"Woa… Warna rambut yang
keren!"
Aku yang saat itu sedang melihat
langit, menoleh pada sumber suara. Cowok berambut oranye yang mengintipku dari
balik pohon lah yang berbicara. Dia tersenyum. "Halo!"
Aku memasang wajah kesalnya.
"Ada apa?"
Cowok berambut oranye itu
menjalankan kursi rodanya dan berhenti disampingku. Dia memakai pakaian rumah
sakit dan sebuah jaket dan syal serta selimut tipis di kakinya. Padahal, hari
itu begitu cerah. Ya, saat itu… Aku sedang beristirahat setelah semalaman
berjaga untuk menunggu keadaan adikku yang sedang dirawat karena kanker.
Adikku yang bernama Hitsugaya,
mengalami kanker otak stadium akhir. Dia sudah koma selama sebulan lebih.
Sekarang, yang berada di depanku adalah salah satu pasien yang mungkin… Kabur
dari ruang perawatan. Dia pun memperkenalkan dirinya dengan cara SKSD.
"Aku Ichigo Kurosaki! Salam
kenal… Errr…" ucap pria berambut oranye itu.
"Grimmjow… Grimmjow
Jeagerjaques!" Jawabku sinis.
Sebenarnya, aku kesal karena
dibilang bagus warna rambutku ini. Kebanyakan orang mengidentikan sifat orang
itu dari penampilannya. Hello! Don't judge book from front cover! Orang
kebanyakan mikir, kalau diriku adalah seorang berandal, preman, kejam, dan yang
lain, hanya gara-gara rambutku yang berwarna beda dari orang lain dan tatapanku
yang mengerikan. Hello? Ini rezeki yang sudah didapat dari lahir! So,
jangan protes donk?
Orang yang berada di depanku ini
pasti akan bilang kalau rambutku ini adalah rambut berandal. Pasti maksudnya
dia bilang hal tadi, adalah usaha untuk menyindirku. Tetapi, aku kaget saat dia
menjawab alasannya bilang hal itu padaku. Alasannya…
"Rambutmu indah seperti langit
dan laut! Warna yang damai dan indah!" jawabnya sambil tersenyum lepas.
Aku kaget. Di depanku duduk seseorang
yang gendernya perlu ditanyakan! Body sudah berbentuk seperti cowok
sejati. Tetapi, saat mukanya tersenyum, dia sangat manis bagaikan cewek.
Rambutnya yang berwarna oranye itu, apakah warna rambut asli? Apakah, dia
senasib denganku, dianggap anak berandal?
Ichigo terdiam. Dia tertunduk.
"Aku… Belum pernah merasakan bagaimana punya teman…"
Diriku tertegun. Apa yang dia
ucapkan tadi? Dia belum punya teman? Lha? Bukannya di sekolah itu ada sesuatu
yang dinamakan 'teman'? Ichigo menggelengkan kepalanya.
"Sudah 5 tahun aku tinggal
disini. Aku mempunyai suatu penyakit dimana aku tidak boleh teralu banyak
kegiatan. Jika kecapean sedikit saja, penyakit pernapasanku kambuh dan nyawaku
terancam. Selama 5 tahun ini, aku tidak pernah merasakan bagaimana kehidupan remaja…"
Aku sedikit kasihan dengannya. Ya,
kupikir-kupikir, dirinya begitu kasihan. Duduk di kursi roda, pelajaran hanya
didapatkan dari sebuah laptop. Temannya hanyalah sebuah laptop. Dia tidak
pernah bermain ke dunia luar. Dia tidak tahu bagaimana dunia luar sekarang.
Penuh dengan orang-orang yang hanya melihat sifat orang dari cover-nya saja.
Sehari-hari, dia hanya bermain dengan para suster yang menghiburnya di taman
rumah sakit ini.
Tanganku ingin membelai lembut
dirinya. Dia begitu terlihat sedih. Aku ingin menghiburnya. Apapun akan
kulakukan agar dia tidak merasakan kesepian disini. Saat tanganku mau menggapai
rambut oranye itu, tiba-tiba, seorang suster memanggilku. "Tuan
Grimmjow!"
Aku menengok ke sumber suara.
"Apa?"
Suster yang menggulung rambutnya dan
suaranya sedikit moe itu, sedikit panic. "Hitsugaya-sama…"
Aku yang saat itu punya firasat
buruk, langsung berlari menuju pintu untuk melihat keadaan adikku itu. Ichigo
hanya melihat kepergianku dari kejauhan tanpa berpindah sedikit pun dari
tempatnya. Saat sampai di kamar adikku, wajah adikku sudah ditutup oleh sebuah
kain putih. Ternyata, saat aku berada di taman tadi, mesin pemantau membunyikan
bunyi yang sangat nyaring menandakan orang yang dipantau telah meninggal.
Orang tua angkatku sekaligus orang
tua kandung Hitsugaya, menangis di samping kasur. Aku membuka kain tersebut dan
melihat wajah lemah adikku yang telah tidak bernyawa. Wajahnya begitu tenang.
Tidak ada kegundahan diwajahnya. Aku hanya tertunduk. Diriku tidak bisa
menangis walau ingin. Aku terdiam saat jenazah adikku dibawa ke ruang mayat
untuk dimandikan. Nanti malam, jenazah adikku itu akan disemayamkan di rumah.
Aku terus terdiam dan berusaha
menghibur kedua orang tua angkatku. Lalu, aku mengelus-elus rambut halus adik
angkatku yang kedua atau lebih tepatnya, adik kandung Hitsugaya yang saat itu
masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Adik kandung
Hitsugaya yang bernama Yachiru Kusajishi itu, masih sangat muda. Umurnya baru 4
tahun. Sedangkan Hitsugaya, harus meninggal di umurnya yang saat ini beranjak
16 tahun.
Mereka pun keluar dari kamar
perawatan Hitsugaya dan mengikuti kemana suster dan doctor membawa jenazah
anaknya itu. Saat aku keluar, aku melihat Ichigo yang tengah berhenti di
koridor dekat pintu kamar. Kursi roda yang telah dimodifikasi itu, dijalankan
oleh Ichigo sehingga mendekati diriku. Dia melihat wajahku yang saat itu sudah
kusut.
Dia memegang tangan kananku.
"Jangan tahan tangisanmu! AKu tahu… Kau pasti ingin menangis!
Menangislah…"
Aku tertunduk. Diriku jatuh dan
menenggelamkan kepalaku di pangkuan Ichigo. Suara isakku mungkin terdengar
olehnya. Tetapi, aku tidak peduli. Aku sebenarnya tidak ingin terlihat cengeng
di depan orang lain. Tetapi, saat aku melihat wajah Ichigo, rasanya, aku ingin
menangis mengingat adik tersayangku itu telah meninggal.
Ichigo mengelus punggungku dengan
lembut. Dian berkata lembut padaku. "Aku mengerti… Perasaanmu… Tetapi, kau
masih bisa mengingat adikmu jika kau mau menyimpannya di hatimu!"
Aku merasa… Begitu tenang dan damai
di elusannya…
XXX
Sudah sekitar 3 bulan sejak kematian
adikku, dan dengan waktu yang sama aku pertama kali bertemu dengan Ichigo.
Selama 3 bulan ini, aku selalu menjenguk Ichigo di rumah sakit yang sama.
Kadang aku membawanya jalan-jalan di taman rumah sakit yang sangat besar itu.
Mengajarinya banyak hal tentang dunia luar. Dan mengajarinya pelajaran umum
yang biasanya diajarkan di sekolah.
Ichigo begitu pintar sehingga aku
mudah mengajarinya. Ingat-ingat belajar, aku merupakan seorang wahasiswa
semester akhir yang sedang menunggu wisuda dan turunnya gelar didepan namaku.
Aku kuliah di jurusan kedokteran. Mungkin, tidak terlihat dari wajahku. Aku
seorang mahasiswa berprestasi. Bukannya sombong, aku hanya mau membuktikan satu
hal. Penampilan luar, tidak sepenuhnya mencerminkan kelakuan orang tersebut.
Saat aku menceritakan tentang diriku
itu pada Ichigo, Ichigo terlihat begitu senang. "Kalau begitu, kau bisa
sembuhkan penyakitku ini dan kita bisa pergi ke dunia luar?"
Aku tersenyum. "Jika aku sudah
sembuhkan dirimu, aku akan mengajakmu keliling dunia!"
Ichigo tersenyum puas dan
mengangguk.
Aku
memeluknya dengan kencang.
Tidak
akan kulepaskan orang ini. Aku tidak akan membiarkannya jauh dari diriku…
Karena
dia…
Orang
yang sangat berharga bagiku…
XXX
Hari ini hari wisudaku. Kebetulan,
aku diberikan 4 undangan untuk keluargaku. Tentu, aku mengundang ayah, ibu, dan
adikku untuk menghadiri hari dimana aku mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran. 1
undangan tersisa dan aku memberikannya pada Ichigo. Tetapi, aku tidak memaksanya
untuk datang mengingat kondisinya yang begitu lemah.
