobil
menggerakkan tangannya kearah radio mobil. Dia menyetel frekwensi radio yang
tepat dan sesuai. Hampir tiga stasiun radio sudah dilewatkannya. Sepertinya
tidak ada lagu yang cocok untuk suasana yang dingin dan kaku saat itu. Di
stasiun radio ke-empat perhatian mereka terpusatkan pada suara pembaca berita.
Dilaporkan dua orang perawat
dan satu orang dokter tewas secara menggenasakan di Rumah Sakit Suaka Warjo.
Juga dilaporkan salah satu pasien tidak ditemukan…
Mereka saling memandang.
Wajah terkejut yang menggambarkan kekhawatiran.
“ Radit ! kita harus cepat buruan ke rumah sakit. Perasaan aku
gak enak dit. Aku takut terjadi sesuatu dengan Tiara “
Dinda memulai pembicaraan dengan ekspresi cemas. Dia
mengguncang-guncang tubuh Radit. Radit menjadi sedikit risih.
“ Iya iya.. aku juga berpikiran sama. Bentar lagi juga nyampe kok
“.
Radit menjawab dengan wajah kesal. Dia juga mencemaskan keadaan
Tiara. Semenjak tragedy itu Tiara tidak pernah sekolah lagi bahkan dia masuk
Rumah Sakit. Sebagai sahabat Tira , mereka sangat peduli dengannya. Meskipun
ada rahasia yang mereka simpan dari Tiara. Antara Radit, Dinda dan Tiara. Cinta
segitiga.
Radit menginjak pedal gas sampai maksimum sehinga kecepatan
bertambah menembus kabut tebal di pagi hari. Mereka kembali termenung dalam
pikiran mereka. Mereka mengkhawatirkan Tiara.
Sesampainya didepan Rumah Sakit. Mereka memparkirkan mobil mereka
di sembarang tempat. Didepan Rumah Sakit dipadati dengan puluhan orang yang
terdiri dari wartawan, juru kamera dan masyarakat sekitar yang penasaran.
Segera saja mereka berlari berhamburan menuju kerumunan orang-orang itu untuk
mencari tahu.
Mereka tidak bisa masuk karena jalan Rumah Sakit dipenuhi oleh
orang-orang beserta pegawai Rumah Sakit. Mereka memaksa masuk dengan menerobos paksa
orang-orang disekitar sehingga bisa masuk kedalam Rumah Sakit dengan izin dari
penjaga dengan alasan mereka ada hubungan kekeluargaan dengan korban.
Mereka langsung berlari kencang kelorong lorong Rumah sakit.
Mereka sedang mencari meja resepsionis untuk menanyakan ruang rawat Tiara untuk
memastikan Tiara baik-baik saja. Sesampainya di meja resepsionis, mereka
dikejutkan dengan kerumunan polisi yang sedang bekerja. Mereka mendekat. Dinda
histeris melihat mayat dua orang perawat yang tewas menggenaskan. Darah yang
menggenang sudah membeku menyisakan pemandangan mengerikan. Mereka langsung
menanyakan kepada salah satu polisi yang sedang mondar-mandir di area TKP yang
diberi batas polisi dan dikotaki oleh kapur putih.
“ dua perawat ini korbannya, satu dokter sudah dievakuasi. Serta
pasien yang dinyatakan hilang itu masih belum bisa ditemukan “.
Ujar polisi itu saat mereka bertanya seputar masalah yang
terjadi.
“ Kalau boleh saya tahu, nama pasien yang hilang itu siapa pak ?
“ Tanya Radit yang penasaran. Perasaannya sangat tidak menentu. Feelingnya
sedang buruk.
“ kalau saya tidak salah dengar, namanya Tiara Widyoningrat”
jawab polisi itu sambil menyisir-nyisir kumisnya yang tebal dengan kedua
jarinya.
Sontak mereka terkejut bukan main. Wajah Dinda seketika pucat dan
diujung matanya sudah membendung air mata yang segar. Radit mengambil alih
suasana dengan memeluk Dinda. Dinda menangis terisak-isak didada Radit. Mereka
sedih.
“ kita harus mencari Tiara dit. Aku benar-benar cemas dengannya.
Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya. “ kata Dinda sambil terus menangis.
Radit menjadi lulu melihat wajah Dinda yang menyedihkan. Dia juga
mengkhawatirkan Tiara.
“ Kamu tenang ya. Kita cari sama-sama. Ok !”
Radit memberi secercah harapan kepada Dinda. Dia menghapus airmata
Dinda di sekitar pipinya. Kemudian mencium keningnya. Dinda menjadi sedikit
tenang. Mereka langsung bergegas keluar Rumah Sakit dan berniat untuk mencari
Tiara yang tidak diketahui keberadaannya.
“ Tiara… kamu dimana ?” Dinda masih menangis dalam hati.
Aku melangkah gontai tanpa beralaskan kaki apapun. Pakaian pasien
yang berlumuran darah kering masih menempel di tubuhku. Perawakanku sangat
tidak karuan. Wajahku masih terdapat noda darah yang telah membeku. Mataku
kosong. Menatap jalanan. Sejak tadi malam aku berjalan tanpa tujuan keluar dari
Rumah Sakit. Aspal yang dingin sangat menusuk kakiku. Namun, aku tidak
memperdulikannya. Aku berjalan dan terus menjejaki jalanan kota yang masih
sepi. Aku ingin pulang.
“ Tiara…”
“Ayo lekas pulang…”
“Aku merindukanmu “
Berulang-ulang kata itu terngiang-ngiang dikepalaku. Bahkan
terkadang memekik dengan lengkingan yang memekakkan. Namun, aku sudah seperti
mati rasa. Aku hanya mengangguk dan mempercepat langkahku. Sama sekali aku
tidak merasa kelelahan semalaman berjalan kaki. Dan tidak ada satu orangpun
yang memperdulikanku. Aku ingin pulang.
Aku sudah berada di kawasan perumahan tempat rumahku berdiri.
Orang-orang sudah memulai hari mereka. Kudengar bising kesibukan rutinitas pagi
mereka disetiap rumah yang kulewati. Mandi, sarapan, berpakaian, berangkat.
Akhirnya, aku tiba dirumahku sendiri. Rumah yang kokoh dan besar.
Rumah yang menjadi awal semua hal. Aku mulai menelusuri taman rumahku yang
ditanami rumput-rumput pendek dan rapi. Dinginnya menjadi dua kali lipat saat
kaki telanjangku menginjak rumput-rumput basah itu. Aku ingin pulang.
Sesampainya didepan pintu besar rumahku. Aku mendorongnya
sehingga pintu terbuka lebar. Pintunya tidak terkunci menandakan Papa pulang
telat lagi malam tadi. Dia pasti bersama wanita-wanita lain malam tadi dan
sedang tertidur pulas saat ini. Namun, aku sudah terbiasa. Aku sudah tidak
memperdulikannya lagi.
Aku menderapkan kakiku menuju kamarku. Aku menghempaskan tubuhku
kepintu sehingga pintu terbuka kasar. Aku sudah malas menggerakkan tanganku
yang masih berlumuran darah yang kering. Aku mencari dan menatap nanar seluruh
ruangan. Aku mencari Dolly-ku. Lalu, ku temukan dia tergeletak dimeja
belajarku. Ku dekati dan kugendong bonekaku. Aku masih melihat senyumannya yang
dingin dan matanya yang hitam gelap dan sulit menembusnya.
“ Aku senang melihatmu
Tiara…”
“ Mengapa kamu lama sekali “
“Aku lelah dengan posisiku
yang tergeletak tidak nyaman tadi “
“ Pinggangku serasa patah “
Bisikan itu mengomel-ngomel dipikiranku. Aku tidak tahu harus
bagaimana. Aku hanya tersenyum. Boneka itu pun tersenyum. Walaupun, memang
asalnya boneka itu selalu tersenyum. Bibirnya dijahit untuk tersenyum. Aku
mengusap-usap rambut bonekaku dengan lembut. Aku seperti orang gila. Ya ! aku
memang sudah gila. Aku membunuh dua orang perawat dan satu orang dokter yang
aku benci. Aku pembunuh. Aku membunuh karena aku gila. Gila. Gila.
“ Tiara… “
“ Apa ? “
“ Apa yang kamu pikirkan ?”
“ Apa ? Aku tidak tahu “
“ Apa kamu lupa ?”
“ Lupa apa ? “
“ Kamu ingat kata-kata ini :
Hidup kamu itu Cuma menyusahkan saja !”
Tiba-tiba kata-kata itu berubah menjadi kilas balik kejadian
sebelum aku masuk rumah sakit. Kejadian saat hatiku hancur. Kejadian saat aku
sudah tidak ada semangat untuk hidup lagi. Kejadian yang tidak akan pernah aku
lupakan seumur hidupku. Kata-kata papa yang menyesakkan dada kembali teringat
dan terus melayang-layang dikepalaku. Aku merasa sempit. Kepala ku seakan mau
pecah. Sakit .
Aku tergeletak dilantai. Mataku kosong. Menatap langit-langit
kamarku. Darah segar mengucur pelan dari hidungku. Pandanganku mulai kabur dan
gelap. Apa aku akan mati sebentar lagi ?. biarkan saja aku mati.
