Rabu, 31 Oktober 2012

Lalu berlalu

Lalu, lalu, lalu . . .
Waktu berlalu begitu saja.
Terasa begitu cepat bagi mereka yang takut...tapi,
Kadang terasa lambat bagi mereka yang menunggu.
Kita yang menunggu. .  .menunggu waktu.
bukankah begitu?

Instruktur Senam dan para Lansia :D


Promosi Kesehatan Lansia dalam bentuk video


Novel Dedee


 PART #1 : S I L E N C E


Tiara !!!! Bangun ! Sudah pagi sayang”.
“Iya Ma… Hoaaahmm “.jawab ku.
Cuaca pagi ini agak dingin. Membuat ku sedikit bermalasan untuk bangun. Meringkuk didalam selimut yang tebal ini membuat perasaan hangat dan menggoda mataku untuk menutup lagi. Sinar pagi sengaja aku tutup dengan selimut agar tidak mengganggu lelapnya mataku. Aku tertidur sejenak .
“TIARAA !!!! Aduh .. Cepat bangun ! wedo’  kok bangunnya siang. Pamalii ! bangun – bangun !”, Mama menyingkap selimut kuning ku yang tebal itu sehingga udara dingin masuk menusuk kulit ku. Aku menggigil.
“Aaahhh Mama… dingin ! balikin selimutnya .” aku pun menarik kembali selimutnya. Terasa hangat lagi. Aku tersenyum menang.
“TIDAKK boleh ! Bangun ! Kita harus beres-beres . Nanti  jam 10 mobil Cargo bakalan datang. Mereka gak suka nunggu. Cepat .. Anak gadis kok kerjanya molor teruss “. Mama  mengomel-ngomel lagi. Ahhhh… Panas telingaku. Akhirnya dengan wajah malas dan lesu aku bangun dan bersandar di kasurku.
“ Aduh Ma .. memangnya kita mau kemana sih ?”. Tanyaku dengan mata yang masih tertutup.
“Tiara kamu lupa ya. Hari ini kita bakalan pindah rumah .Kan kemarin sudah Mama ingatkkan. Bangun paginya jangan telat “.
Aku pun masih bingung saat melihat wajah Mama yang serius dan sudah berdandan rapi.
“ Apa ?? Hari ini Ma ? . Cepat amat ! Tiara gak mau pindah Ma . Tiara udah nyaman dengan suasana Kota ini “. Dengan wajah yang cemberut dan menoleh lesu.
“ Ia Mama ngerti, tapi kerjaan Papa yang menuntut kita harus segera pindah dari kota ini. Papa kan sudah naik pangkat . jadi, dia memang sudah dipromosikan di perusahaan lain dengan jabatan yang lebih tinggi yaitu di kota lain ”.Penjelasan Mama mulai sedikit lembut.
“ Papa lagi Papa lagi. Kenapa sih kita gak pernah bertahan di satu kota. Tiara capek Ma harus memulai lagi dari awal untuk menyesuaikan diri. Belum lagi, Tiara bukan anak yang mudah bergaul dengan teman sebaya Tiara. Papa egois ! “. Nada ku sedikit meninggi.
Aku merasa aku adalah korban dari keegoisan Papa yang selalu dituntut oleh pekerjaannya yang membuatnya terobsesi untuk terus menaikkan jabatannya. Padahal kami sudah cukup dilimpahi dengan uang dan sudah berpenghasilan tetap. Bukan semua itu yang aku inginkan. Tapi kebahagiaan dari keharmonisan Rumah tangga yang selama ini aku rindukan. Selama bertahun-tahun semenjak Papa bekerja diperusahaan , dia jarang sekali menghabiskan waktu dirumah. Aku heran, apa yang sebenarnya ia kerjakan dari siang sampai malam. Setahuku dia hanya bekerja untuk menandatangani file-file perusahaan. Itu bukan hal yang sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
“Tiara, Mama ngerti benar perasaan kamu nak, Mama juga sebenarnya tidak ingin ini terjadi dan lebih memfokuskan terhadap kebahagiaanmu saja. Tapi, Mama tidak berdaya didepan Papa mu sayang . Mama mohon, kali ini turuti saja kemauannya ya Tiara. Mama mohon.”
Wajah Mama terlihat sangat memelas. Membuat hatiku terhenyuk dan terharu sedih . Selama ini hanya Mama teman terdekat aku yang selalu mengerti dan memahami perasaaan dan kondisi aku. Ya, aku tahu tentang kondisiku. Meskipun Mama selalu menyembunyikannya dari ku. Aku mengidap sakit Kanker paru-paru Kronis dari kecil yang mungkin suatu saat akan merenggut nyawaku. Aku melihat sekali bagaimana pengorbanan Mama untuk tetap mempertahankanku. Tapi bagaimana dengan Papa ?. dia acuh ! dan hanya memberikanku materi. Aku tidak butuh semua itu. Itu yang membuat aku Benci dengan Papa. Aku benci !.
“ Ya udah deh Ma, Tiara ngikut aja. Tiara mau mandi dulu.” Ujarku dengan wajah meredam emosi. Tapi, aku tidak mau memperlihatkannya ke Mama.
“Terima kasih ya Tiara udah mau ngerti Mama. Kamu memang anak Mama satu-satunya yang Mama sayangi.” Ujar Mama dengan mata yang berbinar-binar. Kami pun berpelukan.
Suasana haru menyelimuti Kamar mungilku yang penuh dengan hiasan boneka-boneka. Boneka  yang berdebu.


Aku pun bergegas kekamar mandi. Ku lewati dapur dan segera ku sambar Roti panggang yang tergeletak sendirian di piring hidang dan segera memasukkannya ke mulutku. Ku lihat juga Papa yang sibuk mengatur berkas-berkas entah apalah. Tak sedikitpun terbersit dibenakku buat menyapanya seperti yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya. Dia pun tidak mengheraniku. Jadi, bukan sepenuhnya salahku. Setelah selesai melahap roti panggang dan sedikit minum susu, aku pun langsung kekamar mandi. Ku buka perlahan seluruh pakaian ku didepan cermin. Ku lihat tubuhku yang penuh dengan luka jahitan di bagian dadaku. Entah sudah operasi yang keberapa yang sudah diabadikan dalam goresan-goresan jarum yang tajam di dada tengahku yang sudah terlihat lusuh dan tak ingin dijahit lagi. aku hanya bisa menghela nafas karena Aku sudah terbiasa. Ku putar keran air dan membiarkan air jatuh menghujani tubuhku. Dingin menggelitik sekujur tubuhku. Tak lupa juga dengan nyanyian-nyanyian kecil yang selalu menemani setiap ritual mandiku. Selesainya, aku langsung berpakaian dan menuju kamar. Papa masih sibuk dengan kegiatannya. Kali ini dia sedang menelpon dan sepertinya memperbincangkan tentang kepindahan rumah ini dengan nada yang angkuh. Aku pun mencibir dibelakangnya. Itu membuat ku geli dan tersenyum bangga disepanjang jalan menuju kamarku.
Ku buka pintu kamar dan Mama masih ada disitu. Kelihatannya semua barang-barangku sudah dipacking sama Mama.
“ Aduh Ma, gak perlu repot-repot segala lah. Tiara bisa kok merapikannya sendiri. Itu kan barang-barang Tiara”. Dengan Nada sedikit manja dan memuji.
“ Gak apa-apa kok sayang. Mama Cuma mau bantuin kok. Tapi, ini udah selesai semua. Kamu siapin barang-barang yang bisa kamu masukin ke ransel kamu aja yah . Mama mau kedapur dulu.”
Mama langsung bergegas keluar kamar dan sudah tidak terdengar lagi hentakan kakinya. Aku hanya tersenyum geli melihatnya.

“Mama memang yang terbaik.” Bisikku.


Hampir setengah jam aku beres-beres kamar dengan segala keperluanku dengan sedikit berdandan. Aku menghela nafas.
“Yap, semua sudah selesai”. Kataku dengan sedikit malas. Tanganku berpangku dipinggang.
“Tiara, Kamu sudah selesai beres-beresinnya ?” teriak mama dari luar.
“ Udah Maa .” aku menyibak sweter kuning ku yang sedikit berdebu terkena kardus yang aku angkat, aku pun keluar sambil membawa semua barang-barang ku. Barang-barangku memang tidak sedikit. Maklum, anak cewek. Kemudian barang-barangku dibawa oleh Mang Ujang, satpam dirumah ini.
“ Makasih Mang. “ dengan nada dan senyuman manja.
“ Ia Non, sama-sama “jawab Mang Ujang kemudian dia bergegas memasukkan barang-barangku ke bagasi Mobil.
“ Gimana Tiara ? Sudah siap ? “ Tanya Mama.
Aku hanya mengangguk kecil dan langsung masuk kedalam mobil. Kulihat Papa masih saja ngobrol dengan seseorang melalui handphone-nya itu.
“ Ya sudah, langsung jalan saja “ kata Papaku kepada Supir cargo.
Mobil cargo pun langsung berangkat dan segera menyelesaikan tugasnya untuk mengantar barang-barang kerumah pindahan yang baru. Sedangkan mobil yang aku naiki dikendarai oleh Papa. Mobil seketika langsung digas untuk mengejar mobil cargo yang lebih dulu memulai perjalanan.
Sepanjang jalan, aku hanya terdiam. Mengingat semua hal-hal dikota ku sebelum aku pindah. Mengenang semua memori selama menginjakkan kaki di kota ini. Aku belum sempat mengucapkan salam perpisahan kepada teman-temanku. Mungkin mereka akan bingung mencariku nanti. Pandanganku kosong menembus kaca jendela mobil ke pepohonan yang lebat disepanjang jalan. Kelihatannya jarak antar kotaku dengan kota yang akan aku tuju ini akan lebih jauh dari yang kupikirkan setelah memperkirakan kecepatan mobil yang sedikit kencang. Pandangan ku masih terbias kemana saja diluar jendela.
Di tengah lamunanku. tiba-tiba pandanganku terfokus kepada sebuah gubuk ditengah hutan. Mataku berakomodasi maksimum melihat sesuatu yang janggal , sesuatu yang tergeletak didalam gubuk itu. Sebuah boneka usang yang terbaring dilantai gubuk di tengah hutan. Tapi, aku tidak bisa melihatnya terlalu lama karena mobil ini terus melaju. Akupun tidak terlalu memikirkannya. Aku kembali terdiam dan terus melihat pemandangan luar. Kepala ku sedikit bersandar di kaca mobil. Mataku terpejam.
 Aku lelah.

























PART #2 : S A W

Selang dua setengah jam, akhirnya kecepatan mobil berkurang dan stabil. Kelihatannya  mobil sudah memasuki kawasan perumahan disebuah kota. Sepertinya kota yang cukup besar. Dijalanan sudah tidak bisa dihitung lagi jumlah mobil-mobil mewah yang berlalu hilir mudik.  Bangunan-bangunan tinggi dan megah menjulang keatas mencakar langit. Orang-orang yang serba rapi dengan pakaian kemeja berdasi dan sebagian berjas serta wanita-wanita yang juga menggunakan pakaian formal rok pendek dan baju elegan. Menggunakan wajah businessman. Sepertinya kawasan ini yang selalu diidam-idamkan Papa agar merasa hidupnya sedikit berlevel. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Dasar pikiran dangkal” gerutuku.
 Tidak lama kemudian mobil pun melewati dan memasuki gerbang perumahan yang cukup besar dan terukir nama “CITRA SEBAKTI”. Di sepanjang jalan yang ada hanya rumah-rumah beton yang besar dan mewah yang menancap kokoh sejauh mata memandang.
Juga tidak terlihat adanya orang yang lalu lalang berjalan kaki. Tidak ada anak-anak yang sedang main dihalaman pada sore hari. Tidak ada ibu-ibu yang bergosip dengan tetangga lain atau menyiram taman. Sepi dan kerontang. Aku berpikir, kawasan ini adalah kawasan para orang-orang penting dan pejabat-pejabat yang sangat sibuk dan menghabiskan waktunya dengan pekerjaannya seperti Papa.
“ Huuuhh.. sepertinya bakalan membosankan !” bisikku kecil .
“ Apa sayang ?” Tanya Mama.
Sepertinya dia mendengar bisik nakalku tadi.
“ Ahh gak ada apa-apa kok Ma, rumahnya Bagus-bagus yak .” aku mengelak. Mama hanya terdiam dan memandangku dengan tatapan yang sedikit dingin. Sepertinya dia tahu, aku hanya mengalihkan pembicaraan. Aku hanya diam dan kembali menebarkan pandanganku keluar jendela mobil seperti semula.
Diam.
Tak lama memasuki kawasan ini, akhirnya mobil pun terparkir di sebuah rumah yang lebih megah dari rumah sebelumnya di kawasan yang baru saja kulalui. Dua tiang utama yang besar menjulang tinggi hingga bagian rumah tingkat atas dengan ukiran yang besar. Taman yang sudah ditumbuhi bunga-bunga dan rerumputan yang terlihat rapi dengan pangkasan yang teratur . Serta kolam kecil yang berisi ikan-ikan kecil yang sdang berenang dengan lincah. Sepertinya rumah ini sudah terbangun sekian lama.
“ Ma, rumah ini dibeli ya bukan dibuat ?” Tanya ku untuk menghilangkan rasa penasaran.
“ Iya Tiara, Papa mu membelinya dari pemiliknya yang lama. Nanti juga kamu lihat siapa pemilik sebelumnya. Dia ada didalam. Ayo, segera bawa barangnya masuk kerumah. Mama sudah gak tahan mau lihat-lihat dapurnya.” Ujar Mama yang terlihat senang dan penasaran dengan keadaan didalam rumah. Aku hanya mengangguk dan mengiringi Mama menuju Rumah besar itu. Kepala ku sampai tengadah tegak lurus keatas melihat kebesaran dan kemegahan  rumah ini. Tapi, sepertinya ada yang lain yang aku rasakan. Gelap dan dingin. Aneh .
 Untuk menghilangkan kejenuhan, aku pun berkeliling seputar rumah itu. Sangat luas dan indah. Aku pun bermain-main dengan ikan-ikan dikolam kecil yang bersih dan airnya terlihat bening. Aku pun terhanyut dalam lamunan bersama ikan-ikan yang selalu mengepakkan ekornya itu.
“ Tiara ! ngapain disitu ? ayo masuk .”. teriak Mama dari kejauhan.
Aku pun  tersentak kaget dan terbangun dalam lamunanku bersama ikan-ikan kecil itu dan berlari kecil mengejar Mama yang sudah berada didepan pintu utama yang besar di rumah itu.
Krettt…
Pintu besar itu terbuka dan menimbulkan bunyi gesekan yang asing. Leherku mulai awas melihat-lihat rumah yang ternyata didalamnya jauh lebih mewah dan terlihat sangat luas dan besar. Kulihat papa dan mama sedang berbincang dengan sepasang suami istri yang sepertinya pemilik lama rumah ini.
“Tiara, ini Pak Santoso dan Bu Santoso. Mereka pemilik lama rumah ini. “ ujar Mama yang memperkenalkan mereka didepan ku.
“ Aku Tiara” jawabku singkat.
Mereka hanya tersenyum. Kulihat ada yang lain dengan senyuman Pak Santoso saat melihatku. Senyumnya sedikit tertahan disela kumisnya yang tebal . Bu santoso juga hanya tersenyum sebentar dan langsung merapikan sanggul rambutnya yang sudah memutih. Aku mulai merasakan kebosanan mendengar perbincangan orang-orang tua itu. Diam –diam Aku pun melanjutkan penelusuranku terhadap rumah yang super megah ini. Aku hanya bisa berdecak kagum melihat keindahan arsitektur ruangannya.  Deknya yang berwarna cerah dengan sebuah lampu hias yang sangat besar menggantung dilangit-langit ruangan. Sofa yang terlihat berkelas dengan warna hitam yang pekat. Meja tamu dengan kaca yang besar dan dipadu dengan sebuah vas bunga Kristal yang berisikan beberapa bunga Kristal yang berwarna-warni. Sebuah lemari pajangan yang dipenuhi pajangan kaca dan keramik antik serta sebuah jam dentang yang besar dengan warna kayu yang khas. Tak sadar sudah sejauh mana langkahan kakiku. tiba-tiba pandanganku tertuju ke sebuah pintu yang sedikit terbuka. Didalamnya kelihatannya gelap sehingga membuat pandanganku semakin terfokus dan semakin terfokus kedalamnya. Lalu, tiba-tiba aku tersentak melihat ada kelebatan bayangan yang melintas didalam pintu itu.
 Brakkk !!.
Tiba-tiba pintu itu tertutup dengan keras. Aku kaget setengah mati. Namun aku memberanikan diri mendekati pintu itu untuk sekedar memastikan apa yang ada dibalik pintu itu. Langkahku semakin gentar menuju pintu itu. Jantung ku semakin berdegup kencang dan keringat dingin mulai mengalir. Kudengar ada bunyi-bunyi aneh didalamnya. Seperti suara garukan di pintu yang tajam sehingga membuat gigiku ngilu. Aku semakin mendekat bahkan langkah kakiku hanya berjarak setengah meter saja darinya. Ku beranikan diri untuk memegang ganggang pintu dengan tangan yang gemetar. Suara itu semakin terdengar jelas dibalik pintu itu bahkan menggetarkan ganggang pintu yang terbuat dari besi. Sebentar lagi tanganku akan menyentuh ganggang pintu itu. Aku menelan ludah.
”WAAA !!! “.
Aku kaget dan berteriak seperti orang jantungan mendengar teriakan Mama yang tiba- tiba memanggilku.
“ Tiara ! Kamu ngapain disitu . Kemari ! Bapak dan Ibu Santoso mau pamit pulang “
Aku hanya terdiam dan suara yang mengilukan gigi itu sudah berhenti. Aku pun mengurungkan niat ku untuk membuka pintu itu dan berlari menuju Mama dan Papa.
“ Kamu gag apa-apa sayang ? Kenapa kamu kelihatan tegang ? Ada apa ? “ Tanya Mama yang terkejut melihat ekspresi wajahku yang sedang ketakutan.
Aku masih terengah-engah.” Gak ada apa-apa kok Ma. tadi Cuma lari-lari aja”.
Aku berbohong. Aku tidak ingin Mama tahu kalau sebenarnya aku melihat ‘sesuatu’ yang aneh di balik pintu tadi. Bapak dan Ibu Santoso pamit pulang dan kami kembali kerumah. Aku kembali tegang Saat melewati pintu yang aneh tadi.
“ Ma, buruan.. kamar Tiara mana ?”.tanyaku sedikit tergesa-gesa. Aku sudah tidak tahan merasakan kengerian yang terjadi barusan.
“Iya iya , sabar sayang.. Tuhh kamar kamu, yang pintunya berwarna pink. Cantikkan ? “Tanya mama sambil menggodaku.
Aku menoleh sebentar. Aku tidak terlalu menanggapinya dan langsung berlari menuju kamar baruku dan masuk kedalamnya.
Aku menutup pintu.


