Tetapi, saat aku naik keatas mimbar
untuk penyerahan hasil belajar dan pengangkatan gelar, dari kejauhan, orang
yang kucari, tersenyum padaku. Saat itu, Ichigo terlihat begitu gagah dengan
jas yang ia kenakan. Dia duduk di kursi rodanya dan melambaikan tangannya
kecil. Aku tersenyum. Di hari bersejarahku itu, aku dapat bersama dengan orang
yang kusayangi.
Selesai acara wisuda, aku langsung
berlari menghapiri Ichigo. Dipeluklah Ichigo dari belakang olehku. Ichigo
tersenyum. "Selamat atas kelulusanmu, kak Grimmjow!"
Aku mengangguk. "Terima kasih
sudah datang, Ichigo!"
Lalu, ayahku memanggil tukang foto
untuk memfoto kami berlima. Ichigo berada didepanku bersama adikku. Ayah dan
ibukku berdiri di kedua sisi diriku. Setelah difoto, aku minta cetak lebih agar
Ichigo mendapatkannya untuk kenang-kenangan.
"Nanti, kau pasti bisa difoto
seperti ini, Ichigo!" ucapku sambil memberikan foto ukuran 4 R itu.
Ichigo tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. "Tidak mungkin, kak! Tidak akan mungkin sampai kapanpun!
Mengingat, aku putus sekolah semenjak 5 tahun yang lalu!"
"Untuk di dunia ini, mungkin
benar kamu putus sekolah. Tetapi, di duniaku, tidak ada yang namanya putus
sekolah selama kita masih ada semangat untuk belajar. Belajar tidak hanya dari
sekolah, tetapi… Dari sekitar juga… Bisa!"
Ichigo tiba-tiba blushing.
Dia pun tersenyum malu dan memegang tangan besar Grimmjow yang mendekapnya. Dia
tertunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Sa… Sankyuu…"
XXX
Entah perasaan apa yang mengganjal
di hatiku ini. Aku bingung… Apakah perasaanku ini menyangkut dengan perasaan
sukaku pada Ichigo, atau perasaan lain. Entah, aku bingung…
dr. Grimmjow Jeagerjaques. Mungkin,
terdengar sedikit aneh. Tetapi, itulah namaku sekarang. Dengan predikat
'dokter' didepan namaku, aku berkerja menjadi dokter di rumah sakit dimana
Ichigo dirawat.
Aku sengaja masuk ke rumah sakit ini
agar dekat dari rumah ditambah, bisa bertemu dengan Ichigo sepanjang hari.
Sejauh aku menyelidiki, ternyata, Ichigo adalah anak dari pemilik rumah sakit
ini. Pemimpin rumah sakit yang bernama Isshin Kurosaki, terkenal sangat bijak
dan tegas. Bukan meng-korupsi… Tetapi, semua biaya perawatan Ichigo selama di
rumah sakit ini, semua gratis. Kalau ada sesuatu yang jadi tanggungan, Isshin
menggunakan uang gajinya. Seperti, pembelian obat, O2, dan peralatan lainnya.
Untuk kamar, dia membelinya. Dia mudah membelinya karena rumah sakit ini,
pimpinannya ditambah bangunannya, dia yang meng-arsiteknya dan semua gedungnya
miliknya semua.
Semua apa yang dibutuhkan oleh
Ichigo. Tersedia di kamarnya. Tetapi, hanya satu yang Ichigo inginkan, tetapi
tidak bisa ia dapatkan disana. Teman.
Aku berusaha memenuhi keinginannya
itu. Menjadi seorang temannya. Bahkan lebih, seorang sahabat.
Dari hari kehari, keadaan Ichigo
tidak ada peningkatan. Ya, mungkin untuk orang awam biasa, keadaan Ichigo biasa
saja. Tetapi, hal yang terjadi sebenarnya, Ichigo mempunyai suatu penyakit akan
pernapasannya. Capek dikit, dia akan tumbang. Lalu, mengapa dia duduk di kursi
roda? Ayahnya menjelaskan padaku. Saat dia kelas 6 SD, setelah perpisahan
sekolahnya, dia mengalami kecelakaan. Itu menyebabkan kaki kanannya harus
diamputasi. Sebenarnya, dia sudah menggunakan kaki palsu. Tetapi, Ichigo tidak
berani menggunakannya. Dia tidak mau mengetahui kenyataan apabila kaki palsu
itu gagal menompang tubuhnya.
Aku tahu, dia ingin sekali melihat
langit biru secara langsung di dunia luar. Dia ingin melihat sungai yang jernih
dengan ikan-ikan kecil yang berenang disana. Tetapi, tidak menggunakan kursi
roda. Dia ingin berdiri menggunakan kakiknya sendiri.
Aku ingin sekali mengajaknya ke
sebuah taman dimana semua yang ia hayalkan, ada. Aku pun minta izin pada
ayahnya untuk mengizinkannya keluar. Setelah negosiasi cukup lama, ayahnya
menerimanya dan mengizinkan Ichigo keluar. Tetapi, dengan satu syarat.
"Jika Ichigo sudah mulai capek
sedikit, bawa langsung ia kemari! Jangan ditunda-tunda!"
Aku mengangguk dan berjanji akan
menepati janji.
Akhirnya, aku mengajak Ichigo untuk
jalan-jalan pada hari minggu. Tempat tujuan kita, sebuah taman dimana semua apa
yang Ichigo bayangkan ada. Tentu, kesehatan Ichigo diprioritaskan. Dia
menggunakan jaket, kemeja kotak-kotak dengan kaos dirangkap. Celana jeans
panjang dan syal. Walau hari itu begitu panas.
Setelah kukendarai mobil sport-ku
sampai ke sebuah taman, aku membantu Ichigo keluar dari mobil. Pertama,
kukeluarkan kursi rodanya yang kulipat di bagasi. Lalu, setelah dirakit,
kubantu Ichigo keluar dan duduk di kursi rodanya. Terlihat, Ichigo begitu rapuh
saat dia berdiri. Jika tidak ada yang membantunya, aku tak yakin dia akan
selamat hingga ke kursi rodanya walau jaraknya itu Cuma setengah meter dari
tempatnya berdiri.
Ichigo berterima kasih. Terlihat dia
hampir keringatan. Aku pun memakaikan topi sportku padanya untuk membantunya
agar dia terlindung dari panas. Dia juga meminta jaketnya untuk dibuka. Aku
membantunya membukakannya. Setelah siap untuk jalan, aku mengunci mobilku dan
membantu Ichigo menjalankan kursi rodanya. Supaya Ichigo tidak teralu capek,
akulah yang mendorong kursinya.
Diikutilah jalan menuju sebuah
jembatan. Di sekeliling kami, terlihat bunga sakura yang bermekaran. Ichigo
begitu kegirangan saat dia melihat sakura bermekaran dan kelopak bunganya
berterbangan disekitarnya. "Kak… Begitu keren pohon-pohon disini!"
serunya.
Aku hanya mengangguk. "Ya…
Begitu indah!"
Setelah menelurusuri jalanan yang
penuh dengan nuansa pink, sampailah di sebuah perempatan dimana adanya sebuah
jembatan. Jembatan tersebut disusun persis jembatan di jepang dengan kayu dan
pegangan berwarna merah. Dibawahnya, sungai yang begitu jernih. Terlihat
komponen-komponen penyusun sungai itu baik abiotik dan biotik. Ichigo begitu
senang melihat ikan yang dengan bebasnya berenang di sungai yang bebas dari
polusi itu. Grimmjow tersenyum dan mengacak-acak rambut Ichigo.
"Kau begitu kegirangan!
Hati-hati kecapean!"
Ichigo hanya tertawa kecil.
"Haha… OK!"
Tiba-tiba, orang yang sudah lama
tidak kulihat, muncul dihadapanku. Cewek berambut coklat ke-oranye-an, mukanya
manis, dan suaranya imut. Orihime Inoue.
"Sudah lama tidak bertemu,
Grimmjow!" sapanya.
Ichigo yang merasa aneh, bertanya
padaku. "Kak, siapa dia?"
Aku meneguk ludahku dan
menggelengkan kepala. "Bukan siapa-siapa! Aku pergi dulu sebentar, biar kau
liat-liat saja disini dulu!"
Ichigo mengangguk. Aku pun menarik
tangan Inoue hingga menjauhi tempat Ichigo berada. Setelah lumayan jauh, aku
mulai bertanya pada Inoue. "Kenapa kau disini?"
Inoue memasang wajah kesal.