“ Tiara… bangun ! “
“ kamu belum mati !.”
“ Masih banyak orang diluar
sana yang lebih pantas mati “
“ Apa kamu rela melihat mereka
bahagia sedangkan kamu tersiksa karena ulah mereka ? “
“ Tidak Tiara…”
“ Kamu tidak akan
membiarkannya “
“ Masih banyak yang harus
kamu lakukan”
“ Tiara…”
Mataku terbuka lebar dalam satu detik. Tubuhku serasa panas
karena api kemarahanku yang bergejolak dan menyembur-nyembur keluar dari
dadaku. Aku usap darah dihidungku dengan
cepat menggunakan punggung tanganku hingga menyisakan usapan darah dikulit
pucatku. Aku berdiri tegap. Mataku sudah tidak hitam lagi. Tetapi sudah sangat
hitam dan gelap bahkan cahaya lampu sorot pun tidak akan bisa menembus
kegelapan yang menyeruak dan membara dari pandanganku . Aku akan mengakhiri
hidupku yang lemah. Aku sudah tidak lemah lagi. Aku akan membuat mereka
merasakan apa yang telah aku rasakan. Aku tidak akan membiarkan mereka hidup
dan tertawa bahagia sedangkan aku tersiksa karena mereka. Sudah tidak ada lagi
rasa kemanusiaan dari pikirannku. Aku seperti binatang yang kelaparan dan siap
berlari mengejar mangsa ku. Aku tak peduli. Ku sibak geraian rambut panjangku
yang tidak terurus alur helainya. Aku tersenyum menyeringai lagi. Aku tersenyum
kembali.
PART #9 : BEHINDER
Mobil yang dikendarai Radit
dan Dinda melaju kencang dijalanan kota. Mereka panik. Mereka tidak tahu harus
bagaimana. Mereka cemas dengan Tiara. Hati mereka tidak tenang.
“ kenapa Tiara jadi begitu aneh akhir-akhir ini. Dia lebih sering
melamun dan sendirian. “
Radit memulai pembahasan.
“ Iya… dia hanya bermain-main dengan boneka lusuhnya yang selalu
dibawanya kemana-mana. Terkadang, dia tidak menghiraukan ku “
Dinda menjawab dengan ekspresi bingung.
“ Apa sebelumnya dia memang seperti itu orangnya ?. Apa sebelum
dia pindah kesini, dia juga bersifat seperti itu ?”
Radit bertanya kepada Dinda bertubi-tubi.
“ Entahlah. Aku juga baru mengenalnya. Ketika pertama kali masuk
sekolah dia terlihat sipel. Namun, sebenarnya dia orangnya sangat pemalu dan
minder.”
Dinda menjawabnya dengan tenang.
“ Aku curiga dengan boneka itu “
Radit mengernyitkan keningnya dan mengangkat satu alis kirinya
yang tebal. Lagaknya sudah seperti detective yang handal. Meskipun, memang
sebenarnya dia sangat mencurigai boneka itu.
“ Apa itu boneka setan ya ? “
Lanjut Radit sambil menatap Dinda.
“ Huuush ! Gak mungkin lah. Aneh-aneh aja kamu. “
Dinda tidak mempercayai kata-kata Radit dan menganggap itu
lelucon.
“ Aku serius Din. Apa kamu gak ngerasa aneh waktu ngeliat boneka
itu. Bonekanya seram banget kan . masak Tiara betah main sama boneka itu. Tiara
juga pernah bilangkan kalau boneka itu selalu berbicara dengannya “
Radit memang berlagak seperti detective sungguhan. Dia mulai
meyakinkan Dinda. Dinda pun mulai terpengaruh dengan kata-kata Radit yang
sangat membiusnya.
“ Iya juga sih “ Jawab Dinda dengan bimbang.
“ Kamu tau gak dimana Tiara dapat boneka itu ? “
Radit benar-benar memfokuskan pembicaraan masalah boneka itu. Dia
mulai meyakini sesuatu.
“ Hmm… Tiara pernah ngomong sih kalau dia nemu boneka itu di
rumah pindahannya itu di bawah gudang. Pasti boneka itu milik orang yang pernah
tinggal di rumah Tiara sebelum keluarga Tiara pindah kesana”
Dinda juga sudah benar-benar memfokuskan permasalahan itu ke
boneka Tiara. Mereka mulai mengkoneksikan semuanya. Mereka mulai mencium ada
sesuatu yang tidak beres dengan Tiara. Dan mereka menduga boneka itu lah
penyebabnya.
“ Kalau begitu, bagaimana kalau kita mendatangi si pemilik boneka
itu sebelum Tiara. Kamu kenal gak siapa orang yang pernah tinggal di rumah
Tiara sebelumnya ?”
Radit bertanya dengan pasti.
“Gak kenal juga sih. Tapi, aku tahu . Dia saudara Mama aku. aku
juga sering jogging di area perumahan itu dulu. Rumahnya memang mencolok. Jadi,
pasti dikenali. Kalau gak salah nama pemiliknya Pak Santoso “.
Mereka saling pandang. Radit memandang Dinda tanpa berkata-kata.
Dinda mengartikan tatapan mata Radit dan seketika dapat membaca pikiran Radit. Langsung
saja Dinda merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone. Dia mencari-cari nama
dikontak. Tak lama kemudian, dia terlihat seperti menelpon seseorang.
“ Ma… ini Dinda…Mama masih ingat gak sama keluarga Pak Santoso.
Yang keluarga pindahan itu Ma ?. Mama tahu gak sekarang mereka pindah kemana ?.
oh ya ?. ya… terima kasih Ma “.
Dinda menutup telponnya dan memandang Radit. Radit menatap penuh
tanda Tanya.
“ Kita sekarang kerumah Pak Santoso “ tegas Dinda.
Radit menaikkan gigi persneling mobil dengan menggoyangkan tuas
kekiri atas. Menginjak pedal gas maksimum. Mereka menambah kecepatan mobilnya
kearah rumah Pak Santoso yang alamatnya sudah diberi tahu oleh Mamanya Dinda.
Mereka mulai mencium sesuatu.
Tak lama kemudian, setelah cukup lama mencari-cari rumah yang
dituju. Akhirnya mobil yang dikendarai oleh Radit dan Dinda berhenti disebuah
rumah sederhana yang cukup jauh dari wilayah perkotaan. Rumah yang asri dengan
tanaman-tanaman yang tumbuh terawat dipekarangan. Pagar kayu yang mungil
memblokade sekitar rumah. Di samping rumah terlihat seorang ibu yang tidak
terlalu tua. Umurnya diperkirakan masih berusia 37 – 40 tahun. Dia mengenakan
daster lurusan berwarna pink bermotif bunga mawar berwarna mawar yang tersebar
merata disetiap lekuk desain daster itu. Dia terlihat sedang membungkuk seraya
memangkas daun-daun kering pada tanaman yang masih basah dengan menggunakan
gunting kecil. Rambutnya disanggul kecil dengan hanya melilitkan rambut dan
mengikatnya. Radit dan Dinda semula segan untuk masuk dan mengusik kegiatan ibu
itu. Namun, mereka memberanikan diri untuk menghadapinya. Radit membuka pagar
kayu itu dengan sedikit dorongan. Membuat gemerisik daun yang tergoyangkan loeh
pintu pagar. Ibu itu merasa ada kehadiran tamu. Dia menoleh dengan wajah
bingung. Dia mendekati mereka sambil berjalan hati-hati untuk tidak menyenggol
tanaman. Dia sudah tepat berada didepan Radit dan Dinda. Dia tersenyum. Membuat
perawakannya terlihat lembut bersahaja.
“ Ada perlu apa ya dik ? “
Tanya Ibu itu kepada Radit dan Dinda.
“ Saya Radit Bu dan ini Dinda. Apa ibu ini ibu Santoso ?”
Lanjut Radit dengan intonasi yang sopan.
“ Iya benar. Saya ibu Santoso. Ada perlu apa adik-adik ini
menemui ibu ?”
Jawab Bu Santoso sambil masih tersenyum.
“ Ada yang ingin kami bicarakan kepada Ibu. Sedikit pribadi “
Tukas Dinda langsung membungkam mulut Radit yang semula ingin
menjawab pertanyaan Bu Santoso.
Bu santoso terlihat keheran-heranan melihat ekspresi wajah Radit
dan Dinda yang serius. Dia pun melangkah masuk kedalam rumahnya. Diikuti oleh
Radit dan Dinda.
Mereka melepas sepatu mereka dan masuk kedalam ruang tengah yang
cukup besar. Rumah yang sangat antik dengan cat pernis kayu yang menawan. Dia
mempersilahkan mereka duduk disofa yang sedikit jadul dan tipis. Mereka pun
duduk. Bu Santoso masuk kedalam rumah menuju kebelakang. Kemudian terdengar
suara dentingan gelas yang sedang diaduk. Sepertinya Bu Santoso sedang
mempersiapkan minuman untuk menyuguhi tamunya. Tak lama kemudian, dia kembali
keruangan tengah menemui Radit dan Dinda yang masih berdiam diri menunggu
datangnya Bu Santoso. Dia meletakkan dua cangkir teh panas kehadapan mereka
berdua. Dia masih tersenyum.