PART #3 : B A R S T

Sudah tiga hari aku menempati rumah baru ku ini. Rumah yang belum ku rasakan layaknya tempat ku berteduh dan ku tinggali. Aku merasakan adanya hawa dingin yang kaku yang terus berada dibelakangku. Mengikuti setiap langkahku. Entah apa itu.
Suasana kekeluargaanku pun tidak ada perubahan. Bahkan, semakin kacau dan retak. Setiap malam selalu terjadi keributan antara Papa dan Mama. Belakangan ini, Papa selalu pulang malam dalam keadaan mabuk. Tidak jarang dia berlaku kasar kepada Mama. Mama pun kali ini tidak tinggal diam seperti biasa. Dia sudah berani melawan Papa. Mama juga manusia, yang punya batas kesabaran. Aku juga sepertinya sudah terbiasa menghadapi pertengkaran suami istri itu. Namun, aku tidak heran. karena Aku sudah terbiasa.
“Pagi Ma ?”tanyaku yang sudah bangun pagi dan bersiap-siap buat sarapan. Kali ini Mama tidak menjawab salam ku. Dia terus mengoleskan selai ke roti tawar yang ada ditangannya. Tatapannya kosong. Wajahnya kelihatan sedih dan murung. Seperti memendam suatu hasrat yang sudah lama menjamur didasar hatinya.
“ Papa lagi ya ?” aku menebak dengan sedikit tajam. Mama hanya mengangguk pelan lalu beranjak menuju dapur.
“ Jangan lupa minum Obat ya “. Nada Mama sedikit dingin. Kudengar suara siraman air dan dentingan piring. Sepertinya dia sedang mencuci. Gigitan roti panggang terakhir sudah masuk kedalam perutku. Aku membereskan sedikit serpihan-serpihan roti panggang yang masih menempel dibibirku dengan serbet dimeja makan.
“Apa yang harus aku lakukan ya ?” aku bertanya kepada diriku.
Hari-hariku selalu seperti ini. Membosankan dalam hari yang dingin saat liburan. Tiba-tiba pandanganku tercuri oleh sebuah pintu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ruang makan.
“ Ya, Pintu yang kemaren”.
Terbersit di pikiran ku untuk menelusuri apa yang sebenarnya terdapat dibalik pintu yang sempat membuatku ketakutan itu. Aku beranjak dari kursi makan dan mulai melangkahkan kaki ku menuju pintu itu. Ganggang pintunya sudah ku pegang. Dan ku putar.
Kreeett !!!.
Bunyi keretan pintu yang sudah tua dan berkarat sangat mendengung disekitar ruangan rumah. Sepertinya sudah sekian lama tidak pernah dibuka. Jantungku kembali berdegup kencang. Kembali kuingat kelabatan bayangan yang berada dibalik pintu beserta suara-suara aneh dibalik pintu kemarin. Tapi, rasa penasaranku mampu mengalahkan rasa takutku. Keadaan menjadi tegang saat pintu mulai kubuka. Keringat dingin mulai bermunculan sehingga membasahi sedikit kulitku. Pintunya sedikit kesat sehingga dengan kuat ku dorong pintu itu.
BRAAAKKK !!!
Pintunya terbuka lebar dan mataku dengan cepat mengawasi apa yang sebenarnya ada dibalik pintu itu. Hatiku sedikit tenang. Karena yang kulihat hanya tangga yang juram dan gelap menuju gudang bawah tanah. Pandanganku tidak mampu menembus kebawah lantai. Sepertinya tidak ada penerangan disana. Aku pun bertekad untuk kebawah sekedar melihat-lihat keadaan gudang tersebut. Aku berlari menuju bagasi. Seingatku, aku pernah melihat senter dikotak peralatan. Dan akhirnya aku menemukan senter itu dikardus usang yang berdebu serta tumpukan-tumpukan Koran lama yang tergeletak diatasnya. Aku kembali keruangan belakang untuk melanjutkan penelusuranku menuju gudang bawah tanah. Setibanya disana, aku terkejut melihat pintunya tertutup kembali.
“Siapa yang menutupnya sih ?. Orang susah payah ngebukanya juga?” aku menggerutu kecil. Tapi, tidak mengurungkan niatku untuk kembali memfokuskanku terhadap gudang yang gelap dibawah sana. Kali ini perasaan ku sudah tidak tegang lagi saat membuka pintu itu untuk yang kedua kalinya. Dengan cepat ku dorong pintu itu.
“WAAA !!!!”
Aku berteriak kaget. Saat kulihat tikus-tikus berlarian dari dalam pintu menuju keluar dan menggeliat-geliat dikaki ku.
“Iiih … Buat kaget ajja !”,aku menggerutu lagi.
 Aku melanjutkan usahaku yang dari tadi belum selesai-selesai juga. Kuhidupkan senter itu untuk sekedar menerangi jejak langkahku di anak-anak tangga. Langkah pertama ku di anak tangga berdecit kecil di ruangan itu. Anak tangga yang sudah kelihatan rapuh dan usang. Kulanjutkan langkah kaki ku kesetiap anak tangga dan akhirnya sampai juga di lantai. Lantai yang terbuat dari tanah kering yang sangat dingin. Kembali kurasakan hawa dingin disekitar leherku. Membuat bulu halusku berdiri dan memberikan sensasi getaran berfrekwensi sangat cepat. Tapi, tetap tidak menghalangi keinginanku untuk melihat-lihat sekitar gudang. Ku arahkan senter ke setiap sudut ruangan yang berdebu itu. Aku mulai berjalan-jalan melihat-lihat isi gudang. Banyak barang-barang bekas yang ditutupi dengan kain putih. Memberi kesan seram seperti film thriller “ Before X-mas “ yang pernah kutonton yang menampilkan pembunuhan oleh kaum kegelapan yang berjubah putih.
Aku merasa ada yang mengawasi setiap gerakku. Aku mendengar bunyi langkah kaki yang kecil dan cepat. Bunyi gesekan kaki di tanah kering yang terdengar jelas. Segera saja ku sorot dengan senterku. Tapi, tidak ada apa-apa. Kembali hanya barang-barang bekas yang kudapati.  Suara itu seperti mempermainkanku. Dia selalu terdengar dibelakang. Tapi, saat ku sorot dengar senter, lagi-lagi yang kulihat hanya barang-barang bekas yang tidak mungkin bergerak. Suaranya semakin cepat dan mendekat. Aku semakin tegang. Dan kali ini aku yakin, dia tepat dibelakangku. Menunggu waktu yang tepat. Lalu, dengan sigap kuputar tubuhku dan ku sorot dengan senterku.
“ WAAA !!! “, lagi-lagi aku berteriak kaget.
Ternyata yang kusorot adalah sebuah boneka kecil yang tergeletak lemah didinding. Pandangan matanya yang bulat hitam dan kosong membuat ku penasaran. Ku sorot dengan seksama setiap bentuk boneka itu. Sebuah boneka anak perempuan kecil dengan rambut lurus  dan panjang. Berpakaian gaun berenda berwarna putih yang sangat elegan dan sedikit berdebu. Rambutnya kasar dan bersarang laba-laba. Kepalanya tetunduk lesu tak berdaya menatap kedua kakinya yang bersimpul sebelah kiri. Boneka yang sangat unik seperti gadis kecil yang tembem. Sepatu hitam mungil terpasang dikakinya dengan tali perekat sebagai ikatnya. Sudah berdebu dan terlihat usang. Segera kuhampiri boneka itu dan kulihat dengan tajam. Rautan bibir yang sedang tersenyum merekat melihatku. Aku pun tersenyum.
“ Kamu manis sekali, bakalan aku rawat nih. Kamu pasti kelihatan lebih cantik.”, aku berbicara sendiri dengan boneka itu. Boneka itu masih diam dengan senyumannya yang membeku. Tentu saja dia tidak bisa berbicara. Dia adalah boneka. Segera ku peluk boneka itu dan ku bawa keruangan atas. Penelusuran ku akhirnya kusudahi dengan membawa sebuah boneka usang yang kutemukan digudang barusan. Pintunya kembali kututup.
Gelap.













PART #4 : W H I S P E R

Boneka itu segera kubawa kekamar mandi untuk kubersihkan. Ku siram dan ku gosok dengan lembut setiap lekuk kenyal tubuhnya. Akhirnya sudah bersih dan kering dengan hairdryer-ku. Kubaringkan boneka itu dikasurku. Kulihat dengan seksama seluruh lekuk-lekuk boneka itu.
“ Nah, sekarang kita akan berteman. Kamu kuberi nama Dolly okey .”, aku tersenyum-senyum kecil karena merasa aneh berbicara dengan sebuah boneka yang diam. Sebuah boneka yang hanya bisa tersenyum dan menatapku. Namun, dia adalah teman pertamaku ditempat ini.
Malam pun tiba. Aku hampir menghabiskan seharian waktuku dengan Dolly, boneka baruku itu. Sehabis makan malam, aku langsung menuju kamar dan bermain lagi dengan Dolly.
Aku menceritakan semua curahan hatiku kepadanya. Tapi, tetap saja dia hanya bisa tersenyum. Namun, itu lah yang aku sukai. Senyuman Dolly seperti menghangatkanku. Senyuman yang belum pernah ku lihat.
Tidur lah Tiara. Aku akan selalu disampingmu”.
Aku mengangguk kecil. Aku mendengar suara itu di pikiranku. Suara yang hangat dan halus yang membuatku seakan terhipnotis kaku. Kutarik selimut dan bersiap-siap untuk tidur dengan Dolly disampingku.

“Mimpi indah Tiara…”.


Esok paginya aku bangun dengan wajah yang ceria. Aku merasa hari-hariku sangat berbeda semenjak kutemukan Dolly. Hari ini sudah berakhir liburan sekolah. Itu artinya aku harus kembali kesekolah. Sekolahku yang baru. Mama sudah mendaftarku disalah satu sekolah menengah atas swasta yang cukup dikenal di kota ini. Pagi ini aku diantar oleh Mama dihari pertamaku disekolah baruku. Tak lupa aku selalu membawa Dolly didalam tasku. Entah mengapa, aku tidak bisa jauh-jauh darinya. Senyuman dan tatapannya seakan sudah terlukis dijiwaku. Dolly, boneka baruku.
Tidak lama diperjalanan akhirnya aku tiba disekolah tempat ku akan menjadi siswi baru. Mobil memasuki gerbang sekolah. Kulihat banyak orang-orang sebayaku sedang berjalan memasuki area sekolah. Aku langsung menuju ruangan Kepala Sekolah sebagai salam pertamaku. Di sepanjang lorong sekolah semua mata seakan tertuju padaku. Sepertinya warga disekolah ini mengenaliku sebagai siswi baru. Aku hanya tertunduk malu dan tidak berani memandang mata mereka. Entah apa yang akan dibicarakan mereka tentangku. Aku terus memikirkannya.
“Tenang saja Tiara, aku adalah temanmu…”.
Bisikan itu kembali hadir dipikiranku. Namun, aku tersenyum. Seperti timbul dorongan baru dibenakku. Aku pun menjadi bersemangat. Setibanya di ruangan Kepala Sekolah, aku disambut baik disana. Bu kepala Sekolah yang ramah dengan pakaian formal berwarna hitam berbincang-bincang dengan Mamaku. Aku hanya  bermain-main dengan Dolly sehingga membuatku melamun dan tidak menyadari sekitarku.
“ Tiara ?.” Mama membuyarkan lamunanku.
“ Ayo cepat kekelasmu, ibu Kepala Sekolah akan mengantarmu kesana. Mama pulang duluan. Baik-baik ya sayang”, Mama mencium keningku dan pergi menuju mobil.
“ Ayo nak Tiara.”, ajakan Bu kepala Sekolah. Sepanjang jalan Bu Kepala Sekolah menjelaskan tata tertib disekolah ini dan memperkenalkanku semua ruangan disekolah ini. Namun, aku tidak mendengarkan nya. Suara yang berada dipikiranku seakan selalu mengajakku berbicara. Seperti ada kontak yang menghubungkan pembicaraan kami di pikiran ku. Yang tidak pernah aku sadari darimana asalnya.
Akhirnya langkahku terhenti didepan sebuah kelas. Bu Kepala Sekolah masuk dan berbicara sebentar dengan guru yang sedang mengajar dikelas itu. pelajaran terhenti sejenak. Lalu dia menyuruhku masuk.
“ Silahkan nak Tiara, perkenalkan dirimu”, ujar Bu Kepala Sekolah.
Aku hanya terdiam melihat semua murid kelas yang menatapku heran. Semua perhatian langsung terarah kepadaku. Aku menjadi grogi dan gugup. Aku bukanlah perempuan yang pandai berbicara.
“Na..na..ma.kuu Tiara. Salam kenal semua”, perkataan ku sedikit bergetar dan terputus-putus karena gugup. Bu Guru mempersilahkan kan ku duduk di kursi yang memang sudah kosong. Pelajaran dilanjutkan. Aku hanya diam.


Ting Tong !!.
Bel sekolah berbunyi. Menandakan waktu istirahat pertama dan membuat suasana kelas yang hening menjadi gaduh oleh murid yang ingin beristirahat keluar kelas. Aku masih terduduk di bangku belajarku. Aku tidak tahu mau kemana jika keluar kelas. Kelas sudah sepi. Kesunyian kembali mencengkram tubuhku. Sendiri bersama Dolly.
“ Oh iya, aku kan ada Dolly !”. sadarku.
Aku buka tas dan mengambil Dolly yang tergeletak diantara buku-buku pelajaran. Senyumannya yang khas kembali meneyejukkan hatiku.
“ Benarkan Tiara. Hanya akulah temanmu”,
Bisikan yang selalu berdendang dikepalaku. Membuatku lupa dengan keadaan sekitar.
“Iya, kamu memang satu-satunya temanku”, aku bergumam sendirian.
“Kamu tidak membutuhkan orang lain. Karena, aku yang akan selalu menjagamu Tiara…”.
Aku tersenyum.



“ Eh, kamu Tiara kan ?”,
Suara itu membangunkanku dari lamunanku bersama Dolly. Segera kutolehkan wajahku untuk melihat siapa yang memanggilku.
“ Aku Dinda. Salam kenal ya”. Tangan gadis itu menjabat tanganku.
Aku sedikit kaku karena terkejut melihatnya.
“ Kamu sendirian aja ? kenapa gak keluar ?”, Tanya Dinda yang sudah duduk disampingku.
Aku masih saja kaku. Tanganku masih menggenggam Dolly yang kusembunyikan didalam laci meja.
“ Aku tidak ada teman”, Aku menjawab dengan nada sedih.
Kulihat Dinda hanya tersenyum mungil. Wajahnya yang cantik kelihatan bersahabat.
“ Kalau begitu, ayo kita kekantin bareng “, ajakan Dinda yang menyejukkan.aku mengangguk.  Kuletakkan Dolly di laci meja. Aku berdiri dan berjalan mengikuti langkah Dinda keluar kelas.
Di kantin aku duduk menunggu Dinda yang sedang memesan bakso. Disekitarku banyak cowok-cowok yang memandangku dengan tatapan yang nakal. Aku tidak ingin menghiraukannya.
“ Tiara, aku sendirian disini…”
“ Dingin…”,
Bisikan itu seakan memanggilku dan menggetarkan jiwaku. Aku menoleh kesana kemari mencari sumber bunyi itu. kali ini aku mendengarkannya seperti memang ada wujud nyata yang menyebut namaku. Namun, aku tidak menemukan apapun. Aku mulai gelisah. Suara itu terus memanggil namaku berulang-ulang kali. Aku langsung panik dan mau beranjak dari kantin. Lalu, sebuah tangan menukas pergelanganku.
“ Tiara, kamu mau kemana ? “.
Kulihat Dinda yang sedang membawa dua mangkok bakso menatapku heran.
 “ Aku mau kekelas dulu sebentar. Ada yang ingin aku ambil “, wajahku terlihat tergesa-gesa dan bernada cepat.
“ Aduh Tiara, Bel bentar lagi mau bunyi nih. Aku uda mesanin kamu bakso . Makan dulu. Entar baru kita kekelas “, ajakan Dinda.
Aku merasa segan untuk menolaknya. Dengan sedikit redam, Aku kembali duduk dan mulai menyantap bakso tadi dengan cepat. Pikiranku masih mengambang kepada Dolly. Bisikan itu terus terngiang-ngiang di otakku dan menyebut-nyebut namaku. Membuatku gelisah dan tidak tenang. Dinda mulai menyadari sikapku yang aneh ini. Dia mengeryitkan keningnya saat melihatku melahap bola bakso yang besar dengan satu kunyahan.
“ Tiara ? Kamu gak apa-apa ?”, Dinda membuyarkan pikiranku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dengan mulut dipenuhi daging-daging bakso ini. Aku mengambil minumanku dan akhirnya semuanya sudah tertelan.
“ Umm… gak apa-apa kok. Aku sudah selesai nih. Aku kekelas duluan” jawabku dengan nada acuh.
Tak kupedulikan suara Dinda yang terus memanggilku. Aku berlari dilorong kelas dan langsung mengarah kekelasku dan masuk kedalamnya. Aku mengambil Dolly.
 “ Maaf ya Dolly. Aku meninggalkanmu sendirian disini. Aku gak bakalan ngulangin lagi “, kata-kata sesal begitu saja terucap dari mulutku untuk sebuah Boneka.
“ Aku tahu Tiara…”
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu…”.
 Kali ini bisikan itu membuatku tenang. Tenang dalam kesunyian kelas.
“ Kamu adalah milikku Tiara…”.
“ Hanya milikku…”


Tdak terasa akhirnya jam pelajaran disekolah akhirnya selesai. Bel pulang sudah berbunyi. Aku merapikan buku-bukuku dan kumasukkan ke tas. Aku segera beranjak keluar dari kelas. Dilorong-lorong kelas masih banyak orang yang berbincang-bincang sambil berjalan. Aku pun menggunakan wajah dingin karena tidak satupun dari mereka yang aku kenali. Langkah kakiku sudah hampir menjejaki ujung lorong.
“AAWW !!”, aku kaget karena ada seseorang yang mendorongku dari belakang. Tubuhku yang ringan pun melayang jatuh. Lalu, tiba-tiba ada sepasang tangan yang menangkapku. Aku berada dalam dekapan seseorang. Mataku masih tertutup karena ketakutan. Saat kubuka perlahan, mataku menangkap sosok pria yang sedang mengayun ku di lengannya. Cowok  yang tampan dengan rambut hitam lurus. Dia tersenyum melihatku.
“ Kamu gak apa-apa ?”, dia bertanya padaku. Aku yang terkesima melihatnya seakan tak berdaya. Dia membantuku berdiri tegap.
“Uhmm.. gak apa-apa. Makasih ya .”, aku menjawabnya malu-malu menyembunyikan pipiku yang sedang merona merah.
“ Oh sukurlah. Aku Radit. Kamu anak baru disekolah ini ya ?”.
Dia memperkenalkan namanya padaku dengan senyuman yang manis. Membuatku meleleh. Aku tidak sanggup menatap matanya. Tatapannya seakan menghanyutkan hatiku.
“ Aku Tiara. Aku anak baru disekolah ini”, aku menjawabnya dengan grogi. Dia masih tersenyum.
“ Aku balik duluan ya. Sekali lagi makasih atas pertolongannya.” Kataku sambil menunduk.  Aku masih tidak sanggup melihat bola matanya. Aku langsung beralih dan pergi menuju mobil Mama yang baru datang untuk menjemputku. Aku bergumam kecil.
namanya Radit.“




























PART #5 : F L O A T E D

Sesampainya dirumah aku langsung berlari kekamar. Keletakkan tas sandang ku di meja belajarku. Ku baringkan tubuhku ke tempat tidur. Membuka khayalan atas apa yang terjadi barusan.
“ Namanya Radit “, aku bergumam sambil tertawa kecil.
Aku merasa ada yang lain yang kurasakan kepadanya. Radit, cowok yang tiba-tiba menolongku yang hampir terjatuh. Dia bagaikan pangeran berkuda putih yang datang menyelamatkanku yang selama ini aku belum pernah merasakan perasaan ini. Aku membalik-balik tubuhku diatas ranjang yang empuk. Tidak kurasakan lelahnya selama disekolah disekolah tadi. Semuanya terasa menyenangkan. Pertemuan yang tidak terduga dan mengejutkan. Apakah ini yang namanya takdir ?. pikiranku mulai nakal. Menerawang jauh kebawah akal.
“ Tiara…kamu melupakanku ?”,

Tiba-tiba bisikan itu kembali hadir dipikiranku. Membuyarkan imajinasi ku tentang Radit. Bisikan ini jauh lebih kuat daripada bayangan Radit yang melayang-layang dikepalaku. Aku pun tersadar. Segera ku bangun dan menuju meja belajarku. Kubuka tas dan masih kulihat Bonekaku, Dolly.
“ Maafkan aku ya… “
“ Oh iya, tadi aku ketemu ma cowok ganteng. Aku rasa aku suka ma dia “, aku berbicara sambil memandang mata bulat Dolly yang hitam.
“ Kamu harus melupakannya Tiara…”
“ Hanya aku lah Temanmu…”,
Bisikan itu seakan menguasai alam sehatku. Tiba-tiba semua tentang Radit dengan cepat hilang begitu saja dari benakku. Seperti pasir-pasir pantai yang disapu ombak.
“ Hanya kamu lah temanku… Dolly “, pandanganku kosong.
“ Ya… “
“Benar…”
“Hanya aku lah temanmu…”
“ Kamu tidak membutuhkan orang lain Tiara…”
“Kamu membutuhkan ku…”.
Aku mengangguk tanpa sadar.
“Benar begitu Tiara…Kamu membutuhkanku”.
Boneka itu semakin tersenyum. Senyuman yang semakin tajam.


Hari berikutnya aku kembali kesekolah. Hari-hariku mulai ceria. Aku sudah sangat akrab dengan sahabat baruku, Dinda. Kami sering melakukan hal bersama. Namun, aku tidak pernah membahas tentang Dolly didepannya. Ya, hanya Dinda satu-satunya temanku didunia nyata. Hari demi hari di sekolahku kulewati bersamanya. Bahkan, terkadang dia mengunjungi rumahku. Aku sudah tidak memikirkan Radit lagi. Karena, aku tidak pernah menemuinya lagi.
“ Pagi Nona Cantik “, Dinda menyapaku dengan gurauan kecil.
“ Kamu ngangetin aja. Kayak hantu tahu gak “, aku pun membalas gurauannya.
“ Hahaha ! memang aku hantu. Hantu imut kan. Hihihi  “, Dinda semakin menggodaku. Aku hanya tertawa kecil melihat guyonan Dinda.
“ Dinda !! “,Tiba-tiba, ada suara yang memanggil Dinda dari pintu kelas.
Aku menoleh ingin melihat siapa yang memanggil nama Dinda. Aku terkejut dan terpana melihat sosok cowok yang pernah kulihat,
Radit.
Aku membeku, tidak bisa melakukan apa-apa. Dia menghampiri aku dan Dinda. Dia tersenyum melihatku.
“ PR  B. Inggris aku udah kelar belum ?” dia bertanya kepada Dinda.
“ Udah-udah. Ambil aja di tas aku. Udah siap semuanya. Happy ?”, Dinda menjawabnya dengan nada canda.
“ Haha.! Makasih-makasih”, jawab Radit dengan senyumannya yang melelehkan ku. Aku masih tertegun melihatnya. Radit membongkar-bongkar isi tas Dinda dan mengambil satu buku catatan yang lebar. Radit pun menoleh dan pergi melangkah keluar.
“ RADIT ! kemari bentar “, panggil Dinda.
“ Apa lagi sih bawel ? Kamu mau minta bayaran ?”, jawab Radit sambil melangkah mundur.
“ Haahh ! emangnya aku matre’. Nih kenalin teman aku. Tiara “, Dinda memandang manis kehadapanku. Radit mengulurkan tangannya.
“ Radit ! “, kata Radit dengan tersenyum.
Darahku seakan membeku melihatnya begitu dekat denganku. Aku jadi gugup dan kaku.
“ Tiara “. Balasku sambil menerima jabatan tangan darinya. Aku tersenyum simpul.
“ Udah kan ? aku mau rapat OSIS nih !”, ujar  Radit dengan berat.
“ Iya-iya… pergi sono “, tukas Dinda. Radit pun melangkah keluar kelas. Aku masih terpana membayangkan wajahnya. Ku cengkeram tangan Dinda.
“ Itu Dia…Itu Diaa… ! “, kataku dengan geram.
Aku mencengkeram keras tangan Dinda untuk menahan rasa bahagiaku.
“ Aduuhh.. lepasin, tangan aku sakit.. itu Dia apa ? “, jawab Dinda sambil melepaskan tangannya dari cengkeramanku.
“ Itu Cowok yang pernah aku ceritain yang jadi pahlawan aku kemaren. Kamu ingatkan “, kata ku dengan sambil tersenyum senang.
“ Hah ? Radit ? dia yang kemaren nolongin kamu pas kamu mau jatuh saat didorong orang ?”, Tanya Dinda dengan wajah heran.
“ Iya-iya… Kamu udah kenal sama dia ? “, tanyaku.
“ Udah lama sihh…”, jawab Dinda dengan nada sedikit bermalas-malasan.
“ Uhmmm…. Aku mau kekantin dulu yah “, kata Dinda.sambil beranjak dari bangku belajar.
Aku tidak terlalu mengheraninya karena pikiranku mulai melayang lagi bersama Radit, Radit dan Radit. Dinda sudah keluar dari kelas meninggalkan ku sendiri lagi dikelas. Bel masuk pun belum berbunyi.
“ Tiaraa…”
“Kenapa kamu masih memikirkannya ?”,  
Bisikan misterius itu mulai datang kedalam lamunanku.
“Aku suka sama dia “, jawabku sambil melamun. Pandanganku masih terbang kealam fantasi bersama Radit.
“ Bukankah sudah kukatakan untuk melupakannya…”,.
 “ Iya… tapi, aku tidak bisa. Aku mohon kali ini biarin aku memikirkannya ya”. Jawabku sambil tersenyum.
“ Tidak Tiara…”
“ Hanya aku lah yang boleh berada dipikiranmu…
“ Buang semua tentang Dia…”,  
Bisikkan itu memaksa.
” Tapi, aku suka sama dia “, jawabku dengan sedikit murung.
“ Tidakkk !!! “
“Keluarkan dia dari pikiran mu !”,
Bisikkan itu semakin memaksa dan mendesakku.
” Tapii….”,

Ting Tong !!!
Belum selelsai ku bicara bel masuk sudah berbunyi. Membuatku terbangun dari kontak pembicaraan alam bawah sadarku dengan Bisikan itu . Kelas mulai gaduh dan dipenuhi siswa-siswi. Pelajaran dilanjutkan.
 Hari  pun berlalu.