"Kita tidak sengaja bertemu kok! Aku lagi jalan-jalan dengan Ulquiorra
disini! Tapi, dia sedang membeli es krim. Saat aku berjalan untuk mencari
kursi, aku melihatmu! Oh ya, be-te-we, yang tadi bareng kau, siapa?"
Aku terdiam. Inoue melanjutkannya.
"Pacar barumu?"
Aku menggelengkan kepala. Inoue
menghela napas. "Fiuh… Beruntung deh! Kalau dia pacarmu, gak yakin dia
akan setia padamu lagi setelah tahu seperti apa sifat aslimu!"
Mendengar ocehan Inoue, aku merasa
kesal. Lantas aku berteriak. "Itu masa lalu! Sekarang aku sudah jauh
berbeda! Semua orang telah menyadarkanku!"
Inoue memasang wajah kesal.
"Huh… Kaya gitu tidak bisa dihilangkan! Ingat! Aku dulu pernah bersamamu
selama 2 tahun! Jangan sangka aku tidak tahu sifat aslimu itu!"
Tanganku mengepal keras. Aku rasanya
ingin membogemnya. Tetapi, keburu dipotong oleh Inoue dengan teriakan.
"Kamu adalah seorang yang hanya memanfaatkan rasa sayang orang sekitar!
Kau munafik! Kau tidak pernah suka sama siapapun! Kau tidak pernah merasa
sayang pada orang yang menyayangimu itu! Kau muna-"
"DIAM!"
Keadaan hening semenjak teriakanku
itu. Inoue terdiam. Lalu, dia melihat ke belakangku dimana seseorang telah
berada dalam waktu lama dengan kursi rodanya, melihatku berbincang dengan
Inoue.
"Ichigo?" ucapku.
Ichigo yang begitu kaget, langsung
memutarkan kursi rodanya dan menjalankannya dengan cepat. Aku berusaha
mengejarnya dan meninggalkan Inoue dengan kata-kata…
"Aku tidak munafik! Aku sudah
berubah! Dan sekarang, aku begitu menyayangi Ichigo!"
Inoue hanya terdiam.
Aku terus menelurusuri jalan dimana
Ichigo menjalankan kursi rodanya dengan cepat. Tetapi, saking cepatnya, aku
kehilangan jejaknya. Aku bergumam selama aku berlari. Kemudian, aku melihat
kursi roda milik Ichigo yang tergeletak tanpa pengendaranya di pinggir sungai.
Aku punya firasat buruk, langsung
melihat kearah sungai. Terlihat, Ichigo mengambang di sungai tersebut. Aku
langsung menjeburkan diri ke sungai yang tidak teralu dalam itu. Hanya seukuran
dada orang dewasa. Tetapi, jika yang tenggelamnya adalah seorang yang tidak
bisa berenang dan menggunakan kaki palsu yang lebih berat dari kaki biasa pada
umunya, beda lagi masalahnya.
Setelah berenang hingga tempat
Ichigo berada, aku langsung menggapainya dan menariknya kedalam dekapanku.
Dibawalah tubuhnya yang basah kuyup ke tepi sungai. Wajah Ichigo begitu pucat,
Dia kekurangan oksigen setelah teralu banyak menelan air sungai. Aku berusaha
mempertahankan keberadaannya di dunia ini bagaimana pun juga.
Aku pun memutuskan untuk memberinya
napas buatan. Kusatukan mulutku dengan mulutnya dan kuberikan dia napas
milikku. Setelah kurasa cukup, kutarik mulutku dari mulutnya. Ichigo pun
terbatuk-batuk dan mengeluarkan air berlebih yang memenuhi paru-parunya. Ichigo
pun membuka matanya dan melihatku. "Ka… Kak Grimmjow?"
Aku langsung memeluknya.
"Syukurlah! Kau tidak apa-apa! Aku begitu cemas!"
Ichigo terdiam dan tidak membalas
pelukanku. Aku tahu, dia masih kepikiran masalah yang tadi. Aku pun
menjelaskannya dengan Ichigo masih di dalam dekapanku. "Memang benar, aku
munafik dulu. Tapi, itu dulu! Sekarang, aku benar-benar menyayangimu seperti
aku menyayangi adikku sendiri. Tetapi, bukan berarti kau kuanggap Hitsugaya.
Kau tetap seorang Ichigo di mataku. Aku ingin, kau terus bersamaku! Aku… Aku…
Aku menyayangimu, Ichigo…"
Aku sudah tahu jawaban apa yang akan
Ichigo aku ucapkan. Aku pun menariknya lagi kedalam dekapan hangatku.
"Tapi… Jika kau tidak menyayangiku, It's ok! Aku akan terima itu!"
Ichigo menenggelamkan kepalanya di
dalam dadaku. Dia pun mengangkat tangannya dan memeluk balik diriku. "Aku
juga… Menyayangimu… Kak Grimmjow!"
Aku tersenyum dan menenggelamkan
wajahku di bahunya.
Setelah berpelukan, aku membantu
Ichigo -tiba, Ichigo menggegam lenganku dengan kuat-kuat. Aku heran.
"Ichigo… Kenapa?"
"Kak… Aku ingin mencoba
berjalan menggunakan kakikku sendiri… Jadi…"
Aku tersenyum lemah. Tetapi, sebelum
itu, aku memintanya untuk ganti pakaiannya yang basah. Ichigo pun pergi ke
kamar mandi dibantu olehku menggunakan kursi rodanya. Setelah ganti baju, aku
menjalankan kursi rodanya di sebuah jalan yang cukup sepi.
Aku memberhentikan kursi roda Ichigo
dan berjalan sekitar satu meter setengah dari Ichigo berada. Aku membuka
tanganku seolah-olah, aku memanggilnya ketempatku. "Ayo, kau ingin coba
berjalan menggunakan kakimu sendiri! Kemarilah! Aku akan menompang tubuhmu jika
kau jatuh! Aku akan membantumu hingga kau bisa!"
Ichigo mengangguk dan berdiri dengan
perlahan dari kursi roda tersebut. Setelah seimbang kakinya, Ichigo meneguk
ludahnya. Mulailah ia berjalan. Kaki kirinya masih lancar dipakai melangkah,
tetapi, saat giliran kaki kanan, Ichigo oleng. Tubuhnya jatuh karena tak
seimbang. Aku pun langsung menggapai tubuh Ichigo yang jatuh itu.
"Ichigo! Tak apa?"
tanyaku.
Ichigo mengangguk kecil. Wajahnya
ditanamkan di tanganku yang menompang tubuhnya. Dia memegang kaki kanannya
dimana ada persambungan antara kakinya dan kaki palsunya. Aku tahu bagaimana
rasa sakitnya saat ini. Dia ingin menjelajahi dunia ini dengan 2 buah kaki yang
menompang tubuhnya. Bukan dengan kursi roda. Tetapi, roda nasib berputar
demikian. Dia harus menerima nasibnya kalau dia tidak bisa menjelajahi dunia
tanpa kursi roda.
Aku pun ikut sedih. Aku memutuskan
untuk menggendongnya di punggungku. Kakinya melipat di pinggangku dan tangannya
melingkari leherku. Ichigo mengangkat wajahnya yang penuh dengan air matanya.
Aku tahu, betapa inginnya dia berjalan dengan 2 kaki dan berdiri melihat langit
biru yang warnanya sama dengan warna rambutku. Maka, aku menggendongnya.
Didoronglah kursi roda milik Ichigo
dengan salah satu tanganku. Melewati taman sakura itu dan pergi menuju mobil.
"Jika kau mau, aku akan menjadi kakimu, Ichigo!"
Ichigo menenggelamkan wajahnya di
rambutku. "Kak… Grimmjow… Baka!"
XXX
Sebulan setelah Ichigo jalan
denganku, dia terus memintaku untuk mengajarinya berjalan. Jika aku punya waktu
luang, aku selalu membantunya berjalan. Kadang-kadang, aku suka menemaninya ke
taman jika dia ingin jalan-jalan keluar. Bahkan, kami pernah makan di suatu
café karena Ichigo ingin dari dulu makan disana. Tapi, aku punya firasat buruk
akan kesehatannya. Aku pun menyuruh Ichigo untuk tidak teralu capek. Tapi,
jawaban Ichigo hanya dengan senyuman. "Tenang! Aku tidak akan apa-apa, Kak
Grimmjow!"
Tanggal 6 Juli. Ichigo ingin
memperlihatkan padaku hasil latihan jalannya selama ini. Aku pun duduk dibangku
taman depannya. Jaraknya sekitar 5 siap, Ichigo mulai melangkahkan kakinya.
Awal-awal pincang-pincang. Tetapi, setelah setengah perjalanan, jalannya Ichigo
jadi lancar. Aku yang kaget, langsung berdiri dan berusaha menggapainya. Belum
sampai di tempat finish, aku sudah memeluknya.
"Kau hebat sekali, Ichigo! Aku
bangga padamu!"
Ichigo tertawa. "A… Aku hebat
kan, kak Grimmjow?"