“ Silahkan diminum dik “
Mereka masih diam merespon kalimat Bu Santoso. Radit
memilin-milin bawah bajunya. Sedangkan Dinda masih terdiam melihat dalam
secangkir teh didepannya.
“ Ada yang bisa Ibu bantu dik ? “
Tanya Bu Santoso yang sedikit bingung dengan sikap mereka berdua.
“ Apa benar Ibu pernah tinggal dirumah yang sekarang ditempati
oleh keluarga Pak Widyo ? “
Dinda langsung menanyakannya tanpa basa-basi. Ibu Santoso mulai
mencium ada yang tidak beres dengan mereka beruda. Pertanyaannya yang aneh
membuat Ibu itu sedikit lama untuk menjawabnya.
“ Iya benar. “ jawabnya singkat.
“ Apa Ibu pernah melihat ada sebuah boneka didalam rumah itu ?.
boneka itu milik siapa ? “ Tanya Dinda bertubi-tubi dengan intonasi yang miris.
Senyum diwajah ibu itu tiba-tiba memudar bahakan sudah hilang dan
tenggelam. Matanya menatap Dinda tajam.
“ Ada apa dengan boneka itu ? Apa hubungannya dengan kalian ?”
Jawab Bu Santoso dengan sedikit menekan.
Dinda mulai mencium sesuatu.
“ Jawab bu ! “ desak Dinda.
Bu Santoso mulai pangling. Dia tidak mengerti mengapa dua anak
muda ini tiba-tiba datang kerumahnya dan menanyakan hal yang aneh. Tapi,
kemudian dia mengerti. Dua anak muda ini tidak sedang bercanda. Mereka memang
memiliki masalah yang serius.
“ Iya… Ibu tahu. Ibu masih ingat dengan boneka itu. Boneka kecil
yang manis. Boneka yang menjadi satu-satunya teman anakku “
Bu Santoso mengatakannya dengan suara yang penuh kesedihan.
Suaranya yang berat dan hela nafas yang lambat. Wajah ibu itu menjadi kuyu.
Sambil menatap kebawah.
“Clara. Dia anak semata wayang ibu yang telah lama mengidap
penyakit kanker paru-paru. Segala cara sudah ibu tempuh untuk mempertahankan
hidupnya. Namun, akhirnya penyakit itu merenggutnya.”
Ibu santoso menceritakannya dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat
sedih mengingat kembali tentang anaknya. Tentang anaknya yang sudah tiada.
“ Apa boneka itu milik Clara ?” potong Radit.
“ Iya benar. Boneka itu adalah satu-satunya teman yang selalu
bersamanya hingga nafas terakhirnya. Boneka itu yang selalu mendengarkan keluh
kesanya. Terkadang ibu menangis sendiri melihat tingkah lakunya yang masih saja
bersemangat walaupun detik-detik hidupnya tidak panjang lagi.”
Bu Santoso menangis. Dia tidak dapat membendung air matanya yang
sudah menggenangi pelipis matanya. Suasana seketika menjadi haru. Radit dan
Dinda pun mengunci mulutnya. Merasakan kepedihan yang dialami Bu Santoso dan
Clara. Memahami setiap ceritanya. Mereka teringat dengan Tiara yang juga
mengidap kanker paru-paru dan hidupnya sudah tidak lama lagi. Namun, mereka
tetap berkonsentrasi untuk membantu Tiara. Membantunya lepas dari belenggu.
Memahami permasalahan yang sedang tertawa diantara mereka.
“ Suatu malam saat Clara sedang bermain dengan bonekanya itu.
Tiba-tiba dia jatuh pingsan dengan hidung dan mata berdarah. Tentu saja Ibu dan
Bapak sangat panik. Kami langsung membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Clara
masih selamat. Dia di rawat inap selama satu minggu di rumah sakit. Obat-obat
keras sebagai penenang sudah tidak mempan lagi menahan sakitnya. Tapi, dia
selalu tersenyum. Senyumannya diantara bibirnya yang pucat sangat menyayat
hati. Selama satu minggu di Rumah Sakit dia masih saja bermain-main dengan
bonekanya. Dia mengatakan pada kami bahwa boneka itu adalah orang kedua yang
dia sayangi setelah kami. Dia tertawa saat mengatakannya. Kami pun terpaksa
tertawa meskipun didalam hati kami sedang meronta menangis dan berteriak. Tapi,
kami tidak ingin menampakkan kesedihan didepan Clara. Kami tidak ingin mengusik
kepercayadiriannya. Hingga akhirnya suatu malam.saat hujan turun dengan lebat
serta gemuruh yang bersambutan. Saat waktu-waktu terakhir Clara tiba. Tubuhnya
sudah tidak berdaya lagi untuk tegap hanya sekedar duduk diranjang rawatnya.
Hidungnya tidak berhenti mengeluarkan darah dan batuknya semakin keras. Kami
ingin memanggil dokter. Namun dia tidak mengizinkannya. Dia tetap tersenyum
dengan darah yang mengalir di bibirnya. dia sudah merasakan bahwa waktu nya
sudah dekat. Dia ingin menghabiskan detik terakhirnya bersama orang yang
disayanginya, bukan dengan dokter , peralatan medis, perawat atau yang lainnya.
Kami hanya mengangguk dengan air mata yang sudah membanjiri lantai ruangan itu.
Kami memaksakan tersenyum meskipun dalam hati kami ingin menyelamatkannya. Dia melihat kebagian belakang bonekanya itu.
dia melihat bonekanya sobek. Dia tersenyum kecil. Dia mengambil jarum di meja
disebelahnya. Dia memutuskan satu helai rambutnya yang panjang lalu dia
jahitkan ke tubuh boneka yang sobek menganga. Tak lama, jahitannya sudah
selesai. Tidak ada lagi sobekan di tubuh boneka itu yang memperlihatkan
busa-busa yang dibungkus kain boneka itu. dia tersenyum lalu memeluknya. Kami
miris melihatnya. Kami terduduk tidak berdaya melihtanya. Ingin rasanya Ibu
keluar dan berteriak sejadinya. Ibu sudah tidak sanggup lagi melihatnya. Lalu,
tiba-tiba dia berkata : Bapak dan Ibu
jangan khawatir. Clara tidak akan pergi kok. Clara Cuma tidur aja. Nih lihat
boneka clara. Jagain ya sampe Clara bangun lagi. Jangan sampe sobekan ini
kelepas lagi ya. Rambut Clara udah mau abis nih. Janji ya.
Bu Santoso sudah menangis terisak-isak sehingga menimbulkan bunyi
yang menyesakkan dada. Dia berkata sambil menahan tangis yang sudah tidak dapat
dibendung lagi. Bahkan lengan kirinya sudah basah karena air matanya yang
selalu diusapnya menggunakan itu. dia serasa sudah tidak sanggup lagi
menceritakan itu. radit dan Dinda juga berlinangan airmata. Membayangkan kalau
dia yang berada diposisi Clara. Clara yang malang. Yang harus lahir dengan
penyakit yang mengakhiri hidupnya. Hidup yang seharusnya masih panjang lagi.
“ Lalu akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya sambil
memeluk bonekanya. Ibu dan Bapak sontak menangis sejadi-jadinya. Meraung dan
meronta. Tidak sanggup menerima kenyataan kalau anak yang selama ini ibu
sayangi harus meninggalkan ibu di usianya yang masih belia. Semenjak itu, ibu
berjanji akan merawat bonekanya yang merupakan peninggalan sekaligus wasiat
dari Clara. Ibu membawanya tidur seperti membawa Clara tidur disamping Ibu. “
Ekpsresi Ibu santoso berubah menjadi tegang. Dia melanjutkan
kisah nya. Dia meneguk liur.
“ Namun, boneka itu seakan berbicara dengan Ibu. Ibu mendengarkan
suara Clara mengiang-ngiang dikepala ibu. Membuat ibu frustasi dan hampir gila.
Setiap ibu mendekatkan diri dengan boneka itu. suara itu datang kembali.
Membuat ibu depresi hingga mulai mengacaukan hari-hari ibu. Ibu masih tidak
rela kehilangan clara. Dan dia telah kembali namun dalam wujud suara-suara yang
sangat ibu rindukan. Suami Ibu mulai menyadari kalau Ibu mulai terasa sedikit
aneh. Segala kegiatan ibu sehari-hari telah ibu tinggalkan. Ibu hanya
menghabiskan waktu bersama boneka itu dan berbicara dengannya, berbincang-bincang
dan tertawa sendiri. Suami ibu takut terjadi apa-apa dengan Ibu. Lalu, dia
menyadari kalau boneka itu yang membuat ibu menjadi melayang-layang didalam
fantasi bersama Clara. Suatu hari, Suami ibu diam-diam mengambil boneka itu dan
membuangnya kegudang bawah tanah. Ibu merasa sangat kehilangan. Bahkan, ibu
menjadi stress berat hingga berteriak-teriak setiap hari. Hal itu membuat suami
Ibu cemas dan membawa ibu ke psikiater. Ibu sudah dianggap gila. Ibu sangat
merindukan boneka dan suara itu. membuat hari – hari ibu menjadi uring-uringan
dan kehilangan akal sehat. Ibu benar-benar sudah seperti orang gila. Lalu, lama
kelamaan keadaan ibu mulai membaik dengan ditangani tiga orang psikiater. Ibu
sudah hampir mengidap penyaki skizofrenia. Namun, untunglah masih bisa disembuhkan.