Keesokan harinya, Aku seperti biasa bersekolah. Sesampainya digerbang sekolah, Aku turun dari mobil dan berjalan kaki menuju sekolah. Pagi itu cuaca sengat cerah. Burung –burung liar bertengger dipepohonan taman sekolah. Angin pagi juga terasa hangat. Aku tersenyum menikmati indahnya pagi ini.
“ Pagi Tiara…”, Suara yang muncul dari belakangku.
“ Pagi…”, aku menoleh. Lalu, tiba-tiba aku terperanjat karena yang memanggilku ternyata…
“ Radit ?” tanyaku heran.
“ Iya, yang tempo hari dikenalin sama Dinda.”
Dia tersenyum lagi. Senyuman yang mampu mengalihkan duniaku. Aku masih terpana dan seperti terbawa kesurga. Melihat betapa indahnya sosok Adam didepanku.
“ Iii..ya… aku inget kok “. Jawabku dengan riang.
“ Kita masuk bareng yuk”, ajak Radit.
Aku mengangguk sambil tersenyum senang. Benar-benar senang.
Tidak lama kemudian tanpa sadar jejak kakiku sudah menapak pada lorong kelas. Berarti jarak kelas sudah semakin dekat. Tidak terasa berbincang dengan Radit membuat aku seperti lupa dengan segalanya. Apa aku benar-benar suka sama dia ? apa aku ‘jatuh cinta’?. Kata-kata itu terus menempel didinding dunia khayalku. Aku sungguh terpesona olehnya. Tatapannya yang sangat menyejukkan, senyuman yang lebar dan menawan, gerak-geriknya yang mengagumkan. Aku benar-benar merasakan hidup jika bersama dengannya. Radit yang pernah kuanggap sebagai pangeran berkuda putih, kini benar-benar sudah berada dihadapanku.
“ Hai guys !!! ciieeh… makin lama makin akrab nih ! ehemb-ehemmmb “, suara Dinda mengejutkanku. Dengan guyonan-guyonan yang mampu membuat ku tersipu malu sehingga membuatku salah tingkah.
“ Enggak kok … kita Cuma kekelas bareng aja. Tadi kebetulan ketemu digerbang sekolah “ jawabku merendah. Namun, tidak dapat kusembunyikan pipiku yang kemerahan karena malu.
“ Iya kok Din, kita Cuma kebetulan ketemu aja. Jadi, apa salahnya kita kekelas bareng.”, jawab Radit dengan tenang.
“ Kebetulan apa kebetulan nihh ? cieehh… ayo ngaku “, balas Dinda sambil mencuil pinggulku.
“ Ahh.. apa-apa’an sih Dinda. Norak tahu gak .” jawabku sambil tersenyum  simpul.
“ Ya sudah, aku mau kekelas dulu ya. See you …” jawab Radit sambil melangkah kebelakang dan melanjut ke kelasnya. Tidak lupa dia memberikan senyuman hangatnya kepadaku sebelum menoleh kebelakang dan beranjak pergi.
Aku masih tersenyum bahagia. Meskipun dia sudah melangkah jauh. Aku seperti terhipnotis dengan senyumannya yang sangat memikat.
“ Hei-hei… masih pagi sudah melamun.. ayo masukk !” Suara Dinda membangunkanku sambil menarik lenganku menuju kelas.
Aku benar-benar bahagia.
“ Tiara…”
“ Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak memikirkannya bukan ?”
Bisikan itu membuyarkan konsentrasi belajarku. Pikiranku sudah diambil alih lagi olehnya. Aku sudah tidak dapat mendengarkan penjelasan dari Guru yang sedang mengajar. Aku sudah masuk kedalam alam bawah sadarku. Pandanganku kosong,
“ Tapi, aku tidak bisa… Dia adalah orang yang memberiku kebahagiaan”, jawabku lemah.
“ Tidak !”
“ Lupakan dia…”
“ Tidak ada satupun didunia ini yang memberikanmu kebahagiaan…”
            “ Hanya aku…”
“ Hanya aku yang mampu memberikanmu kebahagiaan…”
Bisikan itu semakin menguasai pikiranku. Aku tidak berdaya.
“ Aku tidak bisa…” jawabku. Dengan Suara yang semakin memelas semakin rendah.
“ LUPAKAN DIAAAA !!!!! “
Bisikan itu tidak lagi menjadi hangat dan lembut tetapi berubah menjadi teriakan yang menyeramkan dan memekakkan telingaku. Otakku seakan mau pecah. Aku tidak sanggup menahannya. Aku menutup telinga ku dengan kedua tanganku..
” HENTIKAAANNN !!!!”
Aku berteriak keras diruangan kelas sambil masih menutup telingaku dengan tangan. Aku meronta-ronta. Menumbangkan meja belajarku. Buku-buku berserakan dilantai beserta alat-alat tulis. Semua penghuni kelas terkejut. Semuanya terpana melihatku. Memandangku dengan aneh. Pelajaran terhenti.
Aku membuka mataku setelah tidak lagi mendengarkan teriakan yang menakutkan yang memecahkan gendang telingaku. Kulihat semua orang menatapku heran. Aku pun menjadi linglung. Aku berlari menuju Guru yang mengajar dikelasku. Aku minta izin pulang dengan alasan sedang tidak enak badan. Dia mengizinkanku dengan menatap aneh kepadaku. Aku tidak memperdulikannya. Aku berlari keluar dan meninggalkan kelas. Kudengar juga Dinda mengejarku. Meneriakkan namaku.
“ Tiara ! Tunggu ! “ teriak Dinda dari arah belakangku.
Aku sedang tidak ingin diganggu. Aku berlari semakin kencang menuju keluar sekolah. Memberhentikan Taksi dan masuk kedalamnya. Taksi melaju kencang. Meninggalkan Dinda yang sudah berhenti mengejarku dan sedang terengah-engah di gerbang sekolah. Aku berpaling untuk tidak melihatnya. Aku fokuskan kepada suara aneh yang memecah dipikiranku barusan yang membuat hari ini kacau. Aku bingung. Suara siapa itu ?
Sesampainya dirumah, aku langsung berlari menuju kamar .Kedengar Mama menggedor-gedor pintu menanyakan keadaanku. Suaranya kelihatan cemas.
“ Aku gak apa-apa Ma… aku hanya gak enak badan dikit “ teriakku dari dalam kamar.
Suara gedoran pintu dari Mama sudah berhenti. Sepertinya Mama mengerti kalau aku sedang tidak ingin diganggu. Tiba-tiba pandanganku gelap dan berputar-putar diatasku. Mataku tertutup. Gelap.


Mataku terbuka perlahan. Kukernyitkan mataku untuk dapat melihat dengan jelas. Ku lihat jam di meja menunjukkan jam 16.00. Ku dengar suara Dinda dan Radit di luar ruangan yang sepertinya sedang berbincang-bincang dengan Mama.
Tok Tok Tok ! “ suara ketukan pintu kamar.
“ Tiara… nih ada Dinda dan Radit, sayang… Mereka ingin menjengukmu…” kata Mama  dibalik pintu.
“ Aku lagi pengen sendirian…” jawabku pelan.
Mama sepertinya mendengarnya. Ku dengar derap langkah mereka menjauhi kamarku. Sepi dan hening.
“ Tiaraa… Kamu tidak apa-apakan ?”
Bisikan itu terdengar lembut kembali. Menyejukkan dan menenangkan. Seketika semua pikiran ku tentang teriakan aneh kemarin sirna begitu saja. Aku tersenyum.
“ Gak apa-apa kok… Terima kasih ya udah perhatian sama aku “, jawabku lembut. Pandanganku kosong dengan senyuman tanpa arti.
“ bukannya aku temanmu Tiara…”
“ Hanya aku Temanmu bukan …?”
Ku buka tas sekolahku. Kulihat Dolly tergeletak lemah. Ku ambil dan kuangkat didepan wajahku. Aku tersenyum melihat senyuman Dolly yang lembut. Ku peluk Dolly dengan Erat. Ku tutup mataku.
Damai.

Keesokan harinya, aku kembali bersekolah seperti biasa. Namun, suasana mungkin tidak seperti biasa. Kulihat teman-teman dikelasku menatapku aneh. Kudengar mereka seperti sedang menggosipkan ku. Namun, aku tidak peduli. Aku duduk dengan memasang wajah girang. Bersiap-siap menantikan sahabatku, Dinda.
Tak lama kemudian, muncullah Dinda dari pintu kelas dan langsung berlari kearahku. Wajahnya terlihat cemas dan khawatir memandangku. Dengan cepat dia duduk dihadapanku. Aku masih tersenyum.
“ Tiara ! kamu gak apa-apakan ? kamu baik-baik aja kan ? “ kata Dinda dengan cepat. Suaranya yang getir jelas sekali sangat mengkhawatirkanku. Aku hanya tersenyum.
“ Aku gak apa-apa kok Din. Nih lihat, aku baik-baik aja kan ? “ jawabku bangga dengan menunjukkan keadaan tubuh ku yang tidak ada kekurangannya.
“ Aku serius Tiara… Kamu kenapa kemaren ?”, balas Dinda dengan wajah yang serius.
“ Aku gak kenapa-napa kok.. udah lah jangan dibahas. Yang jelas aku kan gak apa-apa “ jawabku dengan tenang.
Lalu, dari kejauhan kulihat Radit menghampiriku.  Tas ransel masih melekat dipundaknya. Wajahnya juga kelihatan cemas.
“ Tiara ? kamu gak apa-apa kan ?” kata Radit memulai pembicaraan. Senyumnya yang manis kini tidak lagi dipakainya. Melainkan wajah yang serius dan cemas.
Aku tersenyum geli melihat wajah mereka berdua.
“ Aduhh.. kalian ini kenapa sih. Aku kan udah bilang, aku gak apa-apa. Nih, periksa aja ? gak ada sesuatu yang kurang dari aku kan ? “ jawabku dengan ekspresi canda.
“ Ya udah deh Tiara, yang penting kamu gag kenapa-napa “ jawab Dinda dengan lemas.
Radit tersenyum melihatku.
“ Ya sudah, aku balik kekelasku yak . Tiara, jangan becanda lagi ya” kata Radit dengan lembut.
Aku mengangguk pasti. Dia tersenyum melihatku. Dan berpaling melangkah keluar kelas. Aku masih tersenyum.
“ Dasar ya, Kalau udah Radit aja, langsung senyam-senyum kayak orang gila” kata Dinda dengan nada canda.
“ Hehe ! Din… kayaknya aku jatuh cinta deh sama Radit. “ jawabku menggebu-gebu.
“ Hah ? Beneran ? “ balas Dinda sambil mengernyitkan keningnya.
Aku mengangguk yakin. Dan sepertinya Dinda mengerti kalau aku benar-benar jatuh cinta sama Radit. Dia menoleh dan terdiam. Aku hanya tersenyum melihatnya. Dan kembali mengkhayal tentang Radit. Aku bahagia.
Hari terus berganti.


Pagi ini aku merasa ada yang berbeda. Sinar pagi yang menembus jendela ku membangunkanku dari lelapnya tidurku. Aku tersenyum.
Dengan sigap aku melakukan rutinitasku setiap pagi. Hari ini sedikit lebih banyak senyuman. Aku berangkat sekolah dengan wajah yang ceria. Sesampainya didepan gerbang sekolah. Aku melihat Dinda dan Radit sedang tersenyum menyambutku.
“ Happy Birthday ya Tiara “
Dinda memelukku dan mengucapkan ucapan selamat ulang tahun.
Aku tersenyum riang. Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 17. Genap sudah masa remajaku. Aku sangat senang sahabat terbaikku ingat dengan ulang tahunku.
“ HBD ya Tiara …”
Radit pun tidak lupa untuk memberi ucapan selamt buatku. Itu yang aku tunggu dan aku harapkan. Senyumannya sangat tulus. Bahagiaku menjadi bertambah berkali-kali lipat.
“ Malam ini jangan lupa datang kerumah aku ya. Ada pesta kecil-kecilan. Okeh !”
Aku mengundang mereka. Dan hanya mereka yang ku undang.
Dimalam harinya aku sangat bingung harus mengenakan pakaian gaun mana yang pantas untukku. Rata-rata gaun selalu menampakkan tulang rusuk dada dan sedikit payudara. Aku malu harus memakainya karena disekitar dadaku banyak terdapat bekas-bekas luka jahitan operasi penyakitku. Akhirnya, aku menemukan gaun yang cocok yang sudah lama tersimpan ditumpukan paling bawah pakaian-pakaianku. Sedikit menutup bagian dadaku. Warnanya juga menarik. Pink lembut dipadu dengan putih transparan. Betapa cantiknya aku malam ini. Aku tersenyum didepan cermin. Melihat parasku yang sudah berubah dari sejak aku masih dirumahku yang lama. Sejak aku masih sendirian. Namun, sekarang aku sudah memiliki sahabat yang selalu membuat hari-hariku ceria.
“ Kenapa kamu harus bahagia disaat ulang tahunmu…”
Bisikkan itu tiba-tiba datang mengusik lamunanku.
“ Kenapa ? Apa itu tidak boleh ?
Jawabku ketus.
“ Apa kamu tidak pernah berpikir ?”
“ Berpikir apa ?
“ Kamu tidak seharusnya bahagia disaat hari ulang tahunmu.”
“ karena semakin lama nyawamu semakin terkikis dan semakin habis dimakan waktu.”
“Kamu tidak punya banyak waktu lagi untuk bernafas lega seperti saat ini.”
“ Ingat ! kamu punya penyakit.”
“ Bahkan, hidupmu memiliki durasi”
“. Dan semakin lama semakin mendekati angka nol “.
Tiba-tiba wajahku menjadi murung. Aku teringat kembali kehidupanku yang nyata. Kehidupan ku yang sudah dipastikan tidak akan lama lagi. Kehidupan yang singkat. Wajahku menjadi layu. Aku tidak bersemangat lagi. Bisikan itu benar-benar menguasaiku. Aku membaringkan tubuhku di ranjang. Aku lelah. Aku menutup mataku. Dan segera tertidur. Tidak adalagi aku memikirkan untuk merayakan pesta ulang tahunku. Aku sudah tidak percaya diri lagi. Aku sudah terbiasa. Tak lama, aku mendengar Mama mebuka pintu kamarku. Lalu, bergegas keluar lagi. Kemudian masuk kembali dan meletakkan sesuatu di meja disamping ranjangku. Mataku masih tertutup. Pesta sudah usai tanpa ada perayaan. Aku sengaja menutup mata agar Mama mengira aku sudah tertidur lelap. Ku buka mataku setelah keadaan menjadi sunyi. Kulihat disampingku tergeletak sebuah kado yang tidak terlalu besar namun memiliki warna menarik. Di samping kado itu tertulis “ Kami Sayang Tiara “.  Hadiah ulang tahun dari Radit dan Dinda. Aku memandangnya tanpa ekspresi. Aku menjatuhkan kepalaku tepat diatas bantal. Aku kembali membaringkan tubuhku yang masih mengenakan gaun ulang tahunku. Ulang tahunku yang dingin. Bahkan tidak ada api yang dapat menghangatkan malam itu.
Aku tertidur.
























PART #6 : OTHER STRENGTH
    
Hari berikutnya . aku kembali bersekolah seperti biasa. Tidak ada perasaan janggal saat aku menyapa Dinda dan Radit. Aku benar- benar melupakan kejadian malam itu. malam ulang tahunku yang suram.  Aku masih tersenyum melihat mereka. Mereka menatap aneh padaku. Menatap miris seperti penuh curiga dan kebimbangan. Aku tertawa melihat ekspresi mereka. Mata mereka masih penuh dengan tanda Tanya.
“ Kamu gak apa-apa Tiara ? “  Tanya Dinda setelah aku berada dihadapan mereka.
 
“Eitss … Kamu lupa kasih salam pagi ma Dolly aku nih ! “jawabku dengan riang. Ku angkat Dolly yang kujinjing kewajah Dinda. Dinda menepis Dolly dan menatapku serius.
“ Aku serius Tiara. Kamu sakit ? “ Tanya Dinda kembali. Radit pun meyakinkan dengan menatapku tajam.
“ Aku gak kenapa-napa kali Din . udah deh , jangan dibahas ! bentar lagi  knih.nih. PR b.inggris aku belum selesai. Nyontek donk ! “ aku menjawab dengan cengengesan diwajahku. Dinda mengernyitkan keningnya.
“ Ya udah. Tuh ambil di tas aku “ jawab Dinda malas.
“ SIiip !! makasih cantik “ aku mencuil dagunya dan tertawa kecil menggodanya dan masuk kekelas untuk melanjutkan PR ku. Dinda masih berbicara berdua Radit dimuka pintu. Aku menolehnya sesekali.


Seusai sekolah aku bergegas pulang. Aku diantar DInda dan Radit karena Mama sedang ada arisan keluarga. Aku menumpang di mobil Corolla Radit yang antic. Kami tertawa bersama sambil mendengarkan Radio. Sesekali kami mengejek suara parau penyiar radio dan siaran music dangdut.
Radit mengarahkan mobil keparkiran sebuah restoran di tepi jalan. Hari yang panas dan pelajaran disekolah yang melelahkan menggoda selera kuliner kami untuk segera memnuhi hasrat perut.
Kami mengarah masuk dan duduk dimeja kosong 4 kusri di dekat jendela besar yang menghadapkan sebuah kolam ikan. Pelayan datang dan meminta pesanan kami. Setelah memesan pelayan yang lain datang menyuguhkan hidangn pembuka berupa ice cream.
Setelah lama menunggu, tanpa sengaja aku menoleh kemeja nomor 24 di ruangan VIP restoran ini. Aku mengenali jas dan wajah itu.
“ Papa ? “ bisikku dalam hati.
Aku melihat Papa sedang bercengkrama dengan seorang wanita separuh baya dengan pakaian casual kantor yang sexy.
Aku memperhatikan mereka. Sesekali Papa menyibak rambut wanita itu dan wanita itu mencubitnya nakal. Aku tertegun melihat tragedy mesra yang terlarang itu. sesekali wanita itu menyuapkan Papa dan menyapu bibir papa dengan tissue. Hatiku sakit melihatnya. Amarah ku memuncak melihat Papa berselingkuh dengan wanita lain.
“ Kita pulang sekarang ! “ bentakku spontan dan berdiiri mengambil tas sandangku dan berjalan cepat kearah pintu keluar.
Dinda dan Radit keheranan dan mengejarku yang sudah didalam mobil.
Mereka merasakan amarahku yang meluap-luap. Mereka tidak bertanya. Kami semua diam dan membiarkan ku dengan pikiranku yang kacau. Didalam hatiku berkecamuk emosi kepada Papa dan iba kepada Mama.  Airmataku menetes dipipiku. Dinda menyapunya dengan tisu dan mengelus pundakku. Aku menumpahkan tangisku di dadanya . Radit juga merasakan kepedihanku. Aku berteriak-teriak didalam mobil yang terus melaju untuk melampiaskan kekesalanku.
Aku pulang