Aku sedikit kaget, kenapa napas
Ichigo begitu terengah-engah. Tapi, aku langsung menghapus negative thinking-ku
dan terus memeluknya. Tetapi, sesuatu yang aneh muncul pada Ichigo. Kenapa dia
tidak memeluk balik dan tidak ada ucapan sedikit pun dari dia? Saat aku
mengangkat tubuh Ichigo, ternyata, Ichigo sudah pucat dan mengeluarkan keringat
dingin.
"I… Ichigo?"
XXX
Setelah menunggu di depan ruang
perawatan Ichigo, dokter Nemu keluar. "Dok, bagaimana Ichigo?"
Dokter spesialis penyakit dalam itu
mengatakan. "Hh… Parah! Dia teralu capek! Dia tumbang dan penyakitnya
kambuh!"
"Penyakit apa? Apakah yang
rusak di organ pernapasannya?"
Nemu menggelengkan kepalanya.
"Aveolus. Dia kena Pnoumia. Tapi, parahnya, dia juga kena
Antitosis"
Antitosis? Penyakit dimana PH darah
kurang dari 7,3? Dan, Pnoumia? Kerusakan di aveoulus? Aku sangat
bingung, kenapa dia bisa terkena penyakit itu? Padahal, umur Ichigo masih sangat
muda. Lalu, bukannya Ichigo cuma bilang kalau dia cuma punya masalah di
pernapasannya saja? Berarti, dia telah membohongiku…
Nemu menutup matanya. "Awalnya
cuma pnoumia… Tetapi, dia pernah stress sampai makannya tidak
dijaga saat dia tahu kaki kanannya sudah diamputasi. Dia menolak semua makanan
yang disajikan rumah sakit dan dia suka makan yang aneh-aneh. Lalu, dia stress
karena, selamanya dia akan duduk di kursi roda. Dia dulu pernah tumbang seperti
ini tahu dia tidak bisa menggunakan kaki palsu. Dia sudah pasrah dan menyerah
akan hidupnya. Dia pasrah dia tidak akan punya teman selama dia tinggal di
rumah sakit. Tetapi… Sekarang, sudah berubah… Dia…"
Aku mengangkat alis mendengar ucapan
terakhir Nemu. "Apa?"
Nemu tersenyum. "Berkatmu, dia
mendapatkan semangat hidup dan berjalan menggunakan kaki palsu!"
Aku kaget. Aku pun langsung masuk ke
kamar Ichigo dan melihatnya tergeletak tak berdaya diatas kasur dengan banyak
kabel yang tersambung dengan dirinya. Suara bising dari mesin yang berada
disebelah Ichigo, menghiasi kamar Ichigo. Aku duduk disebelahnya dan menggegam
tangan kanannya yang tidak di infus. Aku mendekatkan tangannya ke keningku dan
merasakan nadinya yang sangat lemah.
"Aku tidak berguna! Padahal aku
seorang dokter… Tetapi, aku tidak bisa menyembuhkan orang yang aku sayangi!
Kenapa? KENAPA? Ichigo… Jangan tinggalkan aku…"
Tiba-tiba, sebuah gerakan kecil dari
tangan Ichigo muncul. Aku langsung mengangkat wajahku dan melihat Ichigo yang
sudah menatapku dengan lemah. Oksigen menghiasi wajahnya. Tatapannya lemah.
Raut wajahnya pucat. Aku langsung mengelus rambut Ichigo. Aku tidak ingin
kehilanganya seperti aku kehilangan adikku beberapa bulan yang lalu.
Aku tersenyum dengan lembut dan
mengucapkan "Selamat datang, Ichigo!" padanya.
Ichigo tersenyum dengan lemah.
"Ka… Kak… Grimm… Jow…"
Aku terus menggegam tangannya. Aku
tertunduk. "Ma… Maaf… Aku tidak bisa menyembuhkanmu! Padahal aku seorang
dokter! Tapi, menyembuhkanmu, aku tidak bisa! Aku… Aku benar-benar orang yang
tidak berguna!"
Tangan kiri Ichigo berusaha mengelus
kepalaku. Aku mengangkat wajahku dan melihat raut wajah Ichigo yang tersenyum.
"Kak… Ka… Kau sudah… Me… Menyembuhkanku… Ka… Kau te… Telah menga… Jariku
banyak… Hal… A… Aku… Aku merasa… Wa… Waktu-waktuku… Begitu berharga… A… Aku… Aku
su… Sudah bisa berjalan… Ka… Karena… Kakak yang… Membantuku… Se… Segenap… Ra…
Raga… Ka… Kakak!"
Aku yang merasa pujian Ichigo begitu
berlebihan, menggelengkan kepala. "Aku tidak sehebat yang kau
ucapkan!"
Ichigo tersenyum lirih. "Ta…
Tapi, ka… Kakak sudah mau… Menjadi… Sa… Sahabatku… I… Itu cukup!"
Aku
tidak mau kehilangan orang yang kusayangi sekali lagi.
Kugenggam
erat tanganmu dan aku tidak akan membiarkanmu terlepas serta menjauh dariku.
Tapi,
kau malah terseyum padaku…
Memang,
apa hebatnya diriku?
Aku
hanyalah…
Seorang
dokter yang tidak bisa menyelamatkan sahabatku…
Bahkan
lebih dari sahabat!
Aku menggelengkan kepalaku.
"Aku bukanlah sahabatmu lagi!"
Ichigo mengangkat alisnya.
"Eh?"
Kau…
"Kau…"
Kau
adalah…
"Kau adalah…"
Orang
yang sangat kusayangi seperti adikku sendiri…
Dan
kekasihku sendiri…
"Orang yang sangat kusayangi
seperti adikku sendiri… Dan kekasihku sendiri… Ichigo!"
Keadaan hening. Ichigo terdiam
melihatku. Aku terus memperhatikannya dan menggegam tangannya denga erat.
Ichigo tersenyum dengan lirih dan lemah. Dia memegang rambut biruku.
"Warna rambut kakak… Begitu… I… Indah! Ta… Tapi… A… Aku… Sudah tidak bisa…
Me… Melihatnya… Lagi…"
Aku tertegun. "E?"
Dengan senyum lemahnya, dia berkata,
"Sa… Sayounara… Kak… Grimm…"
Belum selesai berbicara, tangan
Ichigo sudah jatuh. Tangan yang berada di genggamanku sudah tidak terasa
nadinya juga, sudah lemas. Mesin sudah berbunyi dengan nyaring menandakan
hilangnya tanda kehidupan dari orang yang diamatinya itu. Aku berusaha menolong
Ichigo semampuku, tapi tidak bisa. Dia tidak bergeming sedikit pun. Aku pun
memanggil tombol suster.
Suster datang bersama dokter Nemu
dan ayah Ichigo, Ishhin. Saat Nemu memeriksa keadaan Ichigo, dia tertunduk dan
menyimpan peralatan kedokterannya. Ishhin yang sudah tahu maksud dari dokter
tersebut, tertunduk dan melepaskan oksigen yang menempel di wajah Ichigo yang
matanya sudah terpenjam. Dia juga melepaskan kabel-kabel yang tertempel di
tubuh Ichigo. Lalu, dia pun menarik selimut putih yang Ichigo kenakan sehingga
menutupi wajahnya.
Aku tidak percaya dengan ini semua!
2 orang paling kusayangi, sudah meninggal di depan mataku! Semua orang yang
ingin kuselamatkan, meninggal duluan sebelum sempat kuselamatkan dengan ilmu
dokterku! Aku… Aku benar-benar dokter yang tidak berguna! Cukup aku hidup di
dunia yang tidak adil ini! Semua orang yang berharga bagiku diambil! Setelah
itu, apa yang diambil kembali? Kakiku? Mataku? Tanganku? Ilmuku? Akalku? Atau
kalau perlu, nyawaku?
"IIIICCCHHHIIIGGGOOOO!
KEMBALILAH!" teriakku.
Padahal, secara logika, aku tahu…
Nyawa orang itu tidak bisa dikembalikan. Orang yang sudah meninggal, tidak bisa
dihidupkan kembali. Itu sudah sakral! Permanent! Sekarang, aku hanya tahu satu
hal. Aku harus menerima ini semua dengan lapang dada dan minta kepada Tuhan agar
orang yang kusayangi itu… Mendapatkan tempat yang indah dimana, langit biru
mereka bisa saksikan.
Jam 00.03, tanggal 7 Juli. Aku belum
sempat mengucapkan "Tanjoubi omedetou!" padamu. Tetapi, kamu sudah
pergi duluan. Meninggalkanku dan memilih bersama adikku di langit. Tapi, cepat
atau lambat, aku juga akan menyusul kalian. Untuk saat ini, yang bisa
menghubungkan kita, hanyalah satu! Blue Sky...