Untuk mempercepat kesembuhan, rumah lama ibu jual dan pindah ketempat ini yang
jauh dari keramaian agar dapat menenangkan diri. Dan sepertinya berhasil “.
Ujar Bu Santoso setelah berbicara panjang lebar kepada Radit dan
Dinda. Mereka hanya melongo terdiam dan menghayati cerita Ibu Santoso yang
menyedihkan. Teh yang semula panas
sudah menjadi dingin. Sudah tidak ada uap-uap panas yang mengepul diatasnya.
Cerita ibu Santoso sudah selesai. Dia mengusapkan airmatanya yang terakhir
dengan tissue yang Dinda suguhi. Dinda menelan ludah.
“ Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dik ? kenapa adik datang dan
menanyakan itu semua ? apa hubungannya dengan adik berdua ini ?” Tanya Bu
Santoso kembali ke focus pembicaraan.
“ Sebenarnya kami punya teman yang tinggal dirumah yang pernah
ibu tempati itu. dia sepertinya merasakan hal yang sama dengan Ibu saat
berhubungan dengan boneka itu.” jawab Dinda serius. Radit hanya terdiam. Dia
tak banyak berkata-kata.
“ Apa dia nak Tiara ?. putri sulung keluarga pak Widyo ? “
Tanya Bu Santoso kembali.
“ Benar Bu. Kami khawatir dengan keadaannya. Dia mulai aneh sejak
bersama dengan boneka itu. boneka itu bukan boneka biasa sepertinya. Sekarang
dia tidak ditemukan kemana hilangnya. Kami sangat mencemaskannya bu “
Jawab Dinda sedih. Dia kembali teringat dengan Tiara. Dimana dia
sekarang.
“ Anak yang malang. Ternyata selama ini Ibu tidak sakit. Ibu
benar-benar mendengar suara itu didalam diri ibu. Bahkan suara itu memerintah
ibu. Jangan-jangan nak Tiara mengalami hal yang sama dengan Ibu. Harus segera
dicegah”
Jawab Ibu Santoso dengan tegas. Dia membayangkan hal-hal yang
mungkin terjadi kepada Tiara.
Angin berhembus sepoy-sepoy mengaliri setiap lekuk daun-daun
dipekarangan rumah Bu Santoso. Membuat suara berisik alam yang khas saat
dedaunan saling bergesek. Sebagian ada juga yang bergesek kedinding rumah yang
terbuat dari semen tipis. Suasana menjadi serius dan penuh ketegangan. Ruang
Tamu yang merupakan tempat berbagi pikiran kini menjadi tempat yang penuh
dengan aura bayangan masa lalu. Mereka masih duduk dengan pundak tegap.
Menghadapi keadaan yang serius sekaligus membingungkan.
“ Jadi apa yang harus kami lakukan Bu ? . kami tidak ingin
terjadi sesuatu kepada Tiara “. Kata Radit yang benar-benar mengkhawatirkan keadaan
Tiara.
Bu santoso berpikir sejenak. Dia memandang kebawah sedangkan
pikirannya melambung tinggi. Mengingat kembali kehidupan sebelumnya. Lalu, dia
memandang Radit dan Dinda.
“ Kalian harus menjauhkan nak Tiara dari boneka itu. kalau bisa
musnahkan boneka itu. “
Kata Bu Santoso dengan ekspresi ragu. Dia tak yakin telah
mengatakan itu. karena, dia telah berjanji untuk terus menjaga boneka itu.
karena boneka itu adalah satu-satunya memori terakhir serta wasiat dari Clara.
Namun sekarang keadaan semakin buruk . mempertaruhkan kehidupan orang lain yang
tidak berdosa.
“ Bagaimana caranya Bu ?. apa cukup membakarnya saja. ?” jawab
Radit yang penuh dengan keingin tahuannya.
“ Tidak. Clara pernah berkata kalau jiwanya akan terus hidup di
dalam boneka itu sampai… “ kata-kata Ibu tersangkut. Tercekat ditenggorokkan.
Dia merasakan ada hal yang aneh. Matanya berkunang-kunang. Tiba-tiba angin
berhembus kencang. Menerbangkan dedaunan hingga masuk kedalam rumah. Vas-vas
serta poto yang terpajang dimeja berjatuhan. Pecah berserakan dilantai. Bu
Santoso berdelik lebar. Radit dan Dinda menjadi panic dan tidak tahu harus
berbuat apa.
“ Bu ! Bu Santoso ! Apa yang terjadi ? “ tukas Dinda yang panic
dan bingung.
“ Kaaliaaan harus menyobek kembali ….boneka itu …. Tepat dipunggungnya
…. Tempat jahitan rambut Clara… cepaaat ! “ jawab Bu Santoso sambil terus
memegangi lehernya yang tercekat dengan suara yang putus-putus dan parau.
Tiba-tiba kipas angin yang berada tepat di atas Bu Santoso jatuh dan berputar
kencang sehingga baling-balingnya jatuh tepat dileher Bu Santoso yang sedang
berdiri sambil mencekik lehernya sendiri.
Sreeeett… !
Darah mengucur deras di leher Bu Santoso. Darah juga berhamburan
dan meleleh dari mulutnya. Sebuah lubang menganga mengepulkan daging-daging di
lehernya. Dia tergeletak sambil menggelepar-gelepar. Matanya berdelik kosong.
Dia sudah tak bernyawa lagi.
Dinda histeris dan berteriak sedangkan Radit refleks menutup mata
Dinda dan menyeretnya keluar. Radit pun shock melihat tubuh Bu Santoso yang
mati menggenaskan. Mereka berlarian keluar. Dinda tampak masih menangis dan
masuk kedalam mobil. Radit memutar kunci dan menyalakan mobil menarik pedal dan
menginjak gas. Mobil pun melaju keluar daerah itu. mereka mendapatkan guncangan
yang sangat menakutkan. Sedangkan dirumah Bu Santoso, tubuh itu masih
tergeletak. Darah mengucur deras hingga menggenangi lantai rumah itu. rumah
yang asri kini penuh dengan darah. Seketika angin berhenti. Dan semua tanaman
kembali pada posisi semula. Hening.
“ Ibu ingkar janji… “
Aku melangkah menuju pintu kamarku yang tertutup. Kepegang tangan
kiri Dolly dan menggantungkannya diantara jari-jariku yang mengepul. Mataku
menatap tajam. Aku benar-benar sudah bukan diriku. Bahakan, mungkin sudah
membakar diriku sendiri. Ini bukan aku yang telah hidup 17 tahun. Ini bukan
mataku lagi. Ini bukan mulutku lagi. Ini bukan
tubuhku lagi.
Aku membuka pintu dan melangkah kedapur. Suara dengkuran Papa
yang kuat menembus keluar kamarnya. Aku tersenyum mendengarnya. Aku membuka
rak-rak serta laci-laci untuk mencari sesuatu. Suaranya gaduh dan bising saat
aku menumbangkan gelas-gelas kaca yang menghalangi pemandanganku. Suara
dentangan yang keras berhamburan dilantai karena gelas yang pecah berserakan.
Aku tetap memfokuskan sesuatu. Aku membuka laci di lemari kecil terakhir.
Akhirnya aku menemukan satu lusin penuh pisau-pisau yang tajam dan bersih.
Dimulai dari ukuran kecil namun panjang. Hingga ukuran besar namun pendek. Aku
menggenggam sebuah pisau yang panjang dan bersilau. Aku mengetes ketajamannya
dengan menggores tanganku sendiri. Alhasil, tanganku berdarah dan menetes
kelantai. Aku semakin senang. Aku tersenyum. Aku suka dengan pisau yang tajam.
suara-suara didalam kepalaku juga tertawa terbahak-bahak melihat kelakuanku.
Mereka senang. Aku pun senang. Aku kembali memfokuskan pikirannku. Aku melihat
kembali pisau yang ujungnya berlumuran darahku sendiri. Aku tidak merasakan
sakit akibat goresan yang aku lakukan sendiri. Aku hanya merasa geli.
Aku kembali pada misiku. Aku melangkah keluar dapur menuju ruang
keluarga. Aku mengarahkan telapak kakiku kearah sebuah pintu. Dengkuran Papa
sudah tidak terdengar lagi. Mungkin, dia tidur sangat pulas dan bermimpi indah.
Aku mendorong pelan pintu itu. ku lihat seseorang yang sedang
bergumul dalam selimut. Betapa hangatnya didalam sana. Betapa damainya didalam
sana. Aku tersenyum menyeringai. Bibirku semakin kesudut karena terlalu sering
menyeringai lebar.
“ Bunuh dia Tiara … “
“ Apa lagi yang kamu tunggu.
“
“ Tancapkan ujung pisau itu
ke otaknya “
“ warnai selimut putih itu
dengan darah yang segar “
“Buat dia merasakan apa yang
kamu rasakan “
“ lekaslah ! Nanti dia
terbangun “
“ ayo bodoh… cepat !”