“Tiara! hari ini waktunya buat cek kedokter sayang. Cepat siap-siap.” Teriakan Mama dari balik pintu kamarku.
Hari ini memang sudah jadwalku buat cek kondisi penyakitku dirumah sakit. Padahal, aku sudah tahu semuanya. Aku tahu kalau penyakitku memang tidak akan bisa disembuhkan lagi. Sebenarnya aku iba melihat Mama yang selalu mempertahankanku. Aku sangat merasakan kasih sayang Mama yang begitu penuh pengorbanan demi aku. Itulah yang terus membuatku bertahan hingga detik ini. Tak terasa air mataku sudah berada diujung pelipis mataku. Segera ku sapu dengan tissue di meja belajar. Akupun keluar kamar dan melihat Mama sudah siap dengan dandanannya dan menungguku disofa ruang tamu.Tidak lupa aku membawa Dolly di tas sandang ku.
“ Ayo sayang…”, Mama mengajakku dengan lembut. Dia memegang tanganku dengan hangat.
Aku hanya mengangguk pelan. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Sesampainya dirumah sakit, Mama langsung menuju keruangan dokter pribadiku. Dia mengetuk pintu dan terdengar suara yang mempersilahkan kami masuk. Pintu dibuka oleh Mama. Ruangan serba putih yang elegan. Serta pakaian dokter dengan jas putih beserta dua orang perawat yang keluar saat kami masuk. Dokter itu bernama Dr. Ricky. Dia masih kelihatan muda meskipun sudah Dua tahun menikah. Kacamata bulat yang khas membuat wajahnya yang bersih dan tampan itu semakin mencolok dengan pesona seorang Dokter. Dia mempersilahkan kami duduk.
“ Selamat siang Bu Widyo dan selamat siang Tiara.” Salam Dr. Ricky yang lembut dan akrab.
“ Selamat siang dok. Saya ingin ngecek keadaan putri saya seperti biasanya. Hari ini merupakan jadwalnya kan ?” jawab Mama dengan lembut pula.
“ Iya benar. Silahkan Bu Widyo tunggu di lobby ya. Saya ingin memeriksa keadaan Tiara.” Ujar Dr. Ricky.
Mama melaksanakan instruksi dari Dr. Ricky dan keluar ruangan membiarkan aku berdua bersama Dr. Ricky yang mengantar Mama keluar ruangan. Setelah Mama keluar Dia mengunci pintunya.
“ Dek Tiara silahkan tiduran dulu disitu ya. Jangan lupa pakaian atasnya dibuka.” Dr.Ricky menginstruksikan ku untuk tiduran di ranjang pemeriksaan. Ada hal yang aneh saat aku melihat tatapan Dr.Ricky tadi. Tapi, aku tetap harus melakukan instruksi darinya. Setelah kubuka pakaianku, ku baringkan tubuhku diranjang pemeriksaan. Lalu, tirai ranjang pun terbuka. Kulihat Dr. Ricky sedang mempersiapkan suntikan buat ku dengan Stethoscope, alat pendeteksi detak jantung di lehernya. Dia tersenyum melihatku. Lalu, dia menyuntikan suntikan itu di tangan kanan ku. Kemudian, dia menggunakan Sthetoscope untuk memeriksa detak jantungku. Dia mulai meletakkan benda yang dingin itu di dadaku. Lalu, tiba-tiba dia meletakkan jemarinya di sekitar payudara ku. Aku merasa sedikit aneh. Dr.Ricky hanya tersenyum. Dia mulai memain-mainkan jemarinya disekitar puting payudaraku menuju daerah sensitifku.
“ Uhmmm… Dok, apa ini termasuk bagian pemeriksaan ?” tanyaku dengan sedikit tidak nyaman.
“ Oh tentu.. ini dinamakan terapi fisiologi.” Jawabnya dengan nada sedikit aneh dan senyumannya yang berbeda dengan senyumannya saat bertemu dengan Mama. Dia menyuruh ku untuk menutup mataku dengan mengisyaratkannya. Aku menutup mataku meskipun aku merasa ada yang aneh. Lalu, kurasakan kedua tangannya meremas kedua payudaraku. Aku hanya diam sambil sedikit meredam emosi. Kugigit bibir bawahku menahan rangsangan dari sentuhan- sentuhan Dr. Ricky yang sebenarnya membuatku gelisah dan tidak nyaman. Remasannya semakin halus dan saat ku buka mataku perlahan, kulihat bibirnya sudah hampir menyentuh bibirku.
PLAAKKK !!!!.
Aku pun teriak dengan lantang dan menampar Dr. Ricky. Dia terlihat berang dengan tamparanku yang cukup keras. Rambutnya yang semula rapi menjadi simpang siur didepan kacamatanya. Dia malah semakin menguatkan pegangannya dengan tanganku bahkan sampai membuat tanganku menjadi sakit. Aku tidak berdaya. Aku berteriak minta tolong namun sepertinya ruangan ini kedap suara. Sehingga suaraku tidak bisa didengar oleh orang luar. Dr. Ricky hanya tertawa dan langsung mencium dan melumat bibirku dengan cepat. Mulutku terbungkam oleh bibirnya, sedangkan tangan ku masih dikunci kuat dan kasar olehnya. Dr. Ricky semakin membabibuta terhadapku. Aku yang tidak bisa berbuat apa-apa hanya dapat merasakan sakit dari perlakuan Dr.Ricky. lalu, dengan refleks ku ayunkan kakiku ke tubuh Dr. Ricky dengan kuat sehingga membuatnya terpental mundur dan menabrak meja yang terdapat banyak pajangan di atasnya. Semuanya berhamburan kebawah. Ada sebagian pajangan yang pecah karena terbuat dari bahan kaca. Dengan cepat aku merapikan pakaianku dan berteriak minta tolong. Tapi, Dr. Ricky sama sekali tidak memperdulikan teriakan ku. Dia malah tertawa lebih keras.
“ Dasar perempuan sok jual mahal ! sudah mau mati, masih saja merepotkan. Eh ! aku hanya ingin memberikan kamu kenikmatan sebelum kamu mati. Kamu gak akan pernah merasakannya. Jadi, aku mau kamu mati dengan tenang ! tapi, malah sok jual mahal !! “ Dr. Ricky menghardikku dengan keras. Kewibawaan seorang dokter sudah tidak terlihat lagi di raut wajahnya yang beringas. Aku hanya menangis.
“ Aku akan aduin ke Mama tentang perlakuan Dokter !! “ jawabku dengan lantang sambil meringis kesakitan.
“ HAHA ! kamu mau aduin aku ? gimana caranya ! Aku sudah menyuntikan kamu dengan cairan Amnesia. Kamu akan melupakannya sebentar lagi “ kata Dr. Ricky dengan senyuman kemenangan.
Aku hanya menangis dan berlari menuju pintu dan  membukanya dengan cepat. Setelah pintu terbuka, aku langsung berlari keluar sambil memanggil Mama. Lalu, hanya beberapa langkah kakiku, tiba-tiba mataku berkunang-kunang, dan semuanya menjadi gelap.
BRUUUKKK !!!
Tubuhku ambruk tidak sadarkan diri.


Mataku merasakan ada cahaya yang terang menyilaukan. Ku buka mataku dan melihat sekitar. Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar sehingga membangunkanku. Aku masih merasakan pusing dikepalaku. Lalu, pintu kamarku terbuka. Kulihat Mama membawakanku sarapan dan segelas susu.
“ Ma… apa yang terjadi sama aku ? kenapa aku gak ingat apa-apa ?”, ujarku dengan masih memijat-mijat kepalaku yang berdenyut-denyut.
“ Kamu pingsan Tiara. Kemarin, saat ingin diperiksa oleh Dr. Ricky kamu lari keluar dan terpeleset. Kata DR. Ricky, kamu ketakutan melihat jarum suntik. Tapi, ya sudah lah. Kamu istirahat aja ya “ Mama mengecup kening ku dan keluar kamar.
Aku yang sudah tidak megingat apa-apa lagi, hanya merasa heran dan bingung. Aku pun membaringkan tubuhku di ranjang. Menutup kembali mataku. Gelap.
“Tiara…”
“ Bangun…”
“Aku kesepian disini…”,
tiba-tiba aku mendengar bisikan itu lagi. Yang membangunkanku dari tidurku. Kubuka mataku dan kulihat Dolly tergeletak di meja belajarku. Ku raih tangannya dengan susah payah. Lalu kudekap dia didadaku.
“ Maaf ya Dolly… aku tidur terlalu lama ya ?” aku berbicara sendiri.
Namun, selalu ada balasan dari setiap kata yang ku ucapkan. Tidak kudengarkan dari telingaku. Tapi, kudengarkan dipikiranku. Dolly seakan berbicara dipikiranku.
“ Apa kamu benar-benar lupa kejadian kemarin kenapa sampai kamu pingsan Tiara ?”,
Bisikkan dalam pikiranku.
“ Iya.. aku benar-benar lupa. Kata Mama, aku terpeleset saat akan diperiksa”, jawabku dengan wajah luguku.
“ Tiara…Tiara… “
“Kamu sudah dibohongi sama Dr. Ricky.”
“ Kamu tidak pingsan karena terpeleset. “
“Melainkan Karena cairan dari suntikan Dokter cabul itu “,
Bisikkan itu kudengar jelas dipikiranku. Tiba-tiba aku teringat kejadian saat Dr. Ricky ingin memperkosa ku. Ingatan ku sudah kembali. Wajah ku berubah ekspresi. Ekspresi kesal dan amarah yang lansung menguasaiku.
“ Siaalll !!!! Dokter biadabbb !!!! “, aku menangis.
“ Kamu tidak perlu menangis Tiara. Kan ada aku”
“. Kita akan membalasnya”,
  Bisikan itu membuat airmataku berhenti mengalir. Hawa panas memuncak di tubuhku. Kurasakan amarah yang luar biasa menjalar di setiap tubuhku.
“ YA ! kita akan membalasnya ! “, jawabku dengan lantang.
“ Yaa… kita akan membalasnya”.  
Aku tersenyum. Tersenyum yang bukan senyumanku. Senyuman yang menyeringai lebar.
























PART #7 : R E V E N G E

Keesokan harinya, aku bersekolah seperti biasa. Aku tidak membicarakan tentang kejadian yang memuakkan kemarin. aku juga tidak melupakannya. Tidak akan pernah bisa kulupakan. Gerbang sekolah sudah ku lewati. Aku melihat sekitar, tidak kutemui Radit yang biasanya selalu menemani pagiku. Tapi, aku tetap tersenyum. Dengan langkah pasti aku menuju kelasku. Lalu, aku mendengar suara orang yang sedang berbicara. Suara yang aku kenali. Suara Dinda. Aku menoleh mencari dari mana asal suara iu. Kudengar disamping dinding lorong kelas adalah sumber suara itu. Ku melangkah kesana menyimpang dari rute arah menuju kelasku. Aku mendekati dan sedikit bersembunyi-sembunyi. Suara itu semakin jelas kudengar.
“ Ya, ini pasti Dinda..”
Aku bergumam kecil dengan yakin. Langkahku semakin dekat dengan sumber suara itu. Kudengar suara itu menyebut namaku. Ku intip dengan sebelah mata. Kulihat lorong tanah itu dan kudapatkan dua orang sosok yang ku kenal. Dinda dan Radit.
“ Apa yang mereka bicarakan ? Kenapa mesti sembunyi disini sih ?” aku menggerutu didalam hati. Kudengarkan dengan seksama apa yang sebenarnya mereka bicarakan sampai-sampai menyebut namaku.
“ Aku tidak sanggup gini terus Din… aku tidak sanggup terus berbohong” kata Radit dengan suara sedikit meninggi.
“ Aduhh Radit. Sudah berapa kali aku harus menjelaskannya kepadamu. Aku mohon. Lakukanlah demi aku “ jawab Dinda dengan suara memelas.
“ Aku tidak bisa Dinda. Aku tidak bisa berpura-pura harus suka dengan Tiara. Yang aku suka itu kamu ! “ balas Radit semakin mendesak DInda.
“ Radit, aku mohon… Tiara itu cinta sama kamu. Aku tidak ingin meyakiti hatinya. Waktunya Cuma sebentar. Beri dia kebahagiaan dalam detik-detik terakhir dihidupnya” Dinda terlihat menangis. Suaranya bergetar dan berat.
Radit terlihat lemas. Hatinya renyuh melihat Dinda menangis sedih. Lalu, dia memeluknya.
“ Aku Cuma sayang sama kamu Dinda, aku lakuin ini karena aku sayang sama kamu.” Jawab Radit dengan suaranya yang sedih.
Tangisan Dinda semakin tumpah didada Radit. Mereka saling berpelukan. Sangat mengharukan. Suasana yang sangat menyedihkan. Namun, bagaimana dengan ku ?
Air mataku tetumpah, seperti melelehkan bola mataku. Hatiku retak dan hancur berkeping-keping melihat kenyataan ini. Hati ku sakit. Aku tidak sanggup melihatnya. Aku benar-benar sakit hati. Aku tidak percaya kedua sahabat yang selama ini ku sayangi. Berteman denganku karena hanya iba dengan ku yang sebentar lagi mau mati. Aku benci mereka !
Aku berlari kencang keluar gerbang. Kutinggalkan mereka disana. Aku tidak ingin melihat mereka lagi. Aku mengurungkan niatku untuk bersekolah. Aku langsung memberhentikan taksi dan berlalu pulang. Air mataku tidak henti-hentinya keluar sepanjang jalan. Hatiku seperti ditusuk oleh ribuan belati yang tajam dan beracun. Aku menangis terisak-isak bahkan membuat nafas ku sesak. Aku terbatuk – batuk . dan saat kulihat telapak tangan ku berdarah. Bibir dan hidungku berdarah. Penyakitku mulai kambuh. Sesak nafas ku semakin menjadi-jadi. aku menyuruh supir taksi untuk melaju lebih cepat. Supir taksi juga terlihat panik.
Sesampainya dirumah, aku sudah menyapu bersih darahku dengan tissue. Aku masuk kerumah dengan lemas. Aku menuju kamar dan mengunci. Kurasakan hari-hariku yang rapuh. Seakan sudah tidak berguna lagi. Aku masih menangis dibalik bantal guling yang sudah basah karena air mataku yang masih mengalir tanpa henti.
“ Benarkan Tiara…”
“ Mereka semua jahat !.”
“ Tidak ada yang berarti buatmu…”
“ Hanya aku, Hanya aku yang kamu butuhkan…”
“ Kamu membutuhkanku…”
Bisikan itu datang ditengah-tengah kejiwaanku yang sedang labil. Sehingga aku masuk dalam setiap kata-kata yang kudengar dalam bisikan di pikiranku ini.
“ Kamu benar ! Aku tidak akan mempercayai siapapun lagi. Hanya kamu yang ngerti aku. Aku tidak membutuhkan orang lain. Hanya kamu yang aku butuhkan”
Aku berkata tegas. Kulihat Dolly tergeletak disampingku. Mata dan senyumannya menyejukkanku. Membuat ku berhenti menangis. Tapi, membuatku memulai  untuk memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi hasratku karena jiwaku yang sudah sobek dan berdarah ini.
“ Yaa…”
“ Kamu bisa membalaskan dendam mu kepada semua orang yang sudah menyakiti mu.”
“ Aku akan membantumu.”
“ Aku akan selalu ada disampingmu…”
Bisikan itu terdengar menjanjikan dengan kata-kata manisnya. Aku mempercayai kata-kata itu. Aku akan memulainya. Aku tersenyum kembali.


Tidak lama kemudian, aku mendengar ada suara keributan diluar kamarku. Suara Mama dan Papa. Kelihatannya mereka sedang bertengkar hebat. Aku merasa kesal dan muak dengan semuanya. Aku keluar kamar dengan tegap dan berani. Ku hampiri sepasang suami istri yang selalu bertengkar ini dengan wajah yang menyeramkan.
“ PAPA JAHAT ! Papa sudah tidak seperti dulu lagi. ! “ kata Mama dengan lantang dengan suara terisak-isak.
“ ALAAHH ! Kamu istri tidak tahu diuntung. Sudah aku nafkahi dengan suah payah. Ini cara kamu berterima kasih ha ? ! “ jawab Papa dengan suara yang kasar.
Aku sudah cukup mendengar semuanya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk tidak membungkam mulutku lagi. Aku keluar kamar dan membuka pintu dengan kasar sehingga menarik perhatian mereka. Mereka sontak terdiam dan memandangiku yang berjalan cepat ke arah mereka.
“ Sudah ! Hentikan ! kalian selalu seperti ini ! aku sakit mendengarnya. Kenapa kalian tidak bisa akur sebentar saja. ! “ kataku lantang. Suaraku membuat hening suasana.
“ Kamu lagi, ikut-ikutan bicara ! kamu itu sama saja dengan Mamamu ini. Selalu merepotkan. Apa lagi ditambah dengan penyakitmu yang tidak akan bisa sembuh ini ! hidup kamu itu Cuma menyusahkan saja ! “ kata Papa dengan tajam dan menusuk.
Hatiku hancur dua kali. Setelah dengan susah payah ku kumpulkan serpihan hati yang telah terpecah belah barusan. Sekarang sudah pecah lagi dan tidak mungkin bisa disatukan kembali. Air mataku keluar lagi. Kali ini lebih deras.
“ PAPA ! HENTIKAN ! “ balas Mama yang semakin kalut melihatku menangis tak berdaya.
“ DASAR KALIAN ORANG-ORANG YANG MENYUSAHKAN !  aku menyesal telah berhubungan dengan orang-orang seperti kalian. ! “ tambah Papa dengan wajah tanpa rasa sesal.
Tangisanku semakin menjadi-jadi. kali ini sesak nafasku juga kambuh. Aku terbatuk dengan keras sehingga memuncratkan darah kelantai. Hidung dan telingaku mengalirkan darah merah yang segar. Kepalaku pusing. Dadaku sesak sampai membuat Nafas ku terseok-seok sehingga mengeluarkan suara yan memedihkan. Pandanganku kabur . aku tidak bisa bernafas.
BRUUUKKK !!!  tubuhku terjatuh kelantai. Aku tidak sadarkan diri.
Masih terdengar suara Mama yang meneriakkan namaku dengan lengkingan tangisan yang menggetarkan. Dan semakin lama, suaranya semakin jauh dan semakin jauh. Hingga aku tidak mendengarkan apa-apa lagi. Gelap.


“ DOKTER ! Tolong anak saya dok. Tolong !! “
Mama berlari sambil mengendong tubuhku yang tidak sadarkan diri. Suster-suster dari meja resepsionis  sebuah Rumah Sakit berhamburan kearah Mama yang susah payah mengangkat tubuhku yang berat. Mama yang sudah tidak berdaya tetap saja memaksakan tangannya untuk tetap membopongku. Tubuhku langsung diletakkan diatas ranjang rawat yang beroda. Ranjang itu didorong dengan tergesa-gesa oleh suster dan Mama. Sebuah alat pernafasan dilekatkan dihidung dan dimulutku. Aliran infuse mulai menetes. Suasana lorong rumah sakit yang semula tenang berubah gaduh karena suara memelas Mama yang terus memanggil namaku. Namun tetap saja, mataku masih tertutup.
Ranjang beroda itu akhirnya terhenti didepan sebuah ruang rawat bertulisan ‘ EMERGENCY’. Suster menginstruksikan Mama buat tenang dan menunggu diluar ruangan. Mama kelihatan tidak puas dan terus menangis. Dia menyalahkan dirinya yang beranggapan semua ini adalah kesalahannya. Dia terduduk gelisah dikursi tunggu sambil terus berkomat-kamit berdoa kepada Tuhan demi kesembuhanku. Matanya yang penuh harap masih saja tidak kering. Dia menangis sejadi-jadinya.
Tiga orang suster dan satu orang dokter terlihat sangat sibuk mempersiapkan alat-alat untuk menyelamatkanku. Tubuhku mulai kejang-kejang dan bergetar. Salah seorang suster mengecek keadaanku.
“ Dia tidak bernafas ! “ ujar salah seorang suster yang meletakkan salah satu jarinya dilubang hidungku dan tidak merasakan adanya hembusan nafas yang menandakan kehidupan.
Seorang dokter meletakkan kedua tangannya diatas dadaku dan menghentakkan sekuat tenaganya. Namun, tidak terlihat adanya tanda-tanda perubahan kondisi pada tubuhku yang tidak juga terbangun. Akhirnya dia menyalakan sebuah alat berkapasitas listrik tinggi dan menyentuhkannya ke dadaku. Tubuhku seketika terlonjak dengan keras. Namun, masih saja tanda-tanda kehidupan tidak berpihak padaku. Dokter itu tidak menyerah. Dia menarik tuas bertulisan ‘VOLT’ keatas yang berarti menambahkan kapasitas tenaga listrik yang sangat besar. Keringatnya bercucuran dengan deras. Membuat suasana ruangan itu menjadi tegang. Dia kembali meletakkan alat yang bergetar itu ke dadaku dengan berhati-hati. Saat alat itu menyentuh tubuhku, seketika tubuhku terangkat keatas lebih tinggi dari lonjakan sebelumnya sehingga membuat kaget suster-suster yang berada disamping tubuhku yang lemah. Akhirnya, detak jantungku berfungsi kembali. Terlihat dari monitor yang memberikan skala-skala getaran detak jantung yang dihubungkan ketubuhku. Namun, detak jantung itu sangat lemah. Aku masih hidup.
Sejak saat itu, aku dinyatakan koma dan tidak terbangun selama tiga hari. Peralatan-peralatan medis yang besar berada disekelilingku. Dan mengkoneksikannya dengan puluhan kabel yang ditempelkan pada kulit tubuhku. Mataku masih tertutup rapat. Tubuhku memang sedang tidak sadarkan diri. Namun, dipikiranku aku telah terjaga. Aku sedang berjalan kaki disebuah tempat yang sangat gelap bahkan, aku tidak bisa melihat tanganku sendiri. Kakiku masih kulangkahkan maju. Entah sampai kapan aku harus berjalan tanpa tujuan karena didepanku memang tidak terlihat sebuah tujuan.

“ Dimana Aku ? “
Aku bertanya pada kehampaan. Suaraku bergema keras bahkan sampai tercipta dengungan yang bergerak menjauh. Aku tidak mendengar adanya jawaban dari pertanyaanku tadi. Aku masih menunggu dengan wajah heran.
“ Kamu sedang berada dalam pikiranmu sendiri Tiara…”
 Kudengar suara bisikan itu yang kali ini juga berdengung di sekitarku.
“ Apa maksudmu ? “ tanyaku.
“ Coba kamu lihat sekelilingmu…
Aku menoleh kesana kemari. Mendelikan mataku yang nanar. Gelap.
Kamu tidak bisa melihat apapun bukan ?...
“ ini adalah piikiranmu. “
“Pikiranmu adalah kekosongan dan kesunyian.”
“ Hidupmu sudah tidak berarti apa-apa lagi.”
“ Kamu itu sudah mati”
Bisikan itu terdengar jelas ditelingaku. Ini bukan mimpi.
“ Aku berada dalam pikiranku ? . pikiranku adalah kosong. Dan aku sudah mati ? “
“ Benar…”
“Dan kamu tahu. “
“Apa yang harus kamu lakukan agar kekosongan ini akan menjadi berarti ? “
“ Apa ? “ jawabku.
“ Kamu tidak boleh membiarkan dirimu tertindas lagi…”
“Kamu harus bangkit dari keterpurukanmu yang sudah kamu rasakan selama hidupmu…”
Bisikan itu semakin menguatkan hatiku. Kini, aku semakin tertarik kedalam hasutan bisikan itu.
“ Bagaimana caranya ? “ jawabku dengan nada yakin.
“ Kamu harus tetap hidup. “
“ Aku akan memberikan mu kehidupan lagi dan demi semua itu, kamu harus mengorbankan nyawa orang lain “
Aku mendengarkan.
“ Kamu harus membunuh…”
Aku terperanjat. Seluruh tubuhku merasa dingin.
“ Aku adalah temanmu … Aku akan selalu ada disampingmu Tiara… Kamu tenang saja”
Aku merasa ada suatu kekuatan yang masuk kedalam ku. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan. Tapi, aku meyakininya.
Aku tersenyum.