*END*
-Grimmjow
POV-
ONE
SHOOT
"Woa… Warna rambut yang
keren!"
Aku yang saat itu sedang melihat
langit, menoleh pada sumber suara. Cowok berambut oranye yang mengintipku dari
balik pohon lah yang berbicara. Dia tersenyum. "Halo!"
Aku memasang wajah kesalnya.
"Ada apa?"
Cowok berambut oranye itu
menjalankan kursi rodanya dan berhenti disampingku. Dia memakai pakaian rumah
sakit dan sebuah jaket dan syal serta selimut tipis di kakinya. Padahal, hari
itu begitu cerah. Ya, saat itu… Aku sedang beristirahat setelah semalaman
berjaga untuk menunggu keadaan adikku yang sedang dirawat karena kanker.
Adikku yang bernama Hitsugaya,
mengalami kanker otak stadium akhir. Dia sudah koma selama sebulan lebih.
Sekarang, yang berada di depanku adalah salah satu pasien yang mungkin… Kabur
dari ruang perawatan. Dia pun memperkenalkan dirinya dengan cara SKSD.
"Aku Ichigo Kurosaki! Salam
kenal… Errr…" ucap pria berambut oranye itu.
"Grimmjow… Grimmjow
Jeagerjaques!" Jawabku sinis.
Sebenarnya, aku kesal karena
dibilang bagus warna rambutku ini. Kebanyakan orang mengidentikan sifat orang
itu dari penampilannya. Hello! Don't judge book from front cover! Orang
kebanyakan mikir, kalau diriku adalah seorang berandal, preman, kejam, dan yang
lain, hanya gara-gara rambutku yang berwarna beda dari orang lain dan tatapanku
yang mengerikan. Hello? Ini rezeki yang sudah didapat dari lahir! So,
jangan protes donk?
Orang yang berada di depanku ini
pasti akan bilang kalau rambutku ini adalah rambut berandal. Pasti maksudnya
dia bilang hal tadi, adalah usaha untuk menyindirku. Tetapi, aku kaget saat dia
menjawab alasannya bilang hal itu padaku. Alasannya…
"Rambutmu indah seperti langit
dan laut! Warna yang damai dan indah!" jawabnya sambil tersenyum lepas.
Aku kaget. Di depanku duduk seseorang
yang gendernya perlu ditanyakan! Body sudah berbentuk seperti cowok
sejati. Tetapi, saat mukanya tersenyum, dia sangat manis bagaikan cewek.
Rambutnya yang berwarna oranye itu, apakah warna rambut asli? Apakah, dia
senasib denganku, dianggap anak berandal?
Ichigo terdiam. Dia tertunduk.
"Aku… Belum pernah merasakan bagaimana punya teman…"
Diriku tertegun. Apa yang dia
ucapkan tadi? Dia belum punya teman? Lha? Bukannya di sekolah itu ada sesuatu
yang dinamakan 'teman'? Ichigo menggelengkan kepalanya.
"Sudah 5 tahun aku tinggal
disini. Aku mempunyai suatu penyakit dimana aku tidak boleh teralu banyak
kegiatan. Jika kecapean sedikit saja, penyakit pernapasanku kambuh dan nyawaku
terancam. Selama 5 tahun ini, aku tidak pernah merasakan bagaimana kehidupan remaja…"
Aku sedikit kasihan dengannya. Ya,
kupikir-kupikir, dirinya begitu kasihan. Duduk di kursi roda, pelajaran hanya
didapatkan dari sebuah laptop. Temannya hanyalah sebuah laptop. Dia tidak
pernah bermain ke dunia luar. Dia tidak tahu bagaimana dunia luar sekarang.
Penuh dengan orang-orang yang hanya melihat sifat orang dari cover-nya saja.
Sehari-hari, dia hanya bermain dengan para suster yang menghiburnya di taman
rumah sakit ini.
Tanganku ingin membelai lembut
dirinya. Dia begitu terlihat sedih. Aku ingin menghiburnya. Apapun akan
kulakukan agar dia tidak merasakan kesepian disini. Saat tanganku mau menggapai
rambut oranye itu, tiba-tiba, seorang suster memanggilku. "Tuan
Grimmjow!"
Aku menengok ke sumber suara.
"Apa?"
Suster yang menggulung rambutnya dan
suaranya sedikit moe itu, sedikit panic. "Hitsugaya-sama…"
Aku yang saat itu punya firasat
buruk, langsung berlari menuju pintu untuk melihat keadaan adikku itu. Ichigo
hanya melihat kepergianku dari kejauhan tanpa berpindah sedikit pun dari
tempatnya. Saat sampai di kamar adikku, wajah adikku sudah ditutup oleh sebuah
kain putih. Ternyata, saat aku berada di taman tadi, mesin pemantau membunyikan
bunyi yang sangat nyaring menandakan orang yang dipantau telah meninggal.
Orang tua angkatku sekaligus orang
tua kandung Hitsugaya, menangis di samping kasur. Aku membuka kain tersebut dan
melihat wajah lemah adikku yang telah tidak bernyawa. Wajahnya begitu tenang.
Tidak ada kegundahan diwajahnya. Aku hanya tertunduk. Diriku tidak bisa
menangis walau ingin. Aku terdiam saat jenazah adikku dibawa ke ruang mayat
untuk dimandikan. Nanti malam, jenazah adikku itu akan disemayamkan di rumah.
Aku terus terdiam dan berusaha
menghibur kedua orang tua angkatku. Lalu, aku mengelus-elus rambut halus adik
angkatku yang kedua atau lebih tepatnya, adik kandung Hitsugaya yang saat itu
masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Adik kandung
Hitsugaya yang bernama Yachiru Kusajishi itu, masih sangat muda. Umurnya baru 4
tahun. Sedangkan Hitsugaya, harus meninggal di umurnya yang saat ini beranjak
16 tahun.
Mereka pun keluar dari kamar
perawatan Hitsugaya dan mengikuti kemana suster dan doctor membawa jenazah
anaknya itu. Saat aku keluar, aku melihat Ichigo yang tengah berhenti di
koridor dekat pintu kamar. Kursi roda yang telah dimodifikasi itu, dijalankan
oleh Ichigo sehingga mendekati diriku. Dia melihat wajahku yang saat itu sudah
kusut.
Dia memegang tangan kananku.
"Jangan tahan tangisanmu! AKu tahu… Kau pasti ingin menangis!
Menangislah…"
Aku tertunduk. Diriku jatuh dan
menenggelamkan kepalaku di pangkuan Ichigo. Suara isakku mungkin terdengar
olehnya. Tetapi, aku tidak peduli. Aku sebenarnya tidak ingin terlihat cengeng
di depan orang lain. Tetapi, saat aku melihat wajah Ichigo, rasanya, aku ingin
menangis mengingat adik tersayangku itu telah meninggal.
Ichigo mengelus punggungku dengan
lembut. Dian berkata lembut padaku. "Aku mengerti… Perasaanmu… Tetapi, kau
masih bisa mengingat adikmu jika kau mau menyimpannya di hatimu!"
Aku merasa… Begitu tenang dan damai
di elusannya…
XXX
Sudah sekitar 3 bulan sejak kematian
adikku, dan dengan waktu yang sama aku pertama kali bertemu dengan Ichigo.
Selama 3 bulan ini, aku selalu menjenguk Ichigo di rumah sakit yang sama.
Kadang aku membawanya jalan-jalan di taman rumah sakit yang sangat besar itu.
Mengajarinya banyak hal tentang dunia luar. Dan mengajarinya pelajaran umum
yang biasanya diajarkan di sekolah.
Ichigo begitu pintar sehingga aku
mudah mengajarinya. Ingat-ingat belajar, aku merupakan seorang wahasiswa
semester akhir yang sedang menunggu wisuda dan turunnya gelar didepan namaku.
Aku kuliah di jurusan kedokteran. Mungkin, tidak terlihat dari wajahku. Aku
seorang mahasiswa berprestasi. Bukannya sombong, aku hanya mau membuktikan satu
hal. Penampilan luar, tidak sepenuhnya mencerminkan kelakuan orang tersebut.
Saat aku menceritakan tentang diriku
itu pada Ichigo, Ichigo terlihat begitu senang. "Kalau begitu, kau bisa
sembuhkan penyakitku ini dan kita bisa pergi ke dunia luar?"
Aku tersenyum. "Jika aku sudah
sembuhkan dirimu, aku akan mengajakmu keliling dunia!"
Ichigo tersenyum puas dan
mengangguk.
Aku
memeluknya dengan kencang.
Tidak
akan kulepaskan orang ini. Aku tidak akan membiarkannya jauh dari diriku…
Karena
dia…
Orang
yang sangat berharga bagiku…
XXX
Hari ini hari wisudaku. Kebetulan,
aku diberikan 4 undangan untuk keluargaku. Tentu, aku mengundang ayah, ibu, dan
adikku untuk menghadiri hari dimana aku mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran. 1
undangan tersisa dan aku memberikannya pada Ichigo. Tetapi, aku tidak memaksanya
untuk datang mengingat kondisinya yang begitu lemah.