Bisikan itu berteriak-teriak dikepalaku. Seakan mau keluar dan
langsung menggerakkan tangannku. Aku menatapnya tajam. Lekukan tubuh yang jelas
menandakan bagian kepala, badan dan kaki. Aku mendekat kearah kepalanya yang
juga ditutupi oleh selimut. Didalamnya ada orang yang sedang tertidur. Dan aku
akan membantunya untuk tidur selamanya.
“ Selamat tidur Papa …”
Aku mengangkat tinggi tangan kananku. Tepat diatas kepalaku. Aku
memegang pisau dengan erat. Dengan sudut yang mengerikan. Sedangkan tanganku
yang lain masih memegang tangan dolly. Segera saja aku layangkan pisau itu
dengan cepat. Dan aku tusuk dengan kuat. Hinga menancap didalam selimut. Tubuh
dibalik selimut itu menggelepar sebentar hingga akhirnya benar benar terdiam
tak bernafas. Aku masih merasakan kemuakkan menjalar dikepala ku. Kemudian, aku
tusukkan terus kekepala hingga badannya. Mungkin sudah ada 10 hingga 15
tusukkan yang sudah aku layangkan di tubuh yang tak berdaya itu. selimut itu
sudah dipenuhi dengan darah hingga menjalar kebagian lain di ranjang tidur. Aku
tertawa senang.
“ RASAKAN ITU BANGSAT ! “ teriakku sambil tertawa senang. Aku
benar benar puas.
Lalu, tiba-tiba pintu kamar terbuka . aku menoleh dengan cepat.
Alangkah terkejutnya aku melihat seseorang yang mungkin telah mencopot
jantungku. Orang itu terlihat shock melihat pisau ditanganku dan orang dibalik
selimut yang dipenuhi dengan darah hingga gelas yang sedang dipegangnya
terjatuh dan menghamburkan semua isinya kelantai. Aku pun terkejut melihatnya.
Segera saja aku singkap selimut yang menutupi tubuh yang telah aku tusukkan
belasan pisau itu. tanganku memegang selimut berdarah yang basah hingga
merembes kelantai. aku langsung menjerit dan menangis sejadinya. Aku melihat
tubuh Mama yang penuh dengan dengan lubang-lubang menganga dikepala hingga
kebadannya. Matanya terbuka dan seluruh tubuhnya dibasahi oleh darah merah
kehitaman. Aku berteriak . Mama yang aku sayangi. Aku telah membunuh
satu-satunya orang yang aku sayangi. Satu-satunya orang yang aku cintai. Namun
sekarang harus berakhir tragis ditanganku. Orang yang seharusnya aku bunuh kini
berada disamping pintu dengan shock dan mata yang nanar menatapku. Aku menoleh
secepatnya. Aku keluarkan tatapan kebencian dari mataku. Aku genggam erat pisau
yang penuh dengan darah. Aku bergerak cepat untuk mengejar lelaki itu. aku
mengejar papa yang berlari ketakutan. Dia takut dengan ku,
aku berlari hingga keseluruh ruangan. Papa yang ketakutan berlari
tanpa henti.
“ TIARA ! JANGAN ! “ teriak Papa kepadaku.
Aku tidak memperdulikannya. Ku lempar pisau yang ku pegang hingga
berputar-putar diudara dan menancap tepat dipunggung Papa. Papa berteriak dan
meringis kesakitan hingga dia menabrak pintu dan masuk kedalamnya. Dia terjatuh
kebawah gudang. Tubuhnya terhempas-hempas di anak-anak tangga yang berdebu.
Pisau terjatuh dan terlepas di anak tangga. Aku tertawa melihatnya kesakitan
dan meringkuk lemah dilantai bawah tanah.
“ TIARA ! APA YANG KAMU LAKUKAN ! AKU INI PAPAMU ! “
Teriak papa dengan lantang sambil memegang pundaknya yang terus
mengeluarkan darah.
Aku hanya tertawa keras. Aku menuruni anak-anak tangga itu dengan
pelan. Aku ambil pisau yang tergeletak di tengah-tengah anak tangga. Ku
letakkan Dolly di salah satu anak tangga dalam posisi menyaksikan arena
pembunuhanku. Aku memain-mainkan pisau ditanganku dengan kugoreskan didinding
sebelahku. Menimbulkan bunyi yang indah dan mengerikan. Aku tertawa sepuasnya.
“TIARA ! KAMU SUDAH GILA ! . HENTIKAN SEMUA INI ! “
Papa terus-menerus mencaci ku. Namun, aku tidak gentar. Malah
memicu api didadaku semakin menggelora hingga keubun-ubunku.
“ AKU TIDAK BERGUNA KAN ! AKU SELALU MENYUSAHKAN MU BUKAN ! DAN SEKARANG. AKU INGIN MENJADI BERGUNA
BUATMU !. AKU AKAN MEMBANTU MENCABUT NYAWAMU ANJING ! “
Aku berteriak dengan lantang. Mengalahkan teriakan Papa yang
mencaciku dari tadi. Suaraku yang parau terdengar mengerikan. Menggema seisi
ruangan yang berdebu.
Papa terlihat gentar. Dia ketakutan. Dia merangkak mundur
menjauhiku. Aku sudah tiba di lantai. Belasan anak tangga sudah ku lewati.
Sekarang saatnya. Aku akan membalaskan dendamku dan juga dendam Mama yang
selama ini Papa sakiti hatinya dan hatiku. Dan semua ini juga gara-gara dia aku
membunuh Mama ku sendiri. Lelaki brengsek !.
“ Maafkan Papa Tiaraa… Papa tidak bermaksud menyakiti hatimu.
Lebih baik kita bicarakan baik-baik. Aku ini masih Papa mu nak “ jawab Papa
dengan wajah dan suara yang memelas. Namun, aku tidak akan terlena oleh
rayuannya. Kebencianku tidak semudah itu teredam hanya dengan kata-kata manis
yang hanya dibibir saja. Itu semua tidak cukup dan tidak akan pernah cukup
meskipun bibirnya berbusa dengan kata-kata taik itu.
“ Papa ? Kamu bilang kamu Papa aku ? Orang tua macam apa kamu itu
TAIK ! . orangtua seharusnya menyayangi
dan mengasihi anaknya. Bukan malah menyakiti hatinya dari kecil hingga
dewasa seperti ini. Kamu tidak pernah menunjukkan rasa sayang sedikitpun padaku
dan juga Mama. Kamu tidak pantas aku panggil Papa. Kamu tidak pantas hidup. ! “
jawabku dengan nada penuh amarah.
“ Bagus Tiara… “
“ Ayo cepat lakukan…”
“ Nanti dia melarikan diri “
“ Lihat muka liciknya itu “
“ dia akan memperdayaimu “
“ ayo lekaslah ! balas rasa
sakit hatimu ! “
Bisikan itu tertawa didalam pikiranku. Memberiku kekuatan. Aku
pun tertawa sekuat-kuatnya. Aku merasa panas. Aku merasa kuat. Aku merasa
hebat. Meskipun darah dihidungku kembali mengalir lagi. Mengikis setiap detik
hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku. Aku akan mengakhiri semua ini .
Aku melangkah mendekati Papa yang ketakutan. Dia berkeringat dan
meringis kesakitan diseluruh badannya.
“ Tiaraa… Papa mohon… maafkanlah Papa …”
Kata papa meminta ampun padaku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum
.
“ Terlambat Papaku sayang “ jawabku sambil tertawa.
Aku mencekik leher papa dan mengangkatnya keudara. Hingga kakinya
tidak menyentuh tanah lagi. Dia meringis kesakitan. Dia kesulitan bernafas. Dia
memukul-mukul tanganku. Aku merasakan ada kekuatan yang besar ditubuhku
sehingga dapat mengangkat tubuh pria dewasa yang gemuk pula. Aku menikmati
setiap saat aku melihat wajahnya yang kesakitan dan tersiksa. Aku lihatkan
pisau yang berkilau kedepan matanya. Ingin rasanya aku mencongkel matanya dengan
pisau ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Cekikanku semakin kuat . sehingga
membuat tubuh Papa bergetar. Lalu, dengan cepat aku hunuskan pisau itu ke perut
papa yang buncit hingga memercikkan darah ke baju pasien yang masih aku
kenakan. Papa mengerang kesakitan. Lalu, aku hunuskan terus menerus keperutnya
dengan cepat hingga ususnya berserakan keluar dari tubuhnya. Dari mulut papa
mengeluarkan darah segar kehitaman yang terus merembes ke tanganku hingga ke
tubuhku. Dia sudah tidak bernyawa. Ususnya berceceran di lantai. Kulihat
matanya terbuka lebar dengan mulut ternganga. Aku masih geram. Aku masih muak
saat aku melihat wajahnya. Lalu, aku lakukan niat ku sebelumnya. Aku tusuk
kedua mata yang berdelik lebar itu hingga bola matanya pecah sehingga yang
terlihat hanya pelipis yang membengkak dengan tulang mata yang bolong. Darah
kembali bermuncratan di wajahku. Aku ludahi berkali-kali wajah itu yang sudah
tidak dapat lagi aku kenali. Aku tertawa keras. Aku senang. Aku gila !. aku
tersenyum manis melihat tubuh yang menjijikkan tergeletak dilantai tanah. Darah
yang menggenang. Usus yang berserakan. Perut yang menganga. kedua mata yang
bolong. wajah yang penuh dengan darah serta air ludahku yang bercampur
disekitar pipinya. Aku injak – injak usus-usus yang berserakan dalam kepingan
yang kecil hingga memuncratkan darah dan berbunyi cepirit yang licin. Aku
tertawa mendengar bunyi lucu itu. aku memain-mainkan kaki ku diatas usus itu
seperti sedang bermain lompat tali. Sesekali ku lompati tubuh gemuk yang sudah
tidak bernyawa itu sehingga lubang diperutnya mengeluarkan darah lebih banyak.