Mataku terbuka dengan cepat. Pandanganku sinis dan kosong. Aku berdiri dari ranjang. Dengan kasar kucabut semua selang-selang medis yang menusuk kulitku. Bahkan sebagian alat berat itu menjadi error akibat tarikan dari tangan kasarku. Wajahku berubah menjadi garang. Rambutku yang berantakan membuat perawakanku semakin menyeramkan. Ku ambil sebuah pisau bedah yang berada dihadapanku. Kupegang dengan erat sampai membuat tanganku bergetar. Pantulan cahaya lampu diujung pisau menandakan betapa tajamnya pisau itu. Aku keluar dari ruangan itu. Membuka dengan pelan pintu yang tidak terkuci.  Dan berjalan lambat dilorong Rumah Sakit.
“ Aku akan mencabut nyawamu…”
Suara serak dan berat keluar dari mulutku. Aku tersenyum menyeringai.


Di sebuah ruangan masih terdengar suara ketikan keypad computer yang berbunyi khas yang menandakan Seseorang masih terjaga didalamnya. Ruangan itu terletak diujung sebuah lorong Rumah Sakit, Rumah Sakit yang sama tempat dirawatnya Tiara. Ruangan itu memiliki warna pintu yang berbeda dengan pintu lain. Pintu lain berwarna putih lusuh dan terdapat kaca persegi panjang dibagian atas yang menandakan sebuah ruang rawat buat pasien. Sedangkan pada pintu ruangan ini berwarna pernis kayu yang mencolok. Di pintu itu tertempel sebuah nama. “ Dr. Ricky Alveines “.
Berkali – kali Dr. Ricky menguap dalam satu menit. Dia terlihat sangat lelah dan menebarkan ekspresi kantuk yang amat kuat. Lenturan matanya sudah berkerut hingga 7 lipatan yang berwarna agak gelap. Ganggang kacamatanya yang bulat sudah turun hingga setengah batang hidungnya. Matanya terlihat layu dan hanya bertenaga 5 Watt saja. Tapi jari-jari tangannya yang telaten masih saja menekan-nekan keyboard komputer dengan cepat. Jam sudah menunjukkan jam 02.05 Dini hari. Dia hampir menyelesaikan data-data pasien bulanan yang akan diserahkan kepada kepala Rumah Sakit besok pagi. Dia sedang mengejar waktu yang selama ini dia sia-siakan. Hawa malam di rumah sakit semakin dingin seiring berjalannya waktu. Seketika bulu kuduknya berdiri. Dia menggeliat dengan cepat. Dia menatap ke arah AC. Diambilnya sebuah remote kecil di rak samping meja kerjanya. Dia arahkan ke mesin AC itu dan menekan tombol untuk menurunkan suhu yang akan di Conditioning oleh AC. Dia sedikit tenang. Dia kembali memfokuskan perhatiannya pada monitor kumputer yang memberikan pantulan cahaya ke wajahnya yang lusuh. Jari tangannya kembali bekerja.
Silang 15 menit mengerjakan tugas itu. Perhatiannya terusik oleh suara yang aneh. Sebuah suara gesekan antara besi dan dinding yang terdengar amat memilukan. Suara itu semakin mendekat dengan gema yang melayang-layang di sepanjang lorong Rumah Sakit itu. Dr. Ricky menyadari bahwa ada orang lain yang sedang terjaga di Rumah Sakit itu selain dia. Merasa penasaran, akhirnya dia mencoba keluar ruangan dan menunda pekerjaannya itu. Dia berderap kearah pintu dan menyentuh ganggang pintu kemudian memutarnya. Pintu terbuka menimbulkan bunyi kerekan dilantai. Dia mulain mengedarkan pandangannya keluar ruangan. Dia melihat langang sepanjang lantai. Suara itu sudah tidak terdengar lagi. Seketika suasana menjadi hening. Dr. Ricky mengernyitkan keningnya dan menaikkan kembali kacamatanya ke posisi normal. Dia berpikir untuk menemukan sumber bunyi yang telah mengusik perhatiannya. Dia mulai melangkah maju dengan langkah bimbang. Dia tetap mengawasi setiap gerakan di sepanjang lorong itu. Tetap saja tidak terlihat sebuah tanda-tanda kehidupan. Dia terus melangkah untuk memuaskan rasa penasarannya itu. Tinggal beberapa langkah lagi maka lorong itu sudah habis dia telusuri. Dihadapannya terdapat tiga jalan yang menghubungkan ke tiga lorong lain. Dia bergerak ke jalan kiri dan mulai menelusuri lorong berikutnya. Dia berjalan agak cepat menuju meja resepsionis. Biasanya selalu ada seorang perawat yang tengah berjaga dan bekerja pada sif malam. Dia sudah melihat meja resepsionis didepannya. Nyala lampu yang terang sangat menjelikan pandangan. Meja yang cukup besar dan setinggi dada dengan warna pernis kayu yang khas sudah berada di depannya. Meja itu terletak dipersimpangan antara lorong satu dan yang lainnya. Dia tidak melihat ada perawat yang seharusnya selalu berada di meja itu untuk selalu siap saat dibutuhkan.  Dia mulai menanarkan pandangannya kelorong lain. Focus matanya sudah mencapai maksimum dengan menyipitkan matanya yang hitam itu karena lorong lain terlihat sangat gelap dengan penerangan seadanya. Dia menekan sebuah bel pemanggil kecil yang berada diatas meja resepsionis dengan bunyi lonceng yang lengking. Tetap saja tidak terdengar adanya jawaban dari bunyi bel itu. Dia menjingkitkan sepatunya untuk mendapat penglihatan lebih tinggi untuk melihat kedalam ruangan resepsionis. Sebuah ganggang telepon yang menyala tergantung-gantung di meja bawah serta kertas-kertas yang berserakan tidak beraturan. Dia mulai menangkap suatu yang tidak beres telah terjadi. Dia memberanikan diri untuk masuk kedalam ruangan resepsionis itu. Dia mendekati sebuah pintu kecil yang menghubungkan meja besar itu ke tempat kerja para perawat yang terbuat dari kaca. Langkah pertamanya dengan sepatu hitam sedikit membuatnya gentar. Lalu tiba-tiba dia menjadi shock setengah mati melihat cairan merah merembes kesepatunya. Didepannya terlihat dua orang perawat yang sudah terbujur kaku dengan mata yang masih berdelik kosong. Baju putih mereka sebagian terkena darahnya sendiri yang masih mengucur. Keadaan mereka sangat menggenaskan. Satu dalam keadaan terlentang diatas meja dengan perut yang sobek dan berdarah kental kehitaman. Sedangkan yang lainnya tergeletak di lantai dengan luka gorokan besar di lehernya yang hampir putus yang menggumpal-gumpalkan daging berwarna kehitaman dengan Rambut terurai dan dibasahi oleh darah yang menggenang dilantai. Dr. Ricky  menjadi panik dan bergerak keluar dengan cepat. Kakinya tersangkut di meja dan dia pun tersungkur ke lantai. Dia bangun dan berlari liar ke lorong dengan sepatunya yang masih berlumuran darah sehingga menyisakan warna darah di setiap langkahnya. Dia merogoh saku jas putihnya dengan panic. Berharap menemukan kunci mobilnya. Namun, sepertinya dia meninggalkannya di ruangan kerjanya. Dr. Ricky berlari kencang sepanjang lorong menuju ruangannya. Kali ini dia tidak perlu berpikir lagi buat menentukan lorong mana yang mengarahkan ke ruangannya. Sesampainya di lorong tempat ruangannya itu. Dia menambah kecepatannya. Lalu, dengan cepat dia menarik kasar pintu ruangannya itu. Namun, pintunya terkunci. Dia terus berusaha membuka pintu itu. Dia tarik, dorong bahkan ditendang dengan keras. Namun, pintu itu masih terkunci. Dia putus harapan. Keringat dingin mengucur deras di wajahnya hingga tubuhnya. Keringat itu menembus baju bahkan jas putihnya. Lalu, tiba-tiba dia terdiam. Dia memusatkan perhatiannya pada pendengarannya. Dia mendengar bunyi yang pernah dia dengar sebelumnya. Bunyi gesekan antara besi dan dinding yang bunyinya masih saja memilukan bahkan sangat mengiris. Dia tajamkan penglihatannya diujung lorong yang sedikit gelap. Dia melihat sebuah pisau yang di iriskan pada dinding tembok sehingga menimbulkan bekas goiresan yang mengerikan. Pisau yang masih berlumuran darah disekitar nya.  Pisau itu dipegang oleh seorang perempuan. Seorang perempuan yang mengenakan pakaian pasien tanpa beralaskan kaki apapun. Dr. Ricky terkejut dan mulai panik lagi. Dia mendobrak-dobrak pintu dengan gerakan ketakutan. Dia mencoba melarikan diri. Namun, dia sedang berada di depan ruangannya sendiri yang terletak diujung lorong. Sebuah jalan buntu dan berujungkan ruangannya sendiri. Keringatnya semakin mengucur deras dan bernafas tersengal-sengal tak beraturan saat melihat perempuan itu mendekat. Perempuan itu menengadahkan wajahnya dengan lambat. Lalu, Dr. Ricky semakin menjadi-jadi saat melihat wajah perempuan itu.  Wajah yang dia kenal. Dia melihat wajahku.


Aku melangkah gontai mendekati lelaki yang sedang ketakutan didepan mataku. Lelaki yang kubenci. Lelaki yang pernah melukai jiwaku hingga sedalam yang bisa digali. Tangan kiri ku tergantung-gantung di sendi ku. Seperti zombie yang tidak bernyawa. Tangan kananku masih menggenggam erat pisau bedah yang cukup besar dan tajam. Pisau yang berlumuran darah dua orang perawat di meja resepsionis yang berusaha mencegah ku kabur. Aku muak melihat mereka dan segera saja aku layangkan pisau ini ke leher dan perut dua orang perawat yang menjengkelkan itu. Aku sempat tertawa puas. Pisau ini masih ku goreskan ke dinding tembok sebelah kananku. Menyisakan bekas goresan yang kecil dan dalam. Aku tersenyum menyeringai melihat lelaki di depan ku. Dr. Ricky yang dulu aku kenal sebagai dokter yang baik hati dan ramah. Namun, semua itu sudah sirna saat tragedy yang dilakukannya saat berusaha memperkosaku dan memanipulasi kejadian yang sebenarnya dengan memberikan ku bius amnesia. Sungguh bejat. Keji !
Dr. Ricky melihatku gentar. Giginya bergemeletuk satu sama lain diiringi keringat dinginnya yang mengucur deras. Dia takut melihatku. Dia takut melihat pisauku.
“ Tiara… apa yang kamu lakukan disini ?. Mau apa kamu ?”
Dr. Ricky sangat gelisah saat langkahku mulai dekat dengannya.
Aku masih diam sambil tersenyum. Senyuman yang bukan dari bibirku. Senyuman dari rasa marahku.
Dr. Ricky semakin tak karuan. Rasa takutnya sudah mencapai ubun-ubun kepalanya. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh ku.
“TIARA ! kamu jangan main-main dengan saya ya! . buang pisau itu ! jangan berpikiran bodoh ! “
Dr. Ricky berteriak mengancam dengan lantang sehingga membuat bayangan suaranya yang terus memantul di dinding hingga ujung lorrong. Namun, aku masih bisa mendengar rasa takutnya dibalik suaranya yang menantang.
Aku masih tersenyum. Goresan didinding semakin ku pertajam. Menciptakan suara lengking miris yang memekakkan telinga. Kulihat Dr. Ricky menutup telinganya dengan keras menggunakan kedua tangannya.
“ Dok..  aku sedang horny  nih … mau gak temenin aku bercinta ? “
Suaraku yang menggoda keluar begitu saja dari bibirku.. ku julur kan lidahku ke setiap bagian bibirku yang kemerahan sehingga terlihat binal.
“ ayo dok.. aku sudah gak tahan lagi nih ! “
Suaraku mengeras dan tertekan mengancam.
Dr. Ricky semakin cemas. Dia terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi.
“ TIARA ! kamu sudah GILA ! pergi kamu !!! “
Dr. Ricky berteriak keras. Mengancamku dengan kata-kata yang kasar. Namun, tidak menggoyahkan ku. Malah, aku semakin bernafsu untuk MEMBUNUHNYA. Ku bayangkan pisau itu akan menancap di antara matanya dan menembus otaknya. Sungguh manis.
Langkahku semakin dekat dengan posisi Dr. Ricky yang terlihat membeku oleh keringat dinginnya. Dia sangat ketakutan. Aku menikmati setiap detik aku melihat wajah yang ketakutan itu. Wajah yang memuakkan. Namun, wajah itu sebentar lagi akan tergores oleh pisau dan tanganku. Aku sudah tidak sabar lagi.
Satu langkah lagi aku menyentuh tubuhnya. Ku dekatkan wajah ku ke wajahnya. Dr. Ricky terlihat pasrah. Tubuhnya yang kelihatan kuat itu sudah kulunakkan. Lembek !.
“ INGATKAH KAMU SAAT KAMU INGIN MELUKAIKU HA !!!. INIKAH WAJAH YANG PERNAH KAMU PERLIHATKAN SAAT KAMU BERUSAHA MENODAIKU !!
Aku berteriak keras tepat didepan matanya. Dia menutup mata sambil bergeletak ketakutan. Aku sudutkan pisau itu didepan matanya. Dia semakin ketakutan.
“ Tiara… aku minta maaf … aku mohon… jangan lukai aku…”
Suaranya bergetar ketakutan yang amat sangat bergejolak didadanya.
“ LELAKI BANGSAT ! “
Aku layangkan pisau itu kemata kirinya dengan keras hingga menembus kacamatanya dan berserakan di lantai. Darah segar mengucur deras dari lubang matanya yang ditutup oleh tangannya. Sebagian darah juga muncrat ke wajahku. Dia merasa kesakitan yang maha dahsyat. Dia meringkuk kelantai sambil terus berteriak kesakitan. Darah tidak berhenti keluar sehingga membuat jas dokter yang putih itu berwarna merah kelam. Merah darah.
Dia menggeliat-geliat di lantai sambil terus menahan sakit karena bola mata kirinya sudah ku tusuk dan pecah. Dia tergeletak tak berdaya. Mata kirinya sudah tidak terlihat lagi. Hanya pelipis mata yang membengkak serta darah yang merembes melalui wajahnya. Aku tertawa senang. Aku tertawa bahagia. Aku tertawa puas.
“ RASAKAN ITU BRENGSEK !!! BAGAIMANA SAKITNYA  HA ! MAMPUS ! “
Aku mencerca menghina tubuh yang tidak berdaya itu. Aku sangat senang . aku merasa ada kekuatan yang besar didalam tubuhku. Dan  aku menyukainya. Selanjutnya, aku duduki dadanya. Dia masih mengerang kesakitan. Dia sudah tidak bertenaga.
Aku masih ingin bermain-main dengannya. Aku masih muak melihat wajahnya. Meskipun nyawa nya sudah ada di tangan kananku. Di ujung pisau ku.
“ PERGILAH KENERAKAA !!!”
Aku menggoreskan pisau itu dengan cepat ke wajahnya. Bertubi tubi hingga hidungnya yang mancung terbelah dua. Pipinya penuh dengan goresan pisau yang dalam hingga ketulang tengkoraknya. Darah semakin banyak mengucur. Darah yang cantik. Darah yang aku rindu. Dia sudah tak bergerak. Dia seperti merenggang nyawa. Dia sudah tidak sanggup merasakan kepedihan dari setiap siksaan yang ku berikan.
“ Sampai jumpa “ aku tersenyum.

Dengan kuat aku tusuk pisau itu tepat diantara kedua matanya. Seketika matanya berdelik lebar. Pisau itu menembus tulang tengkorak hingga otaknya. Darah meleleh berwarna kehitaman dan menggenangi sekitar tubuhnya. Pisau tertajak kuat di kepalanya. Dia sudah mati.
Aku tersenyum lebar sekali. Aku berdiri sambil tertawa puas. Baju pasien yang kukenakan sudah penuh dengan darah. Aku berjalan gontai sambil terus tertawa. Aku terus tertawa tanpa berhenti.

“ Bagaimana Tiara…
“Sangat menyenangkan bukan… “


























PART #8 : RUSH KILLING

Matahari sudah timbul di ufuk barat. Sinarnya menembus kabut tebal di jalan yang dipagari pepohonan. Nuansa dingin seketika menggigit kulit. Sebuah mobil berwarna hitam melaju kencang di jalanan lengang yang sepi. Jam menunjukkan pukul 05.45 pagi hari. Sangat sedikit orang yang memulai harinya di jalanan. Hanya beberapa petugas kebersihan yang tampak sedang menyapu sampah dengan semangat.
Suasana didalam mobil itu sangat hening. Pengemudi dan penumpang menjahit mulutnya sendiri. Mengunci kata-kata. Tatapan kosong kedepan jalan. Sedangkan pikirannya melanglang buana terasa begitu membebani. Pengemudi mobil menggerakkan tangannya kearah radio mobil. Dia menyetel frekwensi radio yang tepat dan sesuai. Hampir tiga stasiun radio sudah dilewatkannya. Sepertinya tidak ada lagu yang cocok untuk suasana yang dingin dan kaku saat itu. Di stasiun radio ke-empat perhatian mereka terpusatkan pada suara pembaca berita.
Dilaporkan dua orang perawat dan satu orang dokter tewas secara menggenasakan di Rumah Sakit Suaka Warjo. Juga dilaporkan salah satu pasien tidak ditemukan…
 Mereka saling memandang. Wajah terkejut yang menggambarkan kekhawatiran.
“ Radit ! kita harus cepat buruan ke rumah sakit. Perasaan aku gak enak dit. Aku takut terjadi sesuatu dengan Tiara “
Dinda memulai pembicaraan dengan ekspresi cemas. Dia mengguncang-guncang tubuh Radit. Radit menjadi sedikit risih.
“ Iya iya.. aku juga berpikiran sama. Bentar lagi juga nyampe kok “.
Radit menjawab dengan wajah kesal. Dia juga mencemaskan keadaan Tiara. Semenjak tragedy itu Tiara tidak pernah sekolah lagi bahkan dia masuk Rumah Sakit. Sebagai sahabat Tira , mereka sangat peduli dengannya. Meskipun ada rahasia yang mereka simpan dari Tiara. Antara Radit, Dinda dan Tiara. Cinta segitiga.
Radit menginjak pedal gas sampai maksimum sehinga kecepatan bertambah menembus kabut tebal di pagi hari. Mereka kembali termenung dalam pikiran mereka. Mereka mengkhawatirkan Tiara.
Sesampainya didepan Rumah Sakit. Mereka memparkirkan mobil mereka di sembarang tempat. Didepan Rumah Sakit dipadati dengan puluhan orang yang terdiri dari wartawan, juru kamera dan masyarakat sekitar yang penasaran. Segera saja mereka berlari berhamburan menuju kerumunan orang-orang itu untuk mencari tahu.
Mereka tidak bisa masuk karena jalan Rumah Sakit dipenuhi oleh orang-orang beserta pegawai Rumah Sakit. Mereka memaksa masuk dengan menerobos paksa orang-orang disekitar sehingga bisa masuk kedalam Rumah Sakit dengan izin dari penjaga dengan alasan mereka ada hubungan kekeluargaan dengan korban.
Mereka langsung berlari kencang kelorong lorong Rumah sakit. Mereka sedang mencari meja resepsionis untuk menanyakan ruang rawat Tiara untuk memastikan Tiara baik-baik saja. Sesampainya di meja resepsionis, mereka dikejutkan dengan kerumunan polisi yang sedang bekerja. Mereka mendekat. Dinda histeris melihat mayat dua orang perawat yang tewas menggenaskan. Darah yang menggenang sudah membeku menyisakan pemandangan mengerikan. Mereka langsung menanyakan kepada salah satu polisi yang sedang mondar-mandir di area TKP yang diberi batas polisi dan dikotaki oleh kapur putih.
“ dua perawat ini korbannya, satu dokter sudah dievakuasi. Serta pasien yang dinyatakan hilang itu masih belum bisa ditemukan “.
Ujar polisi itu saat mereka bertanya seputar masalah yang terjadi.
“ Kalau boleh saya tahu, nama pasien yang hilang itu siapa pak ? “ Tanya Radit yang penasaran. Perasaannya sangat tidak menentu. Feelingnya sedang buruk.
“ kalau saya tidak salah dengar, namanya Tiara Widyoningrat” jawab polisi itu sambil menyisir-nyisir kumisnya yang tebal dengan kedua jarinya.
Sontak mereka terkejut bukan main. Wajah Dinda seketika pucat dan diujung matanya sudah membendung air mata yang segar. Radit mengambil alih suasana dengan memeluk Dinda. Dinda menangis terisak-isak didada Radit. Mereka sedih.
“ kita harus mencari Tiara dit. Aku benar-benar cemas dengannya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya. “ kata Dinda sambil terus menangis.
Radit menjadi lulu melihat wajah Dinda yang menyedihkan. Dia juga mengkhawatirkan Tiara.
“ Kamu tenang ya. Kita cari sama-sama. Ok !”
Radit memberi secercah harapan kepada Dinda. Dia menghapus airmata Dinda di sekitar pipinya. Kemudian mencium keningnya. Dinda menjadi sedikit tenang. Mereka langsung bergegas keluar Rumah Sakit dan berniat untuk mencari Tiara yang tidak diketahui keberadaannya.
 “ Tiara… kamu dimana ?” Dinda masih menangis dalam hati.