Tetapi, saat aku naik keatas mimbar
untuk penyerahan hasil belajar dan pengangkatan gelar, dari kejauhan, orang
yang kucari, tersenyum padaku. Saat itu, Ichigo terlihat begitu gagah dengan
jas yang ia kenakan. Dia duduk di kursi rodanya dan melambaikan tangannya
kecil. Aku tersenyum. Di hari bersejarahku itu, aku dapat bersama dengan orang
yang kusayangi.
Selesai acara wisuda, aku langsung
berlari menghapiri Ichigo. Dipeluklah Ichigo dari belakang olehku. Ichigo
tersenyum. "Selamat atas kelulusanmu, kak Grimmjow!"
Aku mengangguk. "Terima kasih
sudah datang, Ichigo!"
Lalu, ayahku memanggil tukang foto
untuk memfoto kami berlima. Ichigo berada didepanku bersama adikku. Ayah dan
ibukku berdiri di kedua sisi diriku. Setelah difoto, aku minta cetak lebih agar
Ichigo mendapatkannya untuk kenang-kenangan.
"Nanti, kau pasti bisa difoto
seperti ini, Ichigo!" ucapku sambil memberikan foto ukuran 4 R itu.
Ichigo tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. "Tidak mungkin, kak! Tidak akan mungkin sampai kapanpun!
Mengingat, aku putus sekolah semenjak 5 tahun yang lalu!"
"Untuk di dunia ini, mungkin
benar kamu putus sekolah. Tetapi, di duniaku, tidak ada yang namanya putus
sekolah selama kita masih ada semangat untuk belajar. Belajar tidak hanya dari
sekolah, tetapi… Dari sekitar juga… Bisa!"
Ichigo tiba-tiba blushing.
Dia pun tersenyum malu dan memegang tangan besar Grimmjow yang mendekapnya. Dia
tertunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Sa… Sankyuu…"
XXX
Entah perasaan apa yang mengganjal
di hatiku ini. Aku bingung… Apakah perasaanku ini menyangkut dengan perasaan
sukaku pada Ichigo, atau perasaan lain. Entah, aku bingung…
dr. Grimmjow Jeagerjaques. Mungkin,
terdengar sedikit aneh. Tetapi, itulah namaku sekarang. Dengan predikat
'dokter' didepan namaku, aku berkerja menjadi dokter di rumah sakit dimana
Ichigo dirawat.
Aku sengaja masuk ke rumah sakit ini
agar dekat dari rumah ditambah, bisa bertemu dengan Ichigo sepanjang hari.
Sejauh aku menyelidiki, ternyata, Ichigo adalah anak dari pemilik rumah sakit
ini. Pemimpin rumah sakit yang bernama Isshin Kurosaki, terkenal sangat bijak
dan tegas. Bukan meng-korupsi… Tetapi, semua biaya perawatan Ichigo selama di
rumah sakit ini, semua gratis. Kalau ada sesuatu yang jadi tanggungan, Isshin
menggunakan uang gajinya. Seperti, pembelian obat, O2, dan peralatan lainnya.
Untuk kamar, dia membelinya. Dia mudah membelinya karena rumah sakit ini,
pimpinannya ditambah bangunannya, dia yang meng-arsiteknya dan semua gedungnya
miliknya semua.
Semua apa yang dibutuhkan oleh
Ichigo. Tersedia di kamarnya. Tetapi, hanya satu yang Ichigo inginkan, tetapi
tidak bisa ia dapatkan disana. Teman.
Aku berusaha memenuhi keinginannya
itu. Menjadi seorang temannya. Bahkan lebih, seorang sahabat.
Dari hari kehari, keadaan Ichigo
tidak ada peningkatan. Ya, mungkin untuk orang awam biasa, keadaan Ichigo biasa
saja. Tetapi, hal yang terjadi sebenarnya, Ichigo mempunyai suatu penyakit akan
pernapasannya. Capek dikit, dia akan tumbang. Lalu, mengapa dia duduk di kursi
roda? Ayahnya menjelaskan padaku. Saat dia kelas 6 SD, setelah perpisahan
sekolahnya, dia mengalami kecelakaan. Itu menyebabkan kaki kanannya harus
diamputasi. Sebenarnya, dia sudah menggunakan kaki palsu. Tetapi, Ichigo tidak
berani menggunakannya. Dia tidak mau mengetahui kenyataan apabila kaki palsu
itu gagal menompang tubuhnya.
Aku tahu, dia ingin sekali melihat
langit biru secara langsung di dunia luar. Dia ingin melihat sungai yang jernih
dengan ikan-ikan kecil yang berenang disana. Tetapi, tidak menggunakan kursi
roda. Dia ingin berdiri menggunakan kakiknya sendiri.
Aku ingin sekali mengajaknya ke
sebuah taman dimana semua yang ia hayalkan, ada. Aku pun minta izin pada
ayahnya untuk mengizinkannya keluar. Setelah negosiasi cukup lama, ayahnya
menerimanya dan mengizinkan Ichigo keluar. Tetapi, dengan satu syarat.
"Jika Ichigo sudah mulai capek
sedikit, bawa langsung ia kemari! Jangan ditunda-tunda!"
Aku mengangguk dan berjanji akan
menepati janji.
Akhirnya, aku mengajak Ichigo untuk
jalan-jalan pada hari minggu. Tempat tujuan kita, sebuah taman dimana semua apa
yang Ichigo bayangkan ada. Tentu, kesehatan Ichigo diprioritaskan. Dia
menggunakan jaket, kemeja kotak-kotak dengan kaos dirangkap. Celana jeans
panjang dan syal. Walau hari itu begitu panas.
Setelah kukendarai mobil sport-ku
sampai ke sebuah taman, aku membantu Ichigo keluar dari mobil. Pertama,
kukeluarkan kursi rodanya yang kulipat di bagasi. Lalu, setelah dirakit,
kubantu Ichigo keluar dan duduk di kursi rodanya. Terlihat, Ichigo begitu rapuh
saat dia berdiri. Jika tidak ada yang membantunya, aku tak yakin dia akan
selamat hingga ke kursi rodanya walau jaraknya itu Cuma setengah meter dari
tempatnya berdiri.
Ichigo berterima kasih. Terlihat dia
hampir keringatan. Aku pun memakaikan topi sportku padanya untuk membantunya
agar dia terlindung dari panas. Dia juga meminta jaketnya untuk dibuka. Aku
membantunya membukakannya. Setelah siap untuk jalan, aku mengunci mobilku dan
membantu Ichigo menjalankan kursi rodanya. Supaya Ichigo tidak teralu capek,
akulah yang mendorong kursinya.
Diikutilah jalan menuju sebuah
jembatan. Di sekeliling kami, terlihat bunga sakura yang bermekaran. Ichigo
begitu kegirangan saat dia melihat sakura bermekaran dan kelopak bunganya
berterbangan disekitarnya. "Kak… Begitu keren pohon-pohon disini!"
serunya.
Aku hanya mengangguk. "Ya…
Begitu indah!"
Setelah menelurusuri jalanan yang
penuh dengan nuansa pink, sampailah di sebuah perempatan dimana adanya sebuah
jembatan. Jembatan tersebut disusun persis jembatan di jepang dengan kayu dan
pegangan berwarna merah. Dibawahnya, sungai yang begitu jernih. Terlihat
komponen-komponen penyusun sungai itu baik abiotik dan biotik. Ichigo begitu
senang melihat ikan yang dengan bebasnya berenang di sungai yang bebas dari
polusi itu. Grimmjow tersenyum dan mengacak-acak rambut Ichigo.
"Kau begitu kegirangan!
Hati-hati kecapean!"
Ichigo hanya tertawa kecil.
"Haha… OK!"
Tiba-tiba, orang yang sudah lama
tidak kulihat, muncul dihadapanku. Cewek berambut coklat ke-oranye-an, mukanya
manis, dan suaranya imut. Orihime Inoue.
"Sudah lama tidak bertemu,
Grimmjow!" sapanya.
Ichigo yang merasa aneh, bertanya
padaku. "Kak, siapa dia?"
Aku meneguk ludahku dan
menggelengkan kepala. "Bukan siapa-siapa! Aku pergi dulu sebentar, biar kau
liat-liat saja disini dulu!"
Ichigo mengangguk. Aku pun menarik
tangan Inoue hingga menjauhi tempat Ichigo berada. Setelah lumayan jauh, aku
mulai bertanya pada Inoue. "Kenapa kau disini?"
Inoue memasang wajah kesal.