Aku tertawa seperti orang gila. Aku bermain-main seperti anak kecil . pikiran
ku kosong dan gelap. Darah sudah berhenti merembes meskipun sudah aku gencet
perut besarnya itu dengan hentakan kakiku yang kuat. Aku benar-benar membunuh
dengan tidak wajar. Namun itu memuaskanku.
Lalu tiba-tiba aku terkejut mendengar seseorang berteriak dari
atas rumah. Aku menoleh kearah sumber bunyi itu. kulihat Dinda sedang berteriak
histeris melihat tubuh Papa yang sudah tidak karuan. Dia tidak menyangka aku
telah melakukan semua ini. Ku lihat juga Radit mengendap-endap menuruni anak
tangga dan langsung mengambil Dolly yang tergeletak di anak tangga.
“ Tiaraa… Tolong aku Tiara…”
Bisikan itu berteriak
minta tolong kepadaku. Langsung aku berlari menaiki anak tangga mengejar Radit
dan Dinda yang berlari keatas sambil
membawa Dolly.
“ KEMBALIKAN DOLLY KU ! “ aku berteriak. Namun mereka tidak
menghiraukannya. Aku naik keatas. Namun pintu sudah dikunci dari luar. Mereka
sengaja mengurungku . mengunciku
didalam. Aku menggedor-gedor dan berteriak untuk dibukakan pintunya. Namun, aku
tidak mendengar suara mereka lagi. Mereka sudah meninggalkanku dan membawa
Dolly. Aku menendang dan terus memukuli pintu itu. namun, tidak membuahkan
hasil. Aku turun kebawah dan mencari-cari perkakas yang cukup kuat untuk
membuka pintu itu. aku menumbangkan semua yang menghalangi jalanku. Aku mencari
hingga kesudut ruangan. Debu beterbangan dimana-mana. Tidak menghalangiku dalam
upaya membebaskan diri dari gudang ini. Akhirnya aku menemukan sebuah kapak
yang sudah berkarat. Aku memegang dan mengangkat kapak itu. namun, tidak terasa
berat. Aku semakin bernafsu untuk benar-benar mengakhiri semua ini. Aku akan
menentukan endingnya.
Aku menaiki tangga menuju kepintu yang terkunci. Aku ayunkan
kappa dengan keras hingga merusak pintu kayu itu. aku terus mengayunkan
bertubi-tubi kapak itu hingga benar-bena hancur dan tidak bersisa. Dilantai
berserakan puing-puing kayu yang hancur karena kerasnya kapakku. Aku mulai
melangkah keluar dan mencari mereka. Amarah ku kembali membara. Aku benar-benar
marah.
PART #10 : LAST BLOODS
Radit dan Dinda berlari
ketakutan. Mereka terengah-engah ketika berusaha kabur dari Tiara. Tiara sudah
membunuh Ayahnya sendiri. Dengan cara yang mengerikan. Dinda tak kuasa menahan
tangis. Dia tidak mengerti apa yang ada dipikran Tiara hingga dia melakukan
semua ini. Dia yakin, dua orang perawat dan satu orang dokter yang tewas di
rumah sakit juga karena ulahnya. Dia sudah banyak membunuh orang. Apa yang
membuat dia berpikiran seperti itu. Radit masih memegang Dolly, boneka Tiara.
Dia berhasil mendapatkannya dengan diam-diam. Dia akan segera memusnahkan
boneka itu.
“ Bonekanya udah di tangan aku nih. “ kata Radit sambil masih
mengatur nafas.
“ Iya.. cepat cari bekas jahitannya “ kata Dinda mengingatkan
kembali apa yang diwasiatkan oleh Bu Santoso sebelum dia meninggal.
Radit mencari-cari bekas jahitan itu. dia membalikkan boneka itu
dan melihat sebuah garis panjang berwarna hitam sebagai benang jahitan. Dia
menyentuh nya.
“ Ini adalah Rambut. “ ujar Radit.
“ Benar ! ini dia. Ini harus segera disobekkan. Ini kuncinya “
jawab Dinda setelah dia agak tenang dan kembali kepermasalahan.
Radit tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Dia bersiap-siap akan
menarik paksa jahitan itu hingga sobekannya terbuka lagi. Namun, saat dia akan
mengambil ancang-ancang untuk menyobeknya. Mereka menderngar teriakan,
“ RADIT ! DINDA ! DIMANA KALIAN ! “
Terdengar teriakan dari Tiara
serta hiruk pikuk bunyi barang-barang yang dihempas dan pecah dilantai. Mereka
menyadari kalau Tiara sudah dekat dengan mereka. Mereka panic.
“ aduh… gimana ni Dit ? Tiara udah datang tuh . aku takut “ kata
Dinda bergemetaran.
“ Tenang-tenang. Kita berpencar ya. Aku bakalan nyimpan boneka
ini. Kamu pergi sembunyi aja. Cepat ! “ kata Radit dengan yakin.
Dinda ragu sekaligus ketakutan. Dia berlari menjauh dari Radit.
Radit pun berlari berlawanan arah dengan Dinda.
Dinda bingung mau kemana. Rumah ini terlalu besar. Suara Tiara
semakin mendekat dan terdengar marah. Dinda memutuskan untuk bersembunyi di
sebuah kamar. Lalu dia melihat sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka. Dia
berlari dengan cepat masuk kedalam kamar lalu menguncinya. Dia terduduk dilantai.
Dia ketakutan. Dia menggigil. Keringat dingin membasahi dirinya. Suasana
menjadi hening. Tidak ada tanda-tanda adanya Tiara disekitarnya. Dia merasa
tidak aman. Yang terdengar hanya suara tersengal-sengal dari nafasnya.
Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak bisa mengontrol diri.
Dia mundur dan terus mundur hingga dia jatuh terjerembab karena
tertabrak sesuatu. Dia terguling-guling di tempat yang empuk tapi sedikit
basah. Lalu saat dia membuka matanya dia melihat tangannya mengalir darah segar
dan menoleh kesampingnya.
“WAAAA !!!!! “
Dinda berteriak histeris saat melihat kesampingnya terdapat
seonggok tubuh yang penuh dengan darah yaitu mayat Mamanya Tiara. Tubuhnya
dipenuhi dengan luka tusukan. dan yang paling mengerikan ialah lubang tusukan
dikepalanya yang menganga dan berwarna kehitaman berada tepat di matanya.
BRAKKKK !!!
Sebuah kapak menembus pintu. Teriakan Dinda mengundangku untuk mengejarnya. Bertubi-tubi
kapak menghancurkan pintu. Dinda berteriak. Akhirnya pintu benar-benar rusak
parah dan aku berhasil masuk kedalam. Dinda menangis ketakutan. Dia terjebak
didalam kamar itu. tidak ada jalan keluar. Dinda terkejut melihat ku yang
memegang kapak dengan tampang yang mengerikan. Rambutku yang acak-acakan. Wajahku
yang pucat namun dipenuhi dengan mucratan darah serta baju pasien yang masih
melekat ditubuhku. aku terlihat garang.
“ DIMANA DOLLY ! “
aku berteriak lantang. Dinda hanya menangis ketakutan.
“ Tiara… ini aku Dinda . kamu masih ingatkan ? “ jawab Dinda
berusaha menyadarkan Tiara yang berdiri dihadapannya.
“ Dinda ? SIAPA DINDA ! . oohhh…. Benar. Dinda sahabatku. Yang
tega menyakiti hati KU ! kamu membohongi ku !. apa salahku pada mu hah ! “
Jawabku dengan tampang yang menyeramkan.
“ Tiara… apa yang kamu bicarakan ? kamu tidak salah apa-apa. Aku
sayang sama kamu Tiara… kenapa kamu menjadi begini ? “ balas Dinda sambil terus
menangis dan terduduk dilantai.
“ sayang ? .ALAAAHH !
ANJING !. KAMU MASIH MAU BERBOHONG PADA KU ! KENAPA KAMU TERUS MENYIMPAN
RAHASIA ITU DARIKU HAH ! KAMU PIKIR AKU BODOH ! “
Jawabku dengan suara keras dan menakutkan.
“ Apa maksudmu Tiara ? Tidak ada yang aku sembunyikan dari mu. “
jawab DInda berusaha mengelak.