Aku melangkah gontai tanpa beralaskan kaki apapun. Pakaian pasien yang berlumuran darah kering masih menempel di tubuhku. Perawakanku sangat tidak karuan. Wajahku masih terdapat noda darah yang telah membeku. Mataku kosong. Menatap jalanan. Sejak tadi malam aku berjalan tanpa tujuan keluar dari Rumah Sakit. Aspal yang dingin sangat menusuk kakiku. Namun, aku tidak memperdulikannya. Aku berjalan dan terus menjejaki jalanan kota yang masih sepi. Aku ingin pulang.
“ Tiara…”
“Ayo lekas pulang…”
“Aku merindukanmu “
Berulang-ulang kata itu terngiang-ngiang dikepalaku. Bahkan terkadang memekik dengan lengkingan yang memekakkan. Namun, aku sudah seperti mati rasa. Aku hanya mengangguk dan mempercepat langkahku. Sama sekali aku tidak merasa kelelahan semalaman berjalan kaki. Dan tidak ada satu orangpun yang memperdulikanku. Aku ingin pulang.
Aku sudah berada di kawasan perumahan tempat rumahku berdiri. Orang-orang sudah memulai hari mereka. Kudengar bising kesibukan rutinitas pagi mereka disetiap rumah yang kulewati. Mandi, sarapan, berpakaian, berangkat.
Akhirnya, aku tiba dirumahku sendiri. Rumah yang kokoh dan besar. Rumah yang menjadi awal semua hal. Aku mulai menelusuri taman rumahku yang ditanami rumput-rumput pendek dan rapi. Dinginnya menjadi dua kali lipat saat kaki telanjangku menginjak rumput-rumput basah itu. Aku ingin pulang.
Sesampainya didepan pintu besar rumahku. Aku mendorongnya sehingga pintu terbuka lebar. Pintunya tidak terkunci menandakan Papa pulang telat lagi malam tadi. Dia pasti bersama wanita-wanita lain malam tadi dan sedang tertidur pulas saat ini. Namun, aku sudah terbiasa. Aku sudah tidak memperdulikannya lagi.
Aku menderapkan kakiku menuju kamarku. Aku menghempaskan tubuhku kepintu sehingga pintu terbuka kasar. Aku sudah malas menggerakkan tanganku yang masih berlumuran darah yang kering. Aku mencari dan menatap nanar seluruh ruangan. Aku mencari Dolly-ku. Lalu, ku temukan dia tergeletak dimeja belajarku. Ku dekati dan kugendong bonekaku. Aku masih melihat senyumannya yang dingin dan matanya yang hitam gelap dan sulit menembusnya.
“ Aku senang melihatmu Tiara…”
“ Mengapa kamu lama sekali “
“Aku lelah dengan posisiku yang tergeletak tidak nyaman tadi “
“ Pinggangku serasa patah “

Bisikan itu mengomel-ngomel dipikiranku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya tersenyum. Boneka itu pun tersenyum. Walaupun, memang asalnya boneka itu selalu tersenyum. Bibirnya dijahit untuk tersenyum. Aku mengusap-usap rambut bonekaku dengan lembut. Aku seperti orang gila. Ya ! aku memang sudah gila. Aku membunuh dua orang perawat dan satu orang dokter yang aku benci. Aku pembunuh. Aku membunuh karena aku gila. Gila. Gila.
“ Tiara… “
“ Apa ? “
“ Apa yang kamu pikirkan ?”
“ Apa ? Aku tidak tahu “
“ Apa kamu lupa ?”
“ Lupa apa ? “
“ Kamu ingat kata-kata ini : Hidup kamu itu Cuma menyusahkan saja !”
Tiba-tiba kata-kata itu berubah menjadi kilas balik kejadian sebelum aku masuk rumah sakit. Kejadian saat hatiku hancur. Kejadian saat aku sudah tidak ada semangat untuk hidup lagi. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Kata-kata papa yang menyesakkan dada kembali teringat dan terus melayang-layang dikepalaku. Aku merasa sempit. Kepala ku seakan mau pecah. Sakit .
Aku tergeletak dilantai. Mataku kosong. Menatap langit-langit kamarku. Darah segar mengucur pelan dari hidungku. Pandanganku mulai kabur dan gelap. Apa aku akan mati sebentar lagi ?. biarkan saja aku mati.
“ Tiara… bangun ! “
“ kamu belum mati !.”
“ Masih banyak orang diluar sana yang lebih pantas mati “
“ Apa kamu rela melihat mereka bahagia sedangkan kamu tersiksa karena ulah mereka ? “
“ Tidak Tiara…”
“ Kamu tidak akan membiarkannya “
“ Masih banyak yang harus kamu lakukan”
“ Tiara…”
Mataku terbuka lebar dalam satu detik. Tubuhku serasa panas karena api kemarahanku yang bergejolak dan menyembur-nyembur keluar dari dadaku.  Aku usap darah dihidungku dengan cepat menggunakan punggung tanganku hingga menyisakan usapan darah dikulit pucatku. Aku berdiri tegap. Mataku sudah tidak hitam lagi. Tetapi sudah sangat hitam dan gelap bahkan cahaya lampu sorot pun tidak akan bisa menembus kegelapan yang menyeruak dan membara dari pandanganku . Aku akan mengakhiri hidupku yang lemah. Aku sudah tidak lemah lagi. Aku akan membuat mereka merasakan apa yang telah aku rasakan. Aku tidak akan membiarkan mereka hidup dan tertawa bahagia sedangkan aku tersiksa karena mereka. Sudah tidak ada lagi rasa kemanusiaan dari pikirannku. Aku seperti binatang yang kelaparan dan siap berlari mengejar mangsa ku. Aku tak peduli. Ku sibak geraian rambut panjangku yang tidak terurus alur helainya. Aku tersenyum menyeringai lagi. Aku tersenyum kembali.






















PART #9 : BEHINDER

Mobil yang dikendarai Radit dan Dinda melaju kencang dijalanan kota. Mereka panik. Mereka tidak tahu harus bagaimana. Mereka cemas dengan Tiara. Hati mereka tidak tenang.
“ kenapa Tiara jadi begitu aneh akhir-akhir ini. Dia lebih sering melamun dan sendirian. “
Radit memulai pembahasan.
“ Iya… dia hanya bermain-main dengan boneka lusuhnya yang selalu dibawanya kemana-mana. Terkadang, dia tidak menghiraukan ku “
Dinda menjawab dengan ekspresi bingung.
“ Apa sebelumnya dia memang seperti itu orangnya ?. Apa sebelum dia pindah kesini, dia juga bersifat seperti itu ?”
Radit bertanya kepada Dinda bertubi-tubi.
“ Entahlah. Aku juga baru mengenalnya. Ketika pertama kali masuk sekolah dia terlihat sipel. Namun, sebenarnya dia orangnya sangat pemalu dan minder.”
Dinda menjawabnya dengan tenang.
“ Aku curiga dengan boneka itu “
Radit mengernyitkan keningnya dan mengangkat satu alis kirinya yang tebal. Lagaknya sudah seperti detective yang handal. Meskipun, memang sebenarnya dia sangat mencurigai boneka itu.
“ Apa itu boneka setan ya ? “
Lanjut Radit sambil menatap Dinda.
“ Huuush ! Gak mungkin lah. Aneh-aneh aja kamu. “
Dinda tidak mempercayai kata-kata Radit dan menganggap itu lelucon.
“ Aku serius Din. Apa kamu gak ngerasa aneh waktu ngeliat boneka itu. Bonekanya seram banget kan . masak Tiara betah main sama boneka itu. Tiara juga pernah bilangkan kalau boneka itu selalu berbicara dengannya “
Radit memang berlagak seperti detective sungguhan. Dia mulai meyakinkan Dinda. Dinda pun mulai terpengaruh dengan kata-kata Radit yang sangat membiusnya.
“ Iya juga sih “ Jawab Dinda dengan bimbang.
“ Kamu tau gak dimana Tiara dapat boneka itu ? “
Radit benar-benar memfokuskan pembicaraan masalah boneka itu. Dia mulai meyakini sesuatu.
“ Hmm… Tiara pernah ngomong sih kalau dia nemu boneka itu di rumah pindahannya itu di bawah gudang. Pasti boneka itu milik orang yang pernah tinggal di rumah Tiara sebelum keluarga Tiara pindah kesana”
Dinda juga sudah benar-benar memfokuskan permasalahan itu ke boneka Tiara. Mereka mulai mengkoneksikan semuanya. Mereka mulai mencium ada sesuatu yang tidak beres dengan Tiara. Dan mereka menduga boneka itu lah penyebabnya.
“ Kalau begitu, bagaimana kalau kita mendatangi si pemilik boneka itu sebelum Tiara. Kamu kenal gak siapa orang yang pernah tinggal di rumah Tiara sebelumnya ?”
Radit bertanya dengan pasti.
“Gak kenal juga sih. Tapi, aku tahu . Dia saudara Mama aku. aku juga sering jogging di area perumahan itu dulu. Rumahnya memang mencolok. Jadi, pasti dikenali. Kalau gak salah nama pemiliknya Pak Santoso “.
Mereka saling pandang. Radit memandang Dinda tanpa berkata-kata. Dinda mengartikan tatapan mata Radit dan seketika dapat membaca pikiran Radit. Langsung saja Dinda merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone. Dia mencari-cari nama dikontak. Tak lama kemudian, dia terlihat seperti menelpon seseorang.
“ Ma… ini Dinda…Mama masih ingat gak sama keluarga Pak Santoso. Yang keluarga pindahan itu Ma ?. Mama tahu gak sekarang mereka pindah kemana ?. oh ya ?. ya… terima kasih Ma “.
Dinda menutup telponnya dan memandang Radit. Radit menatap penuh tanda Tanya.
“ Kita sekarang kerumah Pak Santoso “ tegas Dinda.
Radit menaikkan gigi persneling mobil dengan menggoyangkan tuas kekiri atas. Menginjak pedal gas maksimum. Mereka menambah kecepatan mobilnya kearah rumah Pak Santoso yang alamatnya sudah diberi tahu oleh Mamanya Dinda. Mereka mulai mencium sesuatu.


Tak lama kemudian, setelah cukup lama mencari-cari rumah yang dituju. Akhirnya mobil yang dikendarai oleh Radit dan Dinda berhenti disebuah rumah sederhana yang cukup jauh dari wilayah perkotaan. Rumah yang asri dengan tanaman-tanaman yang tumbuh terawat dipekarangan. Pagar kayu yang mungil memblokade sekitar rumah. Di samping rumah terlihat seorang ibu yang tidak terlalu tua. Umurnya diperkirakan masih berusia 37 – 40 tahun. Dia mengenakan daster lurusan berwarna pink bermotif bunga mawar berwarna mawar yang tersebar merata disetiap lekuk desain daster itu. Dia terlihat sedang membungkuk seraya memangkas daun-daun kering pada tanaman yang masih basah dengan menggunakan gunting kecil. Rambutnya disanggul kecil dengan hanya melilitkan rambut dan mengikatnya. Radit dan Dinda semula segan untuk masuk dan mengusik kegiatan ibu itu. Namun, mereka memberanikan diri untuk menghadapinya. Radit membuka pagar kayu itu dengan sedikit dorongan. Membuat gemerisik daun yang tergoyangkan loeh pintu pagar. Ibu itu merasa ada kehadiran tamu. Dia menoleh dengan wajah bingung. Dia mendekati mereka sambil berjalan hati-hati untuk tidak menyenggol tanaman. Dia sudah tepat berada didepan Radit dan Dinda. Dia tersenyum. Membuat perawakannya terlihat lembut bersahaja.
“ Ada perlu apa ya dik ? “
Tanya Ibu itu kepada Radit dan Dinda.
“ Saya Radit Bu dan ini Dinda. Apa ibu ini ibu Santoso ?”
Lanjut Radit dengan intonasi yang sopan.
“ Iya benar. Saya ibu Santoso. Ada perlu apa adik-adik ini menemui ibu ?”
Jawab Bu Santoso sambil masih tersenyum.
“ Ada yang ingin kami bicarakan kepada Ibu. Sedikit pribadi “
Tukas Dinda langsung membungkam mulut Radit yang semula ingin menjawab pertanyaan Bu Santoso.
Bu santoso terlihat keheran-heranan melihat ekspresi wajah Radit dan Dinda yang serius. Dia pun melangkah masuk kedalam rumahnya. Diikuti oleh Radit dan Dinda.
Mereka melepas sepatu mereka dan masuk kedalam ruang tengah yang cukup besar. Rumah yang sangat antik dengan cat pernis kayu yang menawan. Dia mempersilahkan mereka duduk disofa yang sedikit jadul dan tipis. Mereka pun duduk. Bu Santoso masuk kedalam rumah menuju kebelakang. Kemudian terdengar suara dentingan gelas yang sedang diaduk. Sepertinya Bu Santoso sedang mempersiapkan minuman untuk menyuguhi tamunya. Tak lama kemudian, dia kembali keruangan tengah menemui Radit dan Dinda yang masih berdiam diri menunggu datangnya Bu Santoso. Dia meletakkan dua cangkir teh panas kehadapan mereka berdua. Dia masih tersenyum.
“ Silahkan diminum dik “
Mereka masih diam merespon kalimat Bu Santoso. Radit memilin-milin bawah bajunya. Sedangkan Dinda masih terdiam melihat dalam secangkir teh didepannya.
“ Ada yang bisa Ibu bantu dik ? “
Tanya Bu Santoso yang sedikit bingung dengan sikap mereka berdua.
“ Apa benar Ibu pernah tinggal dirumah yang sekarang ditempati oleh keluarga Pak Widyo ? “
Dinda langsung menanyakannya tanpa basa-basi. Ibu Santoso mulai mencium ada yang tidak beres dengan mereka beruda. Pertanyaannya yang aneh membuat Ibu itu sedikit lama untuk menjawabnya.
“ Iya benar. “ jawabnya singkat.
“ Apa Ibu pernah melihat ada sebuah boneka didalam rumah itu ?. boneka itu milik siapa ? “ Tanya Dinda bertubi-tubi dengan intonasi yang miris.
Senyum diwajah ibu itu tiba-tiba memudar bahakan sudah hilang dan tenggelam. Matanya menatap Dinda tajam.
“ Ada apa dengan boneka itu ? Apa hubungannya dengan kalian ?”
Jawab Bu Santoso dengan sedikit menekan.
Dinda mulai mencium sesuatu.
“ Jawab bu ! “ desak Dinda.
Bu Santoso mulai pangling. Dia tidak mengerti mengapa dua anak muda ini tiba-tiba datang kerumahnya dan menanyakan hal yang aneh. Tapi, kemudian dia mengerti. Dua anak muda ini tidak sedang bercanda. Mereka memang memiliki masalah yang serius.
“ Iya… Ibu tahu. Ibu masih ingat dengan boneka itu. Boneka kecil yang manis. Boneka yang menjadi satu-satunya teman anakku “
Bu Santoso mengatakannya dengan suara yang penuh kesedihan. Suaranya yang berat dan hela nafas yang lambat. Wajah ibu itu menjadi kuyu. Sambil menatap kebawah.
“Clara. Dia anak semata wayang ibu yang telah lama mengidap penyakit kanker paru-paru. Segala cara sudah ibu tempuh untuk mempertahankan hidupnya. Namun, akhirnya penyakit itu merenggutnya.”
Ibu santoso menceritakannya dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat sedih mengingat kembali tentang anaknya. Tentang anaknya yang sudah tiada.
“ Apa boneka itu milik Clara ?” potong Radit.
“ Iya benar. Boneka itu adalah satu-satunya teman yang selalu bersamanya hingga nafas terakhirnya. Boneka itu yang selalu mendengarkan keluh kesanya. Terkadang ibu menangis sendiri melihat tingkah lakunya yang masih saja bersemangat walaupun detik-detik hidupnya tidak panjang lagi.”
Bu Santoso menangis. Dia tidak dapat membendung air matanya yang sudah menggenangi pelipis matanya. Suasana seketika menjadi haru. Radit dan Dinda pun mengunci mulutnya. Merasakan kepedihan yang dialami Bu Santoso dan Clara. Memahami setiap ceritanya. Mereka teringat dengan Tiara yang juga mengidap kanker paru-paru dan hidupnya sudah tidak lama lagi. Namun, mereka tetap berkonsentrasi untuk membantu Tiara. Membantunya lepas dari belenggu. Memahami permasalahan yang sedang tertawa diantara mereka.
“ Suatu malam saat Clara sedang bermain dengan bonekanya itu. Tiba-tiba dia jatuh pingsan dengan hidung dan mata berdarah. Tentu saja Ibu dan Bapak sangat panik. Kami langsung membawanya ke Rumah Sakit terdekat. Clara masih selamat. Dia di rawat inap selama satu minggu di rumah sakit. Obat-obat keras sebagai penenang sudah tidak mempan lagi menahan sakitnya. Tapi, dia selalu tersenyum. Senyumannya diantara bibirnya yang pucat sangat menyayat hati. Selama satu minggu di Rumah Sakit dia masih saja bermain-main dengan bonekanya. Dia mengatakan pada kami bahwa boneka itu adalah orang kedua yang dia sayangi setelah kami. Dia tertawa saat mengatakannya. Kami pun terpaksa tertawa meskipun didalam hati kami sedang meronta menangis dan berteriak. Tapi, kami tidak ingin menampakkan kesedihan didepan Clara. Kami tidak ingin mengusik kepercayadiriannya. Hingga akhirnya suatu malam.saat hujan turun dengan lebat serta gemuruh yang bersambutan. Saat waktu-waktu terakhir Clara tiba. Tubuhnya sudah tidak berdaya lagi untuk tegap hanya sekedar duduk diranjang rawatnya. Hidungnya tidak berhenti mengeluarkan darah dan batuknya semakin keras. Kami ingin memanggil dokter. Namun dia tidak mengizinkannya. Dia tetap tersenyum dengan darah yang mengalir di bibirnya. dia sudah merasakan bahwa waktu nya sudah dekat. Dia ingin menghabiskan detik terakhirnya bersama orang yang disayanginya, bukan dengan dokter , peralatan medis, perawat atau yang lainnya. Kami hanya mengangguk dengan air mata yang sudah membanjiri lantai ruangan itu. Kami memaksakan tersenyum meskipun dalam hati kami ingin menyelamatkannya.  Dia melihat kebagian belakang bonekanya itu. dia melihat bonekanya sobek. Dia tersenyum kecil. Dia mengambil jarum di meja disebelahnya. Dia memutuskan satu helai rambutnya yang panjang lalu dia jahitkan ke tubuh boneka yang sobek menganga. Tak lama, jahitannya sudah selesai. Tidak ada lagi sobekan di tubuh boneka itu yang memperlihatkan busa-busa yang dibungkus kain boneka itu. dia tersenyum lalu memeluknya. Kami miris melihatnya. Kami terduduk tidak berdaya melihtanya. Ingin rasanya Ibu keluar dan berteriak sejadinya. Ibu sudah tidak sanggup lagi melihatnya. Lalu, tiba-tiba dia berkata : Bapak dan Ibu jangan khawatir. Clara tidak akan pergi kok. Clara Cuma tidur aja. Nih lihat boneka clara. Jagain ya sampe Clara bangun lagi. Jangan sampe sobekan ini kelepas lagi ya. Rambut Clara udah mau abis nih. Janji ya.
Bu Santoso sudah menangis terisak-isak sehingga menimbulkan bunyi yang menyesakkan dada. Dia berkata sambil menahan tangis yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Bahkan lengan kirinya sudah basah karena air matanya yang selalu diusapnya menggunakan itu. dia serasa sudah tidak sanggup lagi menceritakan itu. radit dan Dinda juga berlinangan airmata. Membayangkan kalau dia yang berada diposisi Clara. Clara yang malang. Yang harus lahir dengan penyakit yang mengakhiri hidupnya. Hidup yang seharusnya masih panjang lagi.
“ Lalu akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya sambil memeluk bonekanya. Ibu dan Bapak sontak menangis sejadi-jadinya. Meraung dan meronta. Tidak sanggup menerima kenyataan kalau anak yang selama ini ibu sayangi harus meninggalkan ibu di usianya yang masih belia. Semenjak itu, ibu berjanji akan merawat bonekanya yang merupakan peninggalan sekaligus wasiat dari Clara. Ibu membawanya tidur seperti membawa Clara tidur disamping Ibu. “
Ekpsresi Ibu santoso berubah menjadi tegang. Dia melanjutkan kisah nya. Dia meneguk liur.
“ Namun, boneka itu seakan berbicara dengan Ibu. Ibu mendengarkan suara Clara mengiang-ngiang dikepala ibu. Membuat ibu frustasi dan hampir gila. Setiap ibu mendekatkan diri dengan boneka itu. suara itu datang kembali. Membuat ibu depresi hingga mulai mengacaukan hari-hari ibu. Ibu masih tidak rela kehilangan clara. Dan dia telah kembali namun dalam wujud suara-suara yang sangat ibu rindukan. Suami Ibu mulai menyadari kalau Ibu mulai terasa sedikit aneh. Segala kegiatan ibu sehari-hari telah ibu tinggalkan. Ibu hanya menghabiskan waktu bersama boneka itu dan berbicara dengannya, berbincang-bincang dan tertawa sendiri. Suami ibu takut terjadi apa-apa dengan Ibu. Lalu, dia menyadari kalau boneka itu yang membuat ibu menjadi melayang-layang didalam fantasi bersama Clara. Suatu hari, Suami ibu diam-diam mengambil boneka itu dan membuangnya kegudang bawah tanah. Ibu merasa sangat kehilangan. Bahkan, ibu menjadi stress berat hingga berteriak-teriak setiap hari. Hal itu membuat suami Ibu cemas dan membawa ibu ke psikiater. Ibu sudah dianggap gila. Ibu sangat merindukan boneka dan suara itu. membuat hari – hari ibu menjadi uring-uringan dan kehilangan akal sehat. Ibu benar-benar sudah seperti orang gila. Lalu, lama kelamaan keadaan ibu mulai membaik dengan ditangani tiga orang psikiater. Ibu sudah hampir mengidap penyaki skizofrenia.  Namun, untunglah masih bisa disembuhkan. Untuk mempercepat kesembuhan, rumah lama ibu jual dan pindah ketempat ini yang jauh dari keramaian agar dapat menenangkan diri. Dan sepertinya berhasil “.
Ujar Bu Santoso setelah berbicara panjang lebar kepada Radit dan Dinda. Mereka hanya melongo terdiam dan menghayati cerita Ibu Santoso yang menyedihkan. Teh yang semula panas sudah menjadi dingin. Sudah tidak ada uap-uap panas yang mengepul diatasnya. Cerita ibu Santoso sudah selesai. Dia mengusapkan airmatanya yang terakhir dengan tissue yang Dinda suguhi. Dinda menelan ludah.
“ Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dik ? kenapa adik datang dan menanyakan itu semua ? apa hubungannya dengan adik berdua ini ?” Tanya Bu Santoso kembali ke focus pembicaraan.
“ Sebenarnya kami punya teman yang tinggal dirumah yang pernah ibu tempati itu. dia sepertinya merasakan hal yang sama dengan Ibu saat berhubungan dengan boneka itu.” jawab Dinda serius. Radit hanya terdiam. Dia tak banyak berkata-kata.
“ Apa dia nak Tiara ?. putri sulung keluarga pak Widyo ? “
Tanya Bu Santoso kembali.
“ Benar Bu. Kami khawatir dengan keadaannya. Dia mulai aneh sejak bersama dengan boneka itu. boneka itu bukan boneka biasa sepertinya. Sekarang dia tidak ditemukan kemana hilangnya. Kami sangat mencemaskannya bu “
Jawab Dinda sedih. Dia kembali teringat dengan Tiara. Dimana dia sekarang.
“ Anak yang malang. Ternyata selama ini Ibu tidak sakit. Ibu benar-benar mendengar suara itu didalam diri ibu. Bahkan suara itu memerintah ibu. Jangan-jangan nak Tiara mengalami hal yang sama dengan Ibu. Harus segera dicegah”
Jawab Ibu Santoso dengan tegas. Dia membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi kepada Tiara.
Angin berhembus sepoy-sepoy mengaliri setiap lekuk daun-daun dipekarangan rumah Bu Santoso. Membuat suara berisik alam yang khas saat dedaunan saling bergesek. Sebagian ada juga yang bergesek kedinding rumah yang terbuat dari semen tipis. Suasana menjadi serius dan penuh ketegangan. Ruang Tamu yang merupakan tempat berbagi pikiran kini menjadi tempat yang penuh dengan aura bayangan masa lalu. Mereka masih duduk dengan pundak tegap. Menghadapi keadaan yang serius sekaligus membingungkan.
“ Jadi apa yang harus kami lakukan Bu ? . kami tidak ingin terjadi sesuatu kepada Tiara “. Kata Radit yang benar-benar mengkhawatirkan keadaan Tiara.
Bu santoso berpikir sejenak. Dia memandang kebawah sedangkan pikirannya melambung tinggi. Mengingat kembali kehidupan sebelumnya. Lalu, dia memandang Radit dan Dinda.
“ Kalian harus menjauhkan nak Tiara dari boneka itu. kalau bisa musnahkan boneka itu. “
Kata Bu Santoso dengan ekspresi ragu. Dia tak yakin telah mengatakan itu. karena, dia telah berjanji untuk terus menjaga boneka itu. karena boneka itu adalah satu-satunya memori terakhir serta wasiat dari Clara. Namun sekarang keadaan semakin buruk . mempertaruhkan kehidupan orang lain yang tidak berdosa.
“ Bagaimana caranya Bu ?. apa cukup membakarnya saja. ?” jawab Radit yang penuh dengan keingin tahuannya.
“ Tidak. Clara pernah berkata kalau jiwanya akan terus hidup di dalam boneka itu sampai… “ kata-kata Ibu tersangkut. Tercekat ditenggorokkan. Dia merasakan ada hal yang aneh. Matanya berkunang-kunang. Tiba-tiba angin berhembus kencang. Menerbangkan dedaunan hingga masuk kedalam rumah. Vas-vas serta poto yang terpajang dimeja berjatuhan. Pecah berserakan dilantai. Bu Santoso berdelik lebar. Radit dan Dinda menjadi panic dan tidak tahu harus berbuat apa.
“ Bu ! Bu Santoso ! Apa yang terjadi ? “ tukas Dinda yang panic dan bingung.
“ Kaaliaaan harus menyobek kembali ….boneka itu …. Tepat dipunggungnya …. Tempat jahitan rambut Clara… cepaaat ! “ jawab Bu Santoso sambil terus memegangi lehernya yang tercekat dengan suara yang putus-putus dan parau. Tiba-tiba kipas angin yang berada tepat di atas Bu Santoso jatuh dan berputar kencang sehingga baling-balingnya jatuh tepat dileher Bu Santoso yang sedang berdiri sambil mencekik lehernya sendiri.
Sreeeett… !
Darah mengucur deras di leher Bu Santoso. Darah juga berhamburan dan meleleh dari mulutnya. Sebuah lubang menganga mengepulkan daging-daging di lehernya. Dia tergeletak sambil menggelepar-gelepar. Matanya berdelik kosong. Dia sudah tak bernyawa lagi.
Dinda histeris dan berteriak sedangkan Radit refleks menutup mata Dinda dan menyeretnya keluar. Radit pun shock melihat tubuh Bu Santoso yang mati menggenaskan. Mereka berlarian keluar. Dinda tampak masih menangis dan masuk kedalam mobil. Radit memutar kunci dan menyalakan mobil menarik pedal dan menginjak gas. Mobil pun melaju keluar daerah itu. mereka mendapatkan guncangan yang sangat menakutkan. Sedangkan dirumah Bu Santoso, tubuh itu masih tergeletak. Darah mengucur deras hingga menggenangi lantai rumah itu. rumah yang asri kini penuh dengan darah. Seketika angin berhenti. Dan semua tanaman kembali pada posisi semula. Hening.