"Kita tidak sengaja bertemu kok! Aku lagi jalan-jalan dengan Ulquiorra
disini! Tapi, dia sedang membeli es krim. Saat aku berjalan untuk mencari
kursi, aku melihatmu! Oh ya, be-te-we, yang tadi bareng kau, siapa?"
Aku terdiam. Inoue melanjutkannya.
"Pacar barumu?"
Aku menggelengkan kepala. Inoue
menghela napas. "Fiuh… Beruntung deh! Kalau dia pacarmu, gak yakin dia
akan setia padamu lagi setelah tahu seperti apa sifat aslimu!"
Mendengar ocehan Inoue, aku merasa
kesal. Lantas aku berteriak. "Itu masa lalu! Sekarang aku sudah jauh
berbeda! Semua orang telah menyadarkanku!"
Inoue memasang wajah kesal.
"Huh… Kaya gitu tidak bisa dihilangkan! Ingat! Aku dulu pernah bersamamu
selama 2 tahun! Jangan sangka aku tidak tahu sifat aslimu itu!"
Tanganku mengepal keras. Aku rasanya
ingin membogemnya. Tetapi, keburu dipotong oleh Inoue dengan teriakan.
"Kamu adalah seorang yang hanya memanfaatkan rasa sayang orang sekitar!
Kau munafik! Kau tidak pernah suka sama siapapun! Kau tidak pernah merasa
sayang pada orang yang menyayangimu itu! Kau muna-"
"DIAM!"
Keadaan hening semenjak teriakanku
itu. Inoue terdiam. Lalu, dia melihat ke belakangku dimana seseorang telah
berada dalam waktu lama dengan kursi rodanya, melihatku berbincang dengan
Inoue.
"Ichigo?" ucapku.
Ichigo yang begitu kaget, langsung
memutarkan kursi rodanya dan menjalankannya dengan cepat. Aku berusaha
mengejarnya dan meninggalkan Inoue dengan kata-kata…
"Aku tidak munafik! Aku sudah
berubah! Dan sekarang, aku begitu menyayangi Ichigo!"
Inoue hanya terdiam.
Aku terus menelurusuri jalan dimana
Ichigo menjalankan kursi rodanya dengan cepat. Tetapi, saking cepatnya, aku
kehilangan jejaknya. Aku bergumam selama aku berlari. Kemudian, aku melihat
kursi roda milik Ichigo yang tergeletak tanpa pengendaranya di pinggir sungai.
Aku punya firasat buruk, langsung
melihat kearah sungai. Terlihat, Ichigo mengambang di sungai tersebut. Aku
langsung menjeburkan diri ke sungai yang tidak teralu dalam itu. Hanya seukuran
dada orang dewasa. Tetapi, jika yang tenggelamnya adalah seorang yang tidak
bisa berenang dan menggunakan kaki palsu yang lebih berat dari kaki biasa pada
umunya, beda lagi masalahnya.
Setelah berenang hingga tempat
Ichigo berada, aku langsung menggapainya dan menariknya kedalam dekapanku.
Dibawalah tubuhnya yang basah kuyup ke tepi sungai. Wajah Ichigo begitu pucat,
Dia kekurangan oksigen setelah teralu banyak menelan air sungai. Aku berusaha
mempertahankan keberadaannya di dunia ini bagaimana pun juga.
Aku pun memutuskan untuk memberinya
napas buatan. Kusatukan mulutku dengan mulutnya dan kuberikan dia napas
milikku. Setelah kurasa cukup, kutarik mulutku dari mulutnya. Ichigo pun
terbatuk-batuk dan mengeluarkan air berlebih yang memenuhi paru-parunya. Ichigo
pun membuka matanya dan melihatku. "Ka… Kak Grimmjow?"
Aku langsung memeluknya.
"Syukurlah! Kau tidak apa-apa! Aku begitu cemas!"
Ichigo terdiam dan tidak membalas
pelukanku. Aku tahu, dia masih kepikiran masalah yang tadi. Aku pun
menjelaskannya dengan Ichigo masih di dalam dekapanku. "Memang benar, aku
munafik dulu. Tapi, itu dulu! Sekarang, aku benar-benar menyayangimu seperti
aku menyayangi adikku sendiri. Tetapi, bukan berarti kau kuanggap Hitsugaya.
Kau tetap seorang Ichigo di mataku. Aku ingin, kau terus bersamaku! Aku… Aku…
Aku menyayangimu, Ichigo…"
Aku sudah tahu jawaban apa yang akan
Ichigo aku ucapkan. Aku pun menariknya lagi kedalam dekapan hangatku.
"Tapi… Jika kau tidak menyayangiku, It's ok! Aku akan terima itu!"
Ichigo menenggelamkan kepalanya di
dalam dadaku. Dia pun mengangkat tangannya dan memeluk balik diriku. "Aku
juga… Menyayangimu… Kak Grimmjow!"
Aku tersenyum dan menenggelamkan
wajahku di bahunya.
Setelah berpelukan, aku membantu
Ichigo -tiba, Ichigo menggegam lenganku dengan kuat-kuat. Aku heran.
"Ichigo… Kenapa?"
"Kak… Aku ingin mencoba
berjalan menggunakan kakikku sendiri… Jadi…"
Aku tersenyum lemah. Tetapi, sebelum
itu, aku memintanya untuk ganti pakaiannya yang basah. Ichigo pun pergi ke
kamar mandi dibantu olehku menggunakan kursi rodanya. Setelah ganti baju, aku
menjalankan kursi rodanya di sebuah jalan yang cukup sepi.
Aku memberhentikan kursi roda Ichigo
dan berjalan sekitar satu meter setengah dari Ichigo berada. Aku membuka
tanganku seolah-olah, aku memanggilnya ketempatku. "Ayo, kau ingin coba
berjalan menggunakan kakimu sendiri! Kemarilah! Aku akan menompang tubuhmu jika
kau jatuh! Aku akan membantumu hingga kau bisa!"
Ichigo mengangguk dan berdiri dengan
perlahan dari kursi roda tersebut. Setelah seimbang kakinya, Ichigo meneguk
ludahnya. Mulailah ia berjalan. Kaki kirinya masih lancar dipakai melangkah,
tetapi, saat giliran kaki kanan, Ichigo oleng. Tubuhnya jatuh karena tak
seimbang. Aku pun langsung menggapai tubuh Ichigo yang jatuh itu.
"Ichigo! Tak apa?"
tanyaku.
Ichigo mengangguk kecil. Wajahnya
ditanamkan di tanganku yang menompang tubuhnya. Dia memegang kaki kanannya
dimana ada persambungan antara kakinya dan kaki palsunya. Aku tahu bagaimana
rasa sakitnya saat ini. Dia ingin menjelajahi dunia ini dengan 2 buah kaki yang
menompang tubuhnya. Bukan dengan kursi roda. Tetapi, roda nasib berputar
demikian. Dia harus menerima nasibnya kalau dia tidak bisa menjelajahi dunia
tanpa kursi roda.
Aku pun ikut sedih. Aku memutuskan
untuk menggendongnya di punggungku. Kakinya melipat di pinggangku dan tangannya
melingkari leherku. Ichigo mengangkat wajahnya yang penuh dengan air matanya.
Aku tahu, betapa inginnya dia berjalan dengan 2 kaki dan berdiri melihat langit
biru yang warnanya sama dengan warna rambutku. Maka, aku menggendongnya.
Didoronglah kursi roda milik Ichigo
dengan salah satu tanganku. Melewati taman sakura itu dan pergi menuju mobil.
"Jika kau mau, aku akan menjadi kakimu, Ichigo!"
Ichigo menenggelamkan wajahnya di
rambutku. "Kak… Grimmjow… Baka!"
XXX
Sebulan setelah Ichigo jalan
denganku, dia terus memintaku untuk mengajarinya berjalan. Jika aku punya waktu
luang, aku selalu membantunya berjalan. Kadang-kadang, aku suka menemaninya ke
taman jika dia ingin jalan-jalan keluar. Bahkan, kami pernah makan di suatu
café karena Ichigo ingin dari dulu makan disana. Tapi, aku punya firasat buruk
akan kesehatannya. Aku pun menyuruh Ichigo untuk tidak teralu capek. Tapi,
jawaban Ichigo hanya dengan senyuman. "Tenang! Aku tidak akan apa-apa, Kak
Grimmjow!"
Tanggal 6 Juli. Ichigo ingin
memperlihatkan padaku hasil latihan jalannya selama ini. Aku pun duduk dibangku
taman depannya. Jaraknya sekitar 5 siap, Ichigo mulai melangkahkan kakinya.
Awal-awal pincang-pincang. Tetapi, setelah setengah perjalanan, jalannya Ichigo
jadi lancar. Aku yang kaget, langsung berdiri dan berusaha menggapainya. Belum
sampai di tempat finish, aku sudah memeluknya.
"Kau hebat sekali, Ichigo! Aku
bangga padamu!"