“ AKU SUDAH BENAR-BENAR MUAK DENGAN MU ! “
Aku mendekat dan menjambak rambutnya lalu ku angkat keatas. Dia
merasa kesakitan. Dia berusaha melepaskan jambakanku. Namun, tangan ku begitu
kuat. Aku mendekatkan wajahku kewajahnya.
“ kamu pikir aku tidak tahu kalau kalian selama ini hanya
membohongi ku kan. Sakit hatiku ! kalian permainkan. Padahal, aku sudah memberi
kepercayaanku kepada kalian. Tapi kalian sia-siakan. Kamu tidak perlu merasa
iba kepadaku sehingga harus bersandiwara agar PACARMU ITU suka denganku yang
sebentar lagi bakalan mati ini !. itu yang dinamakan sayang hah ?!. taik semua
! “
Aku mengeluarkan semua unek-unek dihati aku yang selama ini
tertahan. Dinda menangis didalam
kesakitan jambakanku. Kakinya melayang-layang diudara karena aku mengangkatnya
tinggi.
“ Maafkan aku Tiara.. aku melakukannya demi kamu “ jawab Dinda
dengan suara memelas dan masih saja menangis.
“ AKU TIDAK SUKA DI KASIHANI ! aku kira kalian berbeda ! bisa
nerima aku apa adanya ! tapi aku kecewa. Kalian menghancurkan HATIKUU !! “
jawab ku dengan terus berteriak didepan wajah Dinda yang gemetaran. Aku
menghempas tubuhnya ke lantai dengan keras hingga dia tersungkur dan menabrak
lemari. Dia kesakitan. Aku mendekati dan memegang erat kapak. Dia berusaha lari
dan menghindar dari ku. Namun, aku jauh lebih kuat hingga aku menendang kakinya
hingga tersandung dan terjatuh.
“ Mau mencoba melarikan diri hah ? . rupanya kamu punya kaki yang
bagus . akan ku beri sedikit nuansa darah agar terlihat lebih canti. Hahaha ! “
aku tertawa dan aku ayunkan kapak tepat di tengah kakinya antar lutut dan
pergelangan kaki. Darah berserakan. Kakinya terpenggal . memisah satu dengan
lain. Dinda teriak kesakitan. Darah terus keluar daru kaki kanannya yang baru
saja aku potong. Aku tertawa senang.
Dinda masih saja berusaha kabur. Dengan sisa tenaganya dia
merangkak keluar kamar. Aku menyadarinya.
“ Sampai jumpa di NERAKA ! “
Aku ayunkan kembali kapak kearah lehernya dengan keras hingga
memutuskan kulit dan mematahkan tulang lehernya. Leher dan tubuh Dinda
terpisah. Tubuh yang semula dalam posisi merangkak sekarang sudah tergeletak
tanpa kepala dilantai. Diujung lehernya masih menyemburkan darah kental.
Sedangkan kepalanya menggelinding keluar kamar. Aku melangkahi tubuhnya dan
langsung kearah kepalanya yang tergeletak di lantai. Matanya menatapku kosong.
Aku pun menatapnya kosong.
Craakkkk !
Aku ayunkan kapak dan membelah kepalanya seperti membelah kelapa
hingga terpisah dua bagian yang sama. Terpisah mata satu dengan yang lainnya.
Otaknya terlihat keluar seperti bubur sum-sum berwarna kemerahan. Tulang Otaknya
retak dan terpotong rapi oleh ketajaman
kapakku. Begitu pula bibirnya. sudah
tidak seperti bibir. Hanya seperti pelipis yang terbagi dua serta tulang rahang
yang muncul keluar. Aku melangkah maju.
Aku tersenyum diujung darah yang terus mengalir dari hidungku.
Radit berlari sambil membawa boneka Dolly. Dia berusaha melarikan
diri. Dia menangis setelah mendengar teriakan Dinda. Dia menyangka pasti Dinda
sudah tidak terselamatkan lagi. Dia sangat sedih dan menyalahkan dirinya
sendiri karena kehilangan orang yang dia sayang. Dia menatap boneka dengan tatapan benci. Dia masuk kembali
kedalam sebuah kamar yang dipenuhi oleh foto-foto Tiara. Ini adalah kamar Tiara.
Di meja masih tergeletak sebuah kado
ulang tahun yang pernah Radit dan Dinda berikan kepada Tiara. Namun, bungkus
kado itu belum terbuka. Sepertinya dia belum ada menyentuhnya. Dia menutup
pintu berusaha agar tidak ditemukan keberadaannya sehingga dia bisa menyelesaikan semuanya
disini dan menghancurkan boneka sial ini.
Dia berdiri tegap. Dia bersiap-siap untuk menyobek boneka itu
tepat disobekan yang telah terjahit. Lalu tiba-tiba dia mendengar teriakan dari
luar. Dia melihat sebuah kapak menembus engsel pintu sehingga pintu tumbang
dengan keras.
Aku mengejar Radit yang membawa Dolly-ku. Aku dapat mendengar
teriakan minta tolong dari Dolly. Aku merasa tergerak untuk segera
menyelamatkannya.
“ Tiaraa… aku dibawa lelaki
ini kedalam kamarmu.”
“Selamatkan aku Tiara…”
“ Dia ingin memisahkan kita…
“
Aku mendengar dengan jelas suara itu. aku akan menolong Dolly.
Aku berlari ke kamarku. Dan menemukan Radit sedang memegang Dolly.
“ LEPASKAN DOLLY_KU ! “ teriakku dengan lantang
“TIARA… kamu harus mengerti. Boneka ini boneka setan ! Dia yang
membuat kamu seperti ini ! Sadarlah
Tiara ! .Kamu telah banyak membunuh orang-orang dan semua ini gara-gara boneka
sial ini ! “ jawab Radit dengan nada cepat dan terengah-engah. Dia mendelik
melihat kapak yang kupegang dan berlumuran darah..
“ Tidak Tiara… “
“ Jangan dengarkan dia….”
“ Ingat Tiara…”
“ Dia yang telah menyakiti
hatimu “
“Ayo bunuh ! “
“ Bunuh dia sebelum dia
membunuhmu ! “
“ Dia orang jahat Tiara “
“ Dia mencoba melukaiku “
Bisikan itu menjadi satu-satunya hal yang aku dengar dikepalaku.
Sehingga aku tidak mendengarkan semua penjelasan dari Radit. Aku menatapnya
dengan wajah garang dan menyeramkan. Aku akan menyelamatkan Dolly.
“ SERAHKAN DOLLY PADAKU ! “ jawab ku. Aku mengubris semua
penjelasan dari Radit. Aku sudah tidak percaya lagi dengannya.
Aku mengayunkan kapakku dengan liar ke arah Radit. Radit lebih
lincah sehingga dapat mengelak semua serangan ku. Dolly masih berada
dicengkramannya. Suara bisikan itu terus memaksa ku untuk menyelamatkannya dari
pegangan Radit. Bahkan tak jarang suara itu memarahiku karena semua seranganku
tidak ada satupun yang mengenainya.
“ Dasar bodoh. Mengayunkan
kapak saja kamu tidak bisa ! “
“ Ayo kekiri !”
“ Kekanan dasar dungu !“
“ Aku sudah bilang kekanan
goblok ! “
“ Apa kamu tidak bisa lebih
cepat lagi ! “
“ Aku lelah tergantung-gantung
seperti ini bangsat ! “
Aku terus mengayunkan
kapakku. Berusaha mengenainya. Tapi, tidak ada satupun yang berhasil menyobek
kulitnya. Aku semakin garang. Sehinga ayunanku menjadi tidak terarah. Disaat
itulah, Radit membaca gerakanku dan menendang tanganku hingga kapak terlepas
dari genggamanku dan terlempar.
Aku bertangan kosong. Suara itu terus memaki ku.
Mengata-ngataiku.
“ Lihat ini Tiara ! ini adalah garis kehidupan boneka ini ! aku
akan menyobekknya agar kamu terlepas dari belenggu setan ! “ kata Radit sambil
menunjukkan bekas jahitan dan bersiap-siap menyobeknya.
Aku menatap nanar. Suara itu semakin menjadi-jadi saat Radit
menyentuh jahitan di punggung boneka itu.
“ TIDAAAKK ! “
“ Cegah dia bodoh ! “
“Dia mau membunuhku ! “
“ Cepaaaat !”
Suara itu berteriak dikepalaku hingga membuat urat-urat kepalaku
putus dan meledakkan kepalaku. Aku tidak sanggup lagi. Aku ambil puing kayu
yang terletak didepanku yang telah hancur aku oleh serangan-seranganku yang
tidak tepat sasaran itu. aku mengambilnya dan melemparnya dengan kuat dan tepat
kearah Radit. Ujung kayu yang tajam itu
menembus lehernya sehingga Radit meringkuk kesakitan. Dia tergeletak dan
mengeluarkan suara siksaan yang tercekat dilehernya yang sudah tertutup oleh
tajamnya rusuk kayu. Boneka itu terlepas
dari tangannya. Darah tidak berhenti mengalir. Radit akan mati. Suara-suara itu tertawa
senang dan berteriak . namun, aku sama sekali tidak senang. Aku melihat tatapan
mata Radit yang dalam. Aku merasa ada sesuatu yang lain. Aku merasa menyesal.
“ Bagus Tiara ! “
“ Lemparan yang jitu “
“ Kamu memang hebat “
“ Kamu memang tidak terkalahkan
“
“ Nikmati setiap tetes darah
yang menggenang ke jari-jari kaki mu !”
Aku menatap kosong. Darah mengalir keluar hidungku. Aku tidak
senang lagi. Aku merasa hampa. Aku merasa bingung. Aku merasa kosong. Aku
merasa gelap. Lalu, perhatian ku tertuju kepada Radit yang merenggang nyawa.
Dia tersenyum padaku dengan darah yang megalir dibibirnya. Dia mengambil
sesuatu diatas meja. Dia mengambil kado kecil yang merupakan kado ulang tahun
untukku. Dengan sisa-sisa tenaga, dia mendekat dengan meringkuk kesakitan. Dia
menyodorkan kado itu kepadaku dengan tangan yang berdarah.
“ Aku sayang sama kamu Tiara…”
Itulah kalimat terakhir yang diucapkannya setelah dia menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Sebuah kalimat yang mendengung ditelingaku. Dia sudah
tergeletak tak bernyawa. Aku mendekatinya. Aku raih tangannya yang masih
memegang kado itu. aku mengambilnya. Kubuka pelan-pelan pembungkusnya yang
berlumuran darah hingga tinggal sebuah kotak. Aku buka kotak itu. aku terpana.
Aku melihat sebuah frame. Yang membingkai sebuah gambar. Sebuah
gambar yang sempat menyejukkan ku. Senyuman pada gambar itu sangat memedihkan
hatiku. Aku menangis. Bahkan sampai terisak-isak. Suara-suara itu meronta-ronta
dikepalaku. Dia bingung dengan keadaan dijiwaku yang tiba-tiba berubah. Aku
tidak memperdulikan lagi suara itu. aku menangis hingga airmataku jatuh
membasahi frame itu. sebuah frame yang membingkai sebuah foto. Foto ku bersama
Dinda dan Radit. Foto saat aku bahagia. Rasa bahagia yang berbeda saat aku
merasa bahagia karena membunuh. Bahagia yang terasa putih. Bahagia yang terasa
sejuk. Bahagia yang terasa damai. Aku menangis dan berteriak.
Suara-suara itu mencaci maki ku. Memecahkan gendang telinga ku.
Aku marah dengan suara itu. aku muak mendengarnya. Aku sudah cukup gila karenanya.
Dan aku menyadarinya. Aku sudah bisa melihat akhir kisah hidupku.
Aku menatap yakin. Aku menatap boneka itu. aku tidak ingin hidup
dengan digerakkan sebuah boneka. Aku tidak ingin menjadi boneka dari sebuah
boneka.
“ Apa yang kamu pikirkan
bodoh ! “
“ Buang pikiran itu jauh-jauh
! “
“Kamu membutuhkan aku ! “
“ Kamu tidak bisa hidup tanpa
Aku !
Suara-suara itu kembali memerintahku. Namun, aku sudah tidak
memiliki perasaan apapun saat ini. Semua orang dalam hidupku sudah tewas
ditanganku sendiri bahkan tergeletak menggenaskan didepanku. Aku membunuh
mereka. Aku akan mengakhiri semua ini. Aku sudah lelah.
Ku ambil boneka itu. kulihat seksama. Boneka yang dijahit dengan
senyuman sudah tidak kulihat sebagai senyuman. Bibir diboneka itu sudah membeku
dan terlihat marah. Aku membalikkan tubuhnya. Ku lihat sebuah bekas jahitan
yang panjang dengan benang berwarna hitam. Bukan, ini bukan benang. Ini sehelai
rambut. Dan aku telah menyadarinya. Aku menutup mataku. Aku akan menghancurkan
semuanya. Termasuk boneka ini. Suara-suara itu terus berteriak dikepalaku.
Hingga membuat telinga ku berdarah. Aku sudah tidak peduli lagi. Selamat
tinggal .
Sreeeekkk !!!
Aku menarik kasar jahitan boneka itu sehingga sobekannya kembali
menganga dan mengeluarkan isi nya. Busa-busa berwarna merah dan darah terus
mengalir dari dalam sobekan boneka itu. seiring dengan suara pekikan dikepalaku
yang menggetarkan tubuhku. Suara yang sangat keras hingga telinga, hidung dan
mataku mengeluarkan darah yang mengalir segar.
“ DASAARR BODOOOHH !!”
“ TIDAAAAAKKKKK !!!”
Hening.
Aku tidak mendengarkan apa-apa lagi. Mungkin telingaku sudah
rusak. Aku menatap kosong kedepan sambil terduduk dilantai. Semua sudah
berakhir. Semua sudah tiada. Semua sudah pergi. Yang ada hanya aku didalam
kamarku yang dipenuhi dengan darah dan kematian. Dan aku akan mengakhiri
hidupku. Aku tidak ingin hidup lagi. Semuanya sudah berakhir, bukan ?.
Aku menatap sebuah kepingan kaca yang cukup besar dan digenangi
darah. Aku mengambilnya. Aku tidak ingin tersenyum lagi. Aku arahkan kaca itu
ke dadaku. Biar semua berakhir bersama penyakitku dan sakit jiwaku.
“ Maafkan aku…”
Aku mengayunkannya tepat didadaku.
PRAAANG !
Kaca yang ingin aku hunuskan ke dadaku tiba-tiba pecah. Aku
menoleh ke dekat pintu yang telah berdiri dua orang polisi dengan pistolnya yang
tepat menembak pecah kaca yang semula digenggamanku. Sepertinya mereka sudah
menyadari ada yang tidak beres denganku di rumahku. Aku mendekati mereka dengan
perawakan yang mengerikan. Aku berharap pistol mereka menembus dadaku hingga
aku bisa mengakhiri semuanya. Namun mereka meringkusku. Aku berteriak . Meronta
dan melompat-lompat karena kedua tanganku dipegang kuat. Dua polisi itu hampir
kewalahan dengan ulah ku.
“ LEPASKAN ! BIARKAN AKU MATI !!!! “ aku berteriak kepada dua
polisi itu. Aku ingin dia tahu kalau aku tidak ingin hidup lagi didunia yang
sudah hitam dimataku.
Namun, mereka tidak menghiraukan ku. Mereka mengikatku dan
menyeretku ke mobil. Diluar rumah sudah ramai orang sekitar berkerumunan melihatku
dengan wajah bingung dan beberapa mobil polisi. Aku dimasukkan kedalam sebuah
mobil yang berkelip-kelip diatasnya. Aku memberontak. Aku ingin mati. Aku ingin
bunuh diri. Biarkan aku mengakhiri hidupku ini. Namun, mereka tidak
memperdulikanku. Tanganku diborgol dan aku hanya bisa meronta-ronta. Namun,
lama-kelamaan aku merasa lelah. Aku tertidur.
Aku merasakan sebuah cahaya yang menyilaukan menembus mataku yang
sedang tertutup. Aku membuka mataku dan mengernyitkan mataku. Mencoba
beradaptasi dengan cahaya yang terang diatasku. Aku mencoba memperjelas
pandanganku. Aku tidak bisa menggerakkan tanganku. Tanganku dilapisi pakaian
yang berlengan sangat panjang sehingga tanganku diikat menyilang. Aku terduduk
ditempat yang empuk dan penuh dengan kasur berwarna putih. Bahkan, lantainya
juga empuk. Aku selamat. Dan aku masih hidup. aku berjalan kesebuah pintu yang
terdapat sebuah kaca diatasnya. Aku melihat keluar. Banyak orang berpakaian
serba putih hilir mudik berjalan dengan kesibukannya masing-masing. Aku
menghela nafas. Aku berpikir, mungkin seluruh hidupku akan dihabiskan disini.
Dengan semua tragedy yang telah kuperbuat, rasanya tidak mungkin aku dibiarkan
untuk hidup normal lagi dan bersosialisasi dengan orang lain sebagaimana
manusia biasa. Aku hanya pasrah. Dalam lamunanku, tiba-tiba pendengaranku mati.
Aku tidak bisa mendengarkan apa-apa. Aku panik. Aku menepuk-nepuk kedua
telingaku. Namun, masih tidak terjadi perubahan. Indera pendengarankn kosong
dan hening. Aku terduduk lambat. Aku terdiam. Ku pusatkan perhatianku terhadap
sesuatu yang menggema namun terdengar jauh. Gema itu semakin mendekat dalam
irama yang tidak karuan. Aku merasakan ada sesuatu dikepalaku. Didalam
kepalaku.
“ Tiaraa…”
Suara itu. Bisikan itu. Aku terkejut mendengar semua itu masih
terdengar dan mengiang-ngiang dikepalaku. Aku tidak mengerti mengapa suara itu
masih ada dikepalaku. Aku tidak ingin semua terulang kembali. Aku berteriak
minta tolong di jendela pintu.
TOLONG !
TOLONG BUNUH AKU !
SEBELUM AKU KEMBALI MEMBUNUH !
BIARKAN AKU MEMBUNUH DIRIKU SENDIRI !
…..
TIDAAAAAAKKKK !!!!
Selamat datang kembali
Tiara…
THE END
Langganan:
Postingan (Atom)