“ Ibu ingkar janji… “


Aku melangkah menuju pintu kamarku yang tertutup. Kepegang tangan kiri Dolly dan menggantungkannya diantara jari-jariku yang mengepul. Mataku menatap tajam. Aku benar-benar sudah bukan diriku. Bahakan, mungkin sudah membakar diriku sendiri. Ini bukan aku yang telah hidup 17 tahun. Ini bukan mataku lagi. Ini bukan mulutku lagi. Ini bukan  tubuhku lagi.
Aku membuka pintu dan melangkah kedapur. Suara dengkuran Papa yang kuat menembus keluar kamarnya. Aku tersenyum mendengarnya. Aku membuka rak-rak serta laci-laci untuk mencari sesuatu. Suaranya gaduh dan bising saat aku menumbangkan gelas-gelas kaca yang menghalangi pemandanganku. Suara dentangan yang keras berhamburan dilantai karena gelas yang pecah berserakan. Aku tetap memfokuskan sesuatu. Aku membuka laci di lemari kecil terakhir. Akhirnya aku menemukan satu lusin penuh pisau-pisau yang tajam dan bersih. Dimulai dari ukuran kecil namun panjang. Hingga ukuran besar namun pendek. Aku menggenggam sebuah pisau yang panjang dan bersilau. Aku mengetes ketajamannya dengan menggores tanganku sendiri. Alhasil, tanganku berdarah dan menetes kelantai. Aku semakin senang. Aku tersenyum. Aku suka dengan pisau yang tajam. suara-suara didalam kepalaku juga tertawa terbahak-bahak melihat kelakuanku. Mereka senang. Aku pun senang. Aku kembali memfokuskan pikirannku. Aku melihat kembali pisau yang ujungnya berlumuran darahku sendiri. Aku tidak merasakan sakit akibat goresan yang aku lakukan sendiri. Aku hanya merasa geli.
Aku kembali pada misiku. Aku melangkah keluar dapur menuju ruang keluarga. Aku mengarahkan telapak kakiku kearah sebuah pintu. Dengkuran Papa sudah tidak terdengar lagi. Mungkin, dia tidur sangat pulas dan bermimpi indah.
Aku mendorong pelan pintu itu. ku lihat seseorang yang sedang bergumul dalam selimut. Betapa hangatnya didalam sana. Betapa damainya didalam sana. Aku tersenyum menyeringai. Bibirku semakin kesudut karena terlalu sering menyeringai lebar.
Bunuh dia Tiara … “
“ Apa lagi yang kamu tunggu. “
“ Tancapkan ujung pisau itu ke otaknya “
“ warnai selimut putih itu dengan darah yang segar “
“Buat dia merasakan apa yang kamu rasakan “
“ lekaslah ! Nanti dia terbangun “
“ ayo bodoh… cepat !”

Bisikan itu berteriak-teriak dikepalaku. Seakan mau keluar dan langsung menggerakkan tangannku. Aku menatapnya tajam. Lekukan tubuh yang jelas menandakan bagian kepala, badan dan kaki. Aku mendekat kearah kepalanya yang juga ditutupi oleh selimut. Didalamnya ada orang yang sedang tertidur. Dan aku akan membantunya untuk tidur selamanya.
“ Selamat tidur Papa …”
Aku mengangkat tinggi tangan kananku. Tepat diatas kepalaku. Aku memegang pisau dengan erat. Dengan sudut yang mengerikan. Sedangkan tanganku yang lain masih memegang tangan dolly. Segera saja aku layangkan pisau itu dengan cepat. Dan aku tusuk dengan kuat. Hinga menancap didalam selimut. Tubuh dibalik selimut itu menggelepar sebentar hingga akhirnya benar benar terdiam tak bernafas. Aku masih merasakan kemuakkan menjalar dikepala ku. Kemudian, aku tusukkan terus kekepala hingga badannya. Mungkin sudah ada 10 hingga 15 tusukkan yang sudah aku layangkan di tubuh yang tak berdaya itu. selimut itu sudah dipenuhi dengan darah hingga menjalar kebagian lain di ranjang tidur. Aku tertawa senang.
“ RASAKAN ITU BANGSAT ! “ teriakku sambil tertawa senang. Aku benar benar puas.
Lalu, tiba-tiba pintu kamar terbuka . aku menoleh dengan cepat. Alangkah terkejutnya aku melihat seseorang yang mungkin telah mencopot jantungku. Orang itu terlihat shock melihat pisau ditanganku dan orang dibalik selimut yang dipenuhi dengan darah hingga gelas yang sedang dipegangnya terjatuh dan menghamburkan semua isinya kelantai. Aku pun terkejut melihatnya. Segera saja aku singkap selimut yang menutupi tubuh yang telah aku tusukkan belasan pisau itu. tanganku memegang selimut berdarah yang basah hingga merembes kelantai. aku langsung menjerit dan menangis sejadinya. Aku melihat tubuh Mama yang penuh dengan dengan lubang-lubang menganga dikepala hingga kebadannya. Matanya terbuka dan seluruh tubuhnya dibasahi oleh darah merah kehitaman. Aku berteriak . Mama yang aku sayangi. Aku telah membunuh satu-satunya orang yang aku sayangi. Satu-satunya orang yang aku cintai. Namun sekarang harus berakhir tragis ditanganku. Orang yang seharusnya aku bunuh kini berada disamping pintu dengan shock dan mata yang nanar menatapku. Aku menoleh secepatnya. Aku keluarkan tatapan kebencian dari mataku. Aku genggam erat pisau yang penuh dengan darah. Aku bergerak cepat untuk mengejar lelaki itu. aku mengejar papa yang berlari ketakutan. Dia takut dengan ku,
aku berlari hingga keseluruh ruangan. Papa yang ketakutan berlari tanpa henti.
“ TIARA ! JANGAN ! “ teriak Papa kepadaku.
Aku tidak memperdulikannya. Ku lempar pisau yang ku pegang hingga berputar-putar diudara dan menancap tepat dipunggung Papa. Papa berteriak dan meringis kesakitan hingga dia menabrak pintu dan masuk kedalamnya. Dia terjatuh kebawah gudang. Tubuhnya terhempas-hempas di anak-anak tangga yang berdebu. Pisau terjatuh dan terlepas di anak tangga. Aku tertawa melihatnya kesakitan dan meringkuk lemah dilantai bawah tanah.
“ TIARA ! APA YANG KAMU LAKUKAN ! AKU INI PAPAMU ! “
Teriak papa dengan lantang sambil memegang pundaknya yang terus mengeluarkan darah.
Aku hanya tertawa keras. Aku menuruni anak-anak tangga itu dengan pelan. Aku ambil pisau yang tergeletak di tengah-tengah anak tangga. Ku letakkan Dolly di salah satu anak tangga dalam posisi menyaksikan arena pembunuhanku. Aku memain-mainkan pisau ditanganku dengan kugoreskan didinding sebelahku. Menimbulkan bunyi yang indah dan mengerikan. Aku tertawa sepuasnya.
“TIARA ! KAMU SUDAH GILA ! . HENTIKAN SEMUA INI ! “
Papa terus-menerus mencaci ku. Namun, aku tidak gentar. Malah memicu api didadaku semakin menggelora hingga keubun-ubunku.
“ AKU TIDAK BERGUNA KAN ! AKU SELALU MENYUSAHKAN MU BUKAN !  DAN SEKARANG. AKU INGIN MENJADI BERGUNA BUATMU !. AKU AKAN MEMBANTU MENCABUT NYAWAMU ANJING ! “
Aku berteriak dengan lantang. Mengalahkan teriakan Papa yang mencaciku dari tadi. Suaraku yang parau terdengar mengerikan. Menggema seisi ruangan yang berdebu.
Papa terlihat gentar. Dia ketakutan. Dia merangkak mundur menjauhiku. Aku sudah tiba di lantai. Belasan anak tangga sudah ku lewati. Sekarang saatnya. Aku akan membalaskan dendamku dan juga dendam Mama yang selama ini Papa sakiti hatinya dan hatiku. Dan semua ini juga gara-gara dia aku membunuh Mama ku sendiri. Lelaki brengsek !.
“ Maafkan Papa Tiaraa… Papa tidak bermaksud menyakiti hatimu. Lebih baik kita bicarakan baik-baik. Aku ini masih Papa mu nak “ jawab Papa dengan wajah dan suara yang memelas. Namun, aku tidak akan terlena oleh rayuannya. Kebencianku tidak semudah itu teredam hanya dengan kata-kata manis yang hanya dibibir saja. Itu semua tidak cukup dan tidak akan pernah cukup meskipun bibirnya berbusa dengan kata-kata taik itu.
“ Papa ? Kamu bilang kamu Papa aku ? Orang tua macam apa kamu itu TAIK ! . orangtua seharusnya menyayangi  dan mengasihi anaknya. Bukan malah menyakiti hatinya dari kecil hingga dewasa seperti ini. Kamu tidak pernah menunjukkan rasa sayang sedikitpun padaku dan juga Mama. Kamu tidak pantas aku panggil Papa. Kamu tidak pantas hidup. ! “ jawabku dengan nada penuh amarah.
“ Bagus Tiara… “
“ Ayo cepat lakukan…”
“ Nanti dia melarikan diri “
“ Lihat muka liciknya itu “
“ dia akan memperdayaimu “
“ ayo lekaslah ! balas rasa sakit hatimu ! “
Bisikan itu tertawa didalam pikiranku. Memberiku kekuatan. Aku pun tertawa sekuat-kuatnya. Aku merasa panas. Aku merasa kuat. Aku merasa hebat. Meskipun darah dihidungku kembali mengalir lagi. Mengikis setiap detik hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku. Aku akan mengakhiri semua ini .
Aku melangkah mendekati Papa yang ketakutan. Dia berkeringat dan meringis kesakitan diseluruh badannya.
“ Tiaraa… Papa mohon… maafkanlah Papa …”
Kata papa meminta ampun padaku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum .
“ Terlambat Papaku sayang “ jawabku sambil tertawa.
Aku mencekik leher papa dan mengangkatnya keudara. Hingga kakinya tidak menyentuh tanah lagi. Dia meringis kesakitan. Dia kesulitan bernafas. Dia memukul-mukul tanganku. Aku merasakan ada kekuatan yang besar ditubuhku sehingga dapat mengangkat tubuh pria dewasa yang gemuk pula. Aku menikmati setiap saat aku melihat wajahnya yang kesakitan dan tersiksa. Aku lihatkan pisau yang berkilau kedepan matanya. Ingin rasanya aku mencongkel matanya dengan pisau ini. Aku sudah tidak tahan lagi. Cekikanku semakin kuat . sehingga membuat tubuh Papa bergetar. Lalu, dengan cepat aku hunuskan pisau itu ke perut papa yang buncit hingga memercikkan darah ke baju pasien yang masih aku kenakan. Papa mengerang kesakitan. Lalu, aku hunuskan terus menerus keperutnya dengan cepat hingga ususnya berserakan keluar dari tubuhnya. Dari mulut papa mengeluarkan darah segar kehitaman yang terus merembes ke tanganku hingga ke tubuhku. Dia sudah tidak bernyawa. Ususnya berceceran di lantai. Kulihat matanya terbuka lebar dengan mulut ternganga. Aku masih geram. Aku masih muak saat aku melihat wajahnya. Lalu, aku lakukan niat ku sebelumnya. Aku tusuk kedua mata yang berdelik lebar itu hingga bola matanya pecah sehingga yang terlihat hanya pelipis yang membengkak dengan tulang mata yang bolong. Darah kembali bermuncratan di wajahku. Aku ludahi berkali-kali wajah itu yang sudah tidak dapat lagi aku kenali. Aku tertawa keras. Aku senang. Aku gila !. aku tersenyum manis melihat tubuh yang menjijikkan tergeletak dilantai tanah. Darah yang menggenang. Usus yang berserakan. Perut yang menganga. kedua mata yang bolong. wajah yang penuh dengan darah serta air ludahku yang bercampur disekitar pipinya. Aku injak – injak usus-usus yang berserakan dalam kepingan yang kecil hingga memuncratkan darah dan berbunyi cepirit yang licin. Aku tertawa mendengar bunyi lucu itu. aku memain-mainkan kaki ku diatas usus itu seperti sedang bermain lompat tali. Sesekali ku lompati tubuh gemuk yang sudah tidak bernyawa itu sehingga lubang diperutnya mengeluarkan darah lebih banyak. Aku tertawa seperti orang gila. Aku bermain-main seperti anak kecil . pikiran ku kosong dan gelap. Darah sudah berhenti merembes meskipun sudah aku gencet perut besarnya itu dengan hentakan kakiku yang kuat. Aku benar-benar membunuh dengan tidak wajar. Namun itu memuaskanku.
Lalu tiba-tiba aku terkejut mendengar seseorang berteriak dari atas rumah. Aku menoleh kearah sumber bunyi itu. kulihat Dinda sedang berteriak histeris melihat tubuh Papa yang sudah tidak karuan. Dia tidak menyangka aku telah melakukan semua ini. Ku lihat juga Radit mengendap-endap menuruni anak tangga dan langsung mengambil Dolly yang tergeletak di anak tangga.
“ Tiaraa… Tolong aku Tiara…”
 Bisikan itu berteriak minta tolong kepadaku. Langsung aku berlari menaiki anak tangga mengejar Radit dan Dinda yang berlari keatas  sambil membawa Dolly.
“ KEMBALIKAN DOLLY KU ! “ aku berteriak. Namun mereka tidak menghiraukannya. Aku naik keatas. Namun pintu sudah dikunci dari luar. Mereka sengaja mengurungku .  mengunciku didalam. Aku menggedor-gedor dan berteriak untuk dibukakan pintunya. Namun, aku tidak mendengar suara mereka lagi. Mereka sudah meninggalkanku dan membawa Dolly. Aku menendang dan terus memukuli pintu itu. namun, tidak membuahkan hasil. Aku turun kebawah dan mencari-cari perkakas yang cukup kuat untuk membuka pintu itu. aku menumbangkan semua yang menghalangi jalanku. Aku mencari hingga kesudut ruangan. Debu beterbangan dimana-mana. Tidak menghalangiku dalam upaya membebaskan diri dari gudang ini. Akhirnya aku menemukan sebuah kapak yang sudah berkarat. Aku memegang dan mengangkat kapak itu. namun, tidak terasa berat. Aku semakin bernafsu untuk benar-benar mengakhiri semua ini. Aku akan menentukan endingnya.
Aku menaiki tangga menuju kepintu yang terkunci. Aku ayunkan kappa dengan keras hingga merusak pintu kayu itu. aku terus mengayunkan bertubi-tubi kapak itu hingga benar-bena hancur dan tidak bersisa. Dilantai berserakan puing-puing kayu yang hancur karena kerasnya kapakku. Aku mulai melangkah keluar dan mencari mereka. Amarah ku kembali membara. Aku benar-benar marah.
































PART #10 : LAST BLOODS

Radit dan Dinda berlari ketakutan. Mereka terengah-engah ketika berusaha kabur dari Tiara. Tiara sudah membunuh Ayahnya sendiri. Dengan cara yang mengerikan. Dinda tak kuasa menahan tangis. Dia tidak mengerti apa yang ada dipikran Tiara hingga dia melakukan semua ini. Dia yakin, dua orang perawat dan satu orang dokter yang tewas di rumah sakit juga karena ulahnya. Dia sudah banyak membunuh orang. Apa yang membuat dia berpikiran seperti itu. Radit masih memegang Dolly, boneka Tiara. Dia berhasil mendapatkannya dengan diam-diam. Dia akan segera memusnahkan boneka itu.
“ Bonekanya udah di tangan aku nih. “ kata Radit sambil masih mengatur nafas.
“ Iya.. cepat cari bekas jahitannya “ kata Dinda mengingatkan kembali apa yang diwasiatkan oleh Bu Santoso sebelum dia meninggal.
Radit mencari-cari bekas jahitan itu. dia membalikkan boneka itu dan melihat sebuah garis panjang berwarna hitam sebagai benang jahitan. Dia menyentuh nya.
“ Ini adalah Rambut. “ ujar Radit.
“ Benar ! ini dia. Ini harus segera disobekkan. Ini kuncinya “ jawab Dinda setelah dia agak tenang dan kembali kepermasalahan.
Radit tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Dia bersiap-siap akan menarik paksa jahitan itu hingga sobekannya terbuka lagi. Namun, saat dia akan mengambil ancang-ancang untuk menyobeknya. Mereka menderngar teriakan,
“ RADIT ! DINDA ! DIMANA KALIAN ! “
 Terdengar teriakan dari Tiara serta hiruk pikuk bunyi barang-barang yang dihempas dan pecah dilantai. Mereka menyadari kalau Tiara sudah dekat dengan mereka. Mereka panic.
“ aduh… gimana ni Dit ? Tiara udah datang tuh . aku takut “ kata Dinda bergemetaran.
“ Tenang-tenang. Kita berpencar ya. Aku bakalan nyimpan boneka ini. Kamu pergi sembunyi aja. Cepat ! “ kata Radit dengan yakin.
Dinda ragu sekaligus ketakutan. Dia berlari menjauh dari Radit. Radit pun berlari berlawanan arah dengan Dinda.
Dinda bingung mau kemana. Rumah ini terlalu besar. Suara Tiara semakin mendekat dan terdengar marah. Dinda memutuskan untuk bersembunyi di sebuah kamar. Lalu dia melihat sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka. Dia berlari dengan cepat masuk kedalam kamar lalu menguncinya. Dia terduduk dilantai. Dia ketakutan. Dia menggigil. Keringat dingin membasahi dirinya. Suasana menjadi hening. Tidak ada tanda-tanda adanya Tiara disekitarnya. Dia merasa tidak aman. Yang terdengar hanya suara tersengal-sengal dari nafasnya. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak bisa mengontrol diri.
Dia mundur dan terus mundur hingga dia jatuh terjerembab karena tertabrak sesuatu. Dia terguling-guling di tempat yang empuk tapi sedikit basah. Lalu saat dia membuka matanya dia melihat tangannya mengalir darah segar dan menoleh kesampingnya.
“WAAAA !!!!!  
Dinda berteriak histeris saat melihat kesampingnya terdapat seonggok tubuh yang penuh dengan darah yaitu mayat Mamanya Tiara. Tubuhnya dipenuhi dengan luka tusukan. dan yang paling mengerikan ialah lubang tusukan dikepalanya yang menganga dan berwarna kehitaman berada tepat di matanya.
BRAKKKK !!!
Sebuah kapak menembus pintu. Teriakan Dinda  mengundangku untuk mengejarnya. Bertubi-tubi kapak menghancurkan pintu. Dinda berteriak. Akhirnya pintu benar-benar rusak parah dan aku berhasil masuk kedalam. Dinda menangis ketakutan. Dia terjebak didalam kamar itu. tidak ada jalan keluar. Dinda terkejut melihat ku yang memegang kapak dengan tampang yang mengerikan. Rambutku yang acak-acakan. Wajahku yang pucat namun dipenuhi dengan mucratan darah serta baju pasien yang masih melekat ditubuhku. aku terlihat garang.
“ DIMANA DOLLY ! “
aku berteriak lantang. Dinda hanya menangis ketakutan.
“ Tiara… ini aku Dinda . kamu masih ingatkan ? “ jawab Dinda berusaha menyadarkan Tiara yang berdiri dihadapannya.
“ Dinda ? SIAPA DINDA ! . oohhh…. Benar. Dinda sahabatku. Yang tega menyakiti hati KU ! kamu membohongi ku !. apa salahku pada mu hah ! “
Jawabku dengan tampang yang menyeramkan.
“ Tiara… apa yang kamu bicarakan ? kamu tidak salah apa-apa. Aku sayang sama kamu Tiara… kenapa kamu menjadi begini ? “ balas Dinda sambil terus menangis dan terduduk dilantai.
  sayang ? .ALAAAHH ! ANJING !. KAMU MASIH MAU BERBOHONG PADA KU ! KENAPA KAMU TERUS MENYIMPAN RAHASIA ITU DARIKU HAH ! KAMU PIKIR AKU BODOH ! “
Jawabku dengan suara keras dan menakutkan.
“ Apa maksudmu Tiara ? Tidak ada yang aku sembunyikan dari mu. “ jawab DInda berusaha mengelak.
“ AKU SUDAH BENAR-BENAR MUAK DENGAN MU ! “
Aku mendekat dan menjambak rambutnya lalu ku angkat keatas. Dia merasa kesakitan. Dia berusaha melepaskan jambakanku. Namun, tangan ku begitu kuat. Aku mendekatkan wajahku kewajahnya.
“ kamu pikir aku tidak tahu kalau kalian selama ini hanya membohongi ku kan. Sakit hatiku ! kalian permainkan. Padahal, aku sudah memberi kepercayaanku kepada kalian. Tapi kalian sia-siakan. Kamu tidak perlu merasa iba kepadaku sehingga harus bersandiwara agar PACARMU ITU suka denganku yang sebentar lagi bakalan mati ini !. itu yang dinamakan sayang hah ?!. taik semua ! “
Aku mengeluarkan semua unek-unek dihati aku yang selama ini tertahan.  Dinda menangis didalam kesakitan jambakanku. Kakinya melayang-layang diudara karena aku mengangkatnya tinggi.
“ Maafkan aku Tiara.. aku melakukannya demi kamu “ jawab Dinda dengan suara memelas dan masih saja menangis.
“ AKU TIDAK SUKA DI KASIHANI ! aku kira kalian berbeda ! bisa nerima aku apa adanya ! tapi aku kecewa. Kalian menghancurkan HATIKUU !! “ jawab ku dengan terus berteriak didepan wajah Dinda yang gemetaran. Aku menghempas tubuhnya ke lantai dengan keras hingga dia tersungkur dan menabrak lemari. Dia kesakitan. Aku mendekati dan memegang erat kapak. Dia berusaha lari dan menghindar dari ku. Namun, aku jauh lebih kuat hingga aku menendang kakinya hingga tersandung dan terjatuh.
“ Mau mencoba melarikan diri hah ? . rupanya kamu punya kaki yang bagus . akan ku beri sedikit nuansa darah agar terlihat lebih canti. Hahaha ! “ aku tertawa dan aku ayunkan kapak tepat di tengah kakinya antar lutut dan pergelangan kaki. Darah berserakan. Kakinya terpenggal . memisah satu dengan lain. Dinda teriak kesakitan. Darah terus keluar daru kaki kanannya yang baru saja aku potong. Aku tertawa senang.
Dinda masih saja berusaha kabur. Dengan sisa tenaganya dia merangkak keluar kamar. Aku menyadarinya.
“ Sampai jumpa di NERAKA ! “
Aku ayunkan kembali kapak kearah lehernya dengan keras hingga memutuskan kulit dan mematahkan tulang lehernya. Leher dan tubuh Dinda terpisah. Tubuh yang semula dalam posisi merangkak sekarang sudah tergeletak tanpa kepala dilantai. Diujung lehernya masih menyemburkan darah kental. Sedangkan kepalanya menggelinding keluar kamar. Aku melangkahi tubuhnya dan langsung kearah kepalanya yang tergeletak di lantai. Matanya menatapku kosong. Aku pun menatapnya kosong.
Craakkkk !
Aku ayunkan kapak dan membelah kepalanya seperti membelah kelapa hingga terpisah dua bagian yang sama. Terpisah mata satu dengan yang lainnya. Otaknya terlihat keluar seperti bubur sum-sum berwarna kemerahan. Tulang Otaknya retak dan  terpotong rapi oleh ketajaman kapakku.  Begitu pula bibirnya. sudah tidak seperti bibir. Hanya seperti pelipis yang terbagi dua serta tulang rahang yang muncul keluar.  Aku melangkah maju. Aku tersenyum diujung darah yang terus mengalir dari hidungku.


Radit berlari sambil membawa boneka Dolly. Dia berusaha melarikan diri. Dia menangis setelah mendengar teriakan Dinda. Dia menyangka pasti Dinda sudah tidak terselamatkan lagi. Dia sangat sedih dan menyalahkan dirinya sendiri karena kehilangan orang yang dia sayang. Dia menatap  boneka dengan tatapan benci. Dia masuk kembali kedalam sebuah kamar yang dipenuhi oleh foto-foto Tiara. Ini adalah kamar Tiara. Di meja masih tergeletak  sebuah kado ulang tahun yang pernah Radit dan Dinda berikan kepada Tiara. Namun, bungkus kado itu belum terbuka. Sepertinya dia belum ada menyentuhnya. Dia menutup pintu berusaha agar tidak ditemukan keberadaannya  sehingga dia bisa menyelesaikan semuanya disini dan menghancurkan boneka sial ini.
Dia berdiri tegap. Dia bersiap-siap untuk menyobek boneka itu tepat disobekan yang telah terjahit. Lalu tiba-tiba dia mendengar teriakan dari luar. Dia melihat sebuah kapak menembus engsel pintu sehingga pintu tumbang dengan keras.


Aku mengejar Radit yang membawa Dolly-ku. Aku dapat mendengar teriakan minta tolong dari Dolly. Aku merasa tergerak untuk segera menyelamatkannya.
“ Tiaraa… aku dibawa lelaki ini kedalam kamarmu.”
“Selamatkan aku Tiara…”
“ Dia ingin memisahkan kita… “
Aku mendengar dengan jelas suara itu. aku akan menolong Dolly. Aku berlari ke kamarku. Dan menemukan Radit sedang memegang Dolly.
“ LEPASKAN DOLLY_KU ! “ teriakku dengan lantang
“TIARA… kamu harus mengerti. Boneka ini boneka setan ! Dia yang membuat kamu seperti ini !  Sadarlah Tiara ! .Kamu telah banyak membunuh orang-orang dan semua ini gara-gara boneka sial ini ! “ jawab Radit dengan nada cepat dan terengah-engah. Dia mendelik melihat kapak yang kupegang dan berlumuran darah..
“ Tidak Tiara… “
“ Jangan dengarkan dia….”
“ Ingat Tiara…”
“ Dia yang telah menyakiti hatimu “
“Ayo bunuh ! “
“ Bunuh dia sebelum dia membunuhmu ! “
“ Dia orang jahat Tiara “
“ Dia mencoba melukaiku “
Bisikan itu menjadi satu-satunya hal yang aku dengar dikepalaku. Sehingga aku tidak mendengarkan semua penjelasan dari Radit. Aku menatapnya dengan wajah garang dan menyeramkan. Aku akan menyelamatkan Dolly.

“ SERAHKAN DOLLY PADAKU ! “ jawab ku. Aku mengubris semua penjelasan dari Radit. Aku sudah tidak percaya lagi dengannya.

Aku mengayunkan kapakku dengan liar ke arah Radit. Radit lebih lincah sehingga dapat mengelak semua serangan ku. Dolly masih berada dicengkramannya. Suara bisikan itu terus memaksa ku untuk menyelamatkannya dari pegangan Radit. Bahkan tak jarang suara itu memarahiku karena semua seranganku tidak ada satupun yang mengenainya.

“ Dasar bodoh. Mengayunkan kapak saja kamu tidak bisa ! “
“ Ayo kekiri !”
“ Kekanan dasar dungu !“
“ Aku sudah bilang kekanan goblok ! “
“ Apa kamu tidak bisa lebih cepat lagi ! “
“ Aku lelah tergantung-gantung seperti ini bangsat ! “

 Aku terus mengayunkan kapakku. Berusaha mengenainya. Tapi, tidak ada satupun yang berhasil menyobek kulitnya. Aku semakin garang. Sehinga ayunanku menjadi tidak terarah. Disaat itulah, Radit membaca gerakanku dan menendang tanganku hingga kapak terlepas dari genggamanku dan terlempar.
Aku bertangan kosong. Suara itu terus memaki ku. Mengata-ngataiku.
“ Lihat ini Tiara ! ini adalah garis kehidupan boneka ini ! aku akan menyobekknya agar kamu terlepas dari belenggu setan ! “ kata Radit sambil menunjukkan bekas jahitan dan bersiap-siap menyobeknya.
Aku menatap nanar. Suara itu semakin menjadi-jadi saat Radit menyentuh jahitan di punggung boneka itu.
“ TIDAAAKK ! “
“ Cegah dia bodoh ! “
“Dia mau membunuhku ! “
“ Cepaaaat !”
Suara itu berteriak dikepalaku hingga membuat urat-urat kepalaku putus dan meledakkan kepalaku. Aku tidak sanggup lagi. Aku ambil puing kayu yang terletak didepanku yang telah hancur aku oleh serangan-seranganku yang tidak tepat sasaran itu. aku mengambilnya dan melemparnya dengan kuat dan tepat kearah  Radit. Ujung kayu yang tajam itu menembus lehernya sehingga Radit meringkuk kesakitan. Dia tergeletak dan mengeluarkan suara siksaan yang tercekat dilehernya yang sudah tertutup oleh tajamnya rusuk kayu.  Boneka itu terlepas dari tangannya. Darah tidak berhenti mengalir.  Radit akan mati. Suara-suara itu tertawa senang dan berteriak . namun, aku sama sekali tidak senang. Aku melihat tatapan mata Radit yang dalam. Aku merasa ada sesuatu yang lain. Aku merasa menyesal.
“ Bagus Tiara ! “
  Lemparan yang jitu “
“ Kamu memang hebat “
“ Kamu memang tidak terkalahkan “
“ Nikmati setiap tetes darah yang menggenang ke jari-jari kaki mu !”

Aku menatap kosong. Darah mengalir keluar hidungku. Aku tidak senang lagi. Aku merasa hampa. Aku merasa bingung. Aku merasa kosong. Aku merasa gelap. Lalu, perhatian ku tertuju kepada Radit yang merenggang nyawa. Dia tersenyum padaku dengan darah yang megalir dibibirnya. Dia mengambil sesuatu diatas meja. Dia mengambil kado kecil yang merupakan kado ulang tahun untukku. Dengan sisa-sisa tenaga, dia mendekat dengan meringkuk kesakitan. Dia menyodorkan kado itu kepadaku dengan tangan yang berdarah.
“ Aku sayang sama kamu Tiara…”
Itulah kalimat terakhir yang diucapkannya setelah dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebuah kalimat yang mendengung ditelingaku. Dia sudah tergeletak tak bernyawa. Aku mendekatinya. Aku raih tangannya yang masih memegang kado itu. aku mengambilnya. Kubuka pelan-pelan pembungkusnya yang berlumuran darah hingga tinggal sebuah kotak. Aku buka kotak itu. aku terpana.
Aku melihat sebuah frame. Yang membingkai sebuah gambar. Sebuah gambar yang sempat menyejukkan ku. Senyuman pada gambar itu sangat memedihkan hatiku. Aku menangis. Bahkan sampai terisak-isak. Suara-suara itu meronta-ronta dikepalaku. Dia bingung dengan keadaan dijiwaku yang tiba-tiba berubah. Aku tidak memperdulikan lagi suara itu. aku menangis hingga airmataku jatuh membasahi frame itu. sebuah frame yang membingkai sebuah foto. Foto ku bersama Dinda dan Radit. Foto saat aku bahagia. Rasa bahagia yang berbeda saat aku merasa bahagia karena membunuh. Bahagia yang terasa putih. Bahagia yang terasa sejuk. Bahagia yang terasa damai. Aku menangis dan berteriak.
Suara-suara itu mencaci maki ku. Memecahkan gendang telinga ku. Aku marah dengan suara itu. aku muak mendengarnya. Aku sudah cukup gila karenanya. Dan aku menyadarinya. Aku sudah bisa melihat akhir kisah hidupku.
Aku menatap yakin. Aku menatap boneka itu. aku tidak ingin hidup dengan digerakkan sebuah boneka. Aku tidak ingin menjadi boneka dari sebuah boneka. 
“ Apa yang kamu pikirkan bodoh ! “
“ Buang pikiran itu jauh-jauh ! “
“Kamu membutuhkan aku ! “
“ Kamu tidak bisa hidup tanpa Aku !
Suara-suara itu kembali memerintahku. Namun, aku sudah tidak memiliki perasaan apapun saat ini. Semua orang dalam hidupku sudah tewas ditanganku sendiri bahkan tergeletak menggenaskan didepanku. Aku membunuh mereka. Aku akan mengakhiri semua ini. Aku sudah lelah.
Ku ambil boneka itu. kulihat seksama. Boneka yang dijahit dengan senyuman sudah tidak kulihat sebagai senyuman. Bibir diboneka itu sudah membeku dan terlihat marah. Aku membalikkan tubuhnya. Ku lihat sebuah bekas jahitan yang panjang dengan benang berwarna hitam. Bukan, ini bukan benang. Ini sehelai rambut. Dan aku telah menyadarinya. Aku menutup mataku. Aku akan menghancurkan semuanya. Termasuk boneka ini. Suara-suara itu terus berteriak dikepalaku. Hingga membuat telinga ku berdarah. Aku sudah tidak peduli lagi. Selamat tinggal .
Sreeeekkk  !!!
Aku menarik kasar jahitan boneka itu sehingga sobekannya kembali menganga dan mengeluarkan isi nya. Busa-busa berwarna merah dan darah terus mengalir dari dalam sobekan boneka itu. seiring dengan suara pekikan dikepalaku yang menggetarkan tubuhku. Suara yang sangat keras hingga telinga, hidung dan mataku mengeluarkan darah yang mengalir segar.
“ DASAARR BODOOOHH !!”
“ TIDAAAAAKKKKK !!!”

Hening.
Aku tidak mendengarkan apa-apa lagi. Mungkin telingaku sudah rusak. Aku menatap kosong kedepan sambil terduduk dilantai. Semua sudah berakhir. Semua sudah tiada. Semua sudah pergi. Yang ada hanya aku didalam kamarku yang dipenuhi dengan darah dan kematian. Dan aku akan mengakhiri hidupku. Aku tidak ingin hidup lagi. Semuanya sudah berakhir, bukan ?.
Aku menatap sebuah kepingan kaca yang cukup besar dan digenangi darah. Aku mengambilnya. Aku tidak ingin tersenyum lagi. Aku arahkan kaca itu ke dadaku. Biar semua berakhir bersama penyakitku dan sakit jiwaku.
“ Maafkan aku…”
Aku mengayunkannya tepat didadaku.
PRAAANG !
Kaca yang ingin aku hunuskan ke dadaku tiba-tiba pecah. Aku menoleh ke dekat pintu yang telah  berdiri dua orang polisi dengan pistolnya yang tepat menembak pecah kaca yang semula digenggamanku. Sepertinya mereka sudah menyadari ada yang tidak beres denganku di rumahku. Aku mendekati mereka dengan perawakan yang mengerikan. Aku berharap pistol mereka menembus dadaku hingga aku bisa mengakhiri semuanya. Namun mereka meringkusku. Aku berteriak . Meronta dan melompat-lompat karena kedua tanganku dipegang kuat. Dua polisi itu hampir kewalahan dengan ulah ku.
“ LEPASKAN ! BIARKAN AKU MATI !!!! “ aku berteriak kepada dua polisi itu. Aku ingin dia tahu kalau aku tidak ingin hidup lagi didunia yang sudah hitam dimataku.
Namun, mereka tidak menghiraukan ku. Mereka mengikatku dan menyeretku ke mobil. Diluar rumah sudah ramai orang sekitar berkerumunan melihatku dengan wajah bingung dan beberapa mobil polisi. Aku dimasukkan kedalam sebuah mobil yang berkelip-kelip diatasnya. Aku memberontak. Aku ingin mati. Aku ingin bunuh diri. Biarkan aku mengakhiri hidupku ini. Namun, mereka tidak memperdulikanku. Tanganku diborgol dan aku hanya bisa meronta-ronta. Namun, lama-kelamaan aku merasa lelah. Aku tertidur.


Aku merasakan sebuah cahaya yang menyilaukan menembus mataku yang sedang tertutup. Aku membuka mataku dan mengernyitkan mataku. Mencoba beradaptasi dengan cahaya yang terang diatasku. Aku mencoba memperjelas pandanganku. Aku tidak bisa menggerakkan tanganku. Tanganku dilapisi pakaian yang berlengan sangat panjang sehingga tanganku diikat menyilang. Aku terduduk ditempat yang empuk dan penuh dengan kasur berwarna putih. Bahkan, lantainya juga empuk. Aku selamat. Dan aku masih hidup. aku berjalan kesebuah pintu yang terdapat sebuah kaca diatasnya. Aku melihat keluar. Banyak orang berpakaian serba putih hilir mudik berjalan dengan kesibukannya masing-masing. Aku menghela nafas. Aku berpikir, mungkin seluruh hidupku akan dihabiskan disini. Dengan semua tragedy yang telah kuperbuat, rasanya tidak mungkin aku dibiarkan untuk hidup normal lagi dan bersosialisasi dengan orang lain sebagaimana manusia biasa. Aku hanya pasrah. Dalam lamunanku, tiba-tiba pendengaranku mati. Aku tidak bisa mendengarkan apa-apa. Aku panik. Aku menepuk-nepuk kedua telingaku. Namun, masih tidak terjadi perubahan. Indera pendengarankn kosong dan hening. Aku terduduk lambat. Aku terdiam. Ku pusatkan perhatianku terhadap sesuatu yang menggema namun terdengar jauh. Gema itu semakin mendekat dalam irama yang tidak karuan. Aku merasakan ada sesuatu dikepalaku. Didalam kepalaku.

 Tiaraa…”

Suara itu. Bisikan itu. Aku terkejut mendengar semua itu masih terdengar dan mengiang-ngiang dikepalaku. Aku tidak mengerti mengapa suara itu masih ada dikepalaku. Aku tidak ingin semua terulang kembali. Aku berteriak minta tolong di jendela pintu.

TOLONG !
TOLONG BUNUH AKU !
SEBELUM AKU KEMBALI MEMBUNUH !
BIARKAN AKU MEMBUNUH DIRIKU SENDIRI !

…..

TIDAAAAAAKKKK !!!!


Selamat datang kembali
Tiara…



THE END