Ichigo tertawa. "A… Aku hebat
kan, kak Grimmjow?"
Aku sedikit kaget, kenapa napas
Ichigo begitu terengah-engah. Tapi, aku langsung menghapus negative thinking-ku
dan terus memeluknya. Tetapi, sesuatu yang aneh muncul pada Ichigo. Kenapa dia
tidak memeluk balik dan tidak ada ucapan sedikit pun dari dia? Saat aku
mengangkat tubuh Ichigo, ternyata, Ichigo sudah pucat dan mengeluarkan keringat
dingin.
"I… Ichigo?"
XXX
Setelah menunggu di depan ruang
perawatan Ichigo, dokter Nemu keluar. "Dok, bagaimana Ichigo?"
Dokter spesialis penyakit dalam itu
mengatakan. "Hh… Parah! Dia teralu capek! Dia tumbang dan penyakitnya
kambuh!"
"Penyakit apa? Apakah yang
rusak di organ pernapasannya?"
Nemu menggelengkan kepalanya.
"Aveolus. Dia kena Pnoumia. Tapi, parahnya, dia juga kena
Antitosis"
Antitosis? Penyakit dimana PH darah
kurang dari 7,3? Dan, Pnoumia? Kerusakan di aveoulus? Aku sangat
bingung, kenapa dia bisa terkena penyakit itu? Padahal, umur Ichigo masih sangat
muda. Lalu, bukannya Ichigo cuma bilang kalau dia cuma punya masalah di
pernapasannya saja? Berarti, dia telah membohongiku…
Nemu menutup matanya. "Awalnya
cuma pnoumia… Tetapi, dia pernah stress sampai makannya tidak
dijaga saat dia tahu kaki kanannya sudah diamputasi. Dia menolak semua makanan
yang disajikan rumah sakit dan dia suka makan yang aneh-aneh. Lalu, dia stress
karena, selamanya dia akan duduk di kursi roda. Dia dulu pernah tumbang seperti
ini tahu dia tidak bisa menggunakan kaki palsu. Dia sudah pasrah dan menyerah
akan hidupnya. Dia pasrah dia tidak akan punya teman selama dia tinggal di
rumah sakit. Tetapi… Sekarang, sudah berubah… Dia…"
Aku mengangkat alis mendengar ucapan
terakhir Nemu. "Apa?"
Nemu tersenyum. "Berkatmu, dia
mendapatkan semangat hidup dan berjalan menggunakan kaki palsu!"
Aku kaget. Aku pun langsung masuk ke
kamar Ichigo dan melihatnya tergeletak tak berdaya diatas kasur dengan banyak
kabel yang tersambung dengan dirinya. Suara bising dari mesin yang berada
disebelah Ichigo, menghiasi kamar Ichigo. Aku duduk disebelahnya dan menggegam
tangan kanannya yang tidak di infus. Aku mendekatkan tangannya ke keningku dan
merasakan nadinya yang sangat lemah.
"Aku tidak berguna! Padahal aku
seorang dokter… Tetapi, aku tidak bisa menyembuhkan orang yang aku sayangi!
Kenapa? KENAPA? Ichigo… Jangan tinggalkan aku…"
Tiba-tiba, sebuah gerakan kecil dari
tangan Ichigo muncul. Aku langsung mengangkat wajahku dan melihat Ichigo yang
sudah menatapku dengan lemah. Oksigen menghiasi wajahnya. Tatapannya lemah.
Raut wajahnya pucat. Aku langsung mengelus rambut Ichigo. Aku tidak ingin
kehilanganya seperti aku kehilangan adikku beberapa bulan yang lalu.
Aku tersenyum dengan lembut dan
mengucapkan "Selamat datang, Ichigo!" padanya.
Ichigo tersenyum dengan lemah.
"Ka… Kak… Grimm… Jow…"
Aku terus menggegam tangannya. Aku
tertunduk. "Ma… Maaf… Aku tidak bisa menyembuhkanmu! Padahal aku seorang
dokter! Tapi, menyembuhkanmu, aku tidak bisa! Aku… Aku benar-benar orang yang
tidak berguna!"
Tangan kiri Ichigo berusaha mengelus
kepalaku. Aku mengangkat wajahku dan melihat raut wajah Ichigo yang tersenyum.
"Kak… Ka… Kau sudah… Me… Menyembuhkanku… Ka… Kau te… Telah menga… Jariku
banyak… Hal… A… Aku… Aku merasa… Wa… Waktu-waktuku… Begitu berharga… A… Aku… Aku
su… Sudah bisa berjalan… Ka… Karena… Kakak yang… Membantuku… Se… Segenap… Ra…
Raga… Ka… Kakak!"
Aku yang merasa pujian Ichigo begitu
berlebihan, menggelengkan kepala. "Aku tidak sehebat yang kau
ucapkan!"
Ichigo tersenyum lirih. "Ta…
Tapi, ka… Kakak sudah mau… Menjadi… Sa… Sahabatku… I… Itu cukup!"
Aku
tidak mau kehilangan orang yang kusayangi sekali lagi.
Kugenggam
erat tanganmu dan aku tidak akan membiarkanmu terlepas serta menjauh dariku.
Tapi,
kau malah terseyum padaku…
Memang,
apa hebatnya diriku?
Aku
hanyalah…
Seorang
dokter yang tidak bisa menyelamatkan sahabatku…
Bahkan
lebih dari sahabat!
Aku menggelengkan kepalaku.
"Aku bukanlah sahabatmu lagi!"
Ichigo mengangkat alisnya.
"Eh?"
Kau…
"Kau…"
Kau
adalah…
"Kau adalah…"
Orang
yang sangat kusayangi seperti adikku sendiri…
Dan
kekasihku sendiri…
"Orang yang sangat kusayangi
seperti adikku sendiri… Dan kekasihku sendiri… Ichigo!"
Keadaan hening. Ichigo terdiam
melihatku. Aku terus memperhatikannya dan menggegam tangannya denga erat.
Ichigo tersenyum dengan lirih dan lemah. Dia memegang rambut biruku.
"Warna rambut kakak… Begitu… I… Indah! Ta… Tapi… A… Aku… Sudah tidak bisa…
Me… Melihatnya… Lagi…"
Aku tertegun. "E?"
Dengan senyum lemahnya, dia berkata,
"Sa… Sayounara… Kak… Grimm…"
Belum selesai berbicara, tangan
Ichigo sudah jatuh. Tangan yang berada di genggamanku sudah tidak terasa
nadinya juga, sudah lemas. Mesin sudah berbunyi dengan nyaring menandakan
hilangnya tanda kehidupan dari orang yang diamatinya itu. Aku berusaha menolong
Ichigo semampuku, tapi tidak bisa. Dia tidak bergeming sedikit pun. Aku pun
memanggil tombol suster.
Suster datang bersama dokter Nemu
dan ayah Ichigo, Ishhin. Saat Nemu memeriksa keadaan Ichigo, dia tertunduk dan
menyimpan peralatan kedokterannya. Ishhin yang sudah tahu maksud dari dokter
tersebut, tertunduk dan melepaskan oksigen yang menempel di wajah Ichigo yang
matanya sudah terpenjam. Dia juga melepaskan kabel-kabel yang tertempel di
tubuh Ichigo. Lalu, dia pun menarik selimut putih yang Ichigo kenakan sehingga
menutupi wajahnya.
Aku tidak percaya dengan ini semua!
2 orang paling kusayangi, sudah meninggal di depan mataku! Semua orang yang
ingin kuselamatkan, meninggal duluan sebelum sempat kuselamatkan dengan ilmu
dokterku! Aku… Aku benar-benar dokter yang tidak berguna! Cukup aku hidup di
dunia yang tidak adil ini! Semua orang yang berharga bagiku diambil! Setelah
itu, apa yang diambil kembali? Kakiku? Mataku? Tanganku? Ilmuku? Akalku? Atau
kalau perlu, nyawaku?
"IIIICCCHHHIIIGGGOOOO!
KEMBALILAH!" teriakku.
Padahal, secara logika, aku tahu…
Nyawa orang itu tidak bisa dikembalikan. Orang yang sudah meninggal, tidak bisa
dihidupkan kembali. Itu sudah sakral! Permanent! Sekarang, aku hanya tahu satu
hal. Aku harus menerima ini semua dengan lapang dada dan minta kepada Tuhan agar
orang yang kusayangi itu… Mendapatkan tempat yang indah dimana, langit biru
mereka bisa saksikan.
Jam 00.03, tanggal 7 Juli. Aku belum
sempat mengucapkan "Tanjoubi omedetou!" padamu. Tetapi, kamu sudah
pergi duluan. Meninggalkanku dan memilih bersama adikku di langit. Tapi, cepat
atau lambat, aku juga akan menyusul kalian. Untuk saat ini, yang bisa
menghubungkan kita, hanyalah satu! Blue Sky...
*